Pukul 12.30, Mizan bergegas lari menuju sopir pribadinya yang
datang menjemputnya ke madrasah. Bukan karena panas atau lelah tapi ia ingin
segera menelepon sang ayah. Tat tit tut… bunyi jempol kanannya yang lihay
menari menekan tombol-tombol handphone QWERTY
keluaran terbaru itu. Dan muncullah beberapa kombinasi angka di layar
monitor cukup lebarnya.
“Assalamualaikum, ayah. Selamat siang..”
“Wahaaummm… Waalaikumsalam, Zan. Di London masih jam setengah
lima, jadi masih pagi”
“Oh iya, ayah ngak di Indonesia, ya. Lupa. Kok, ayah nguap?
baru bangun, ya? ngak sholat subuh?”
“Aduh.. satu-satu tanyanya, em.. kemarin malam ayah meeting
dari sore sampai tengah malam. Jadi pulang ke hotel udah kemalaman. Capek..”
“Jadi ayah ngak shol..”
“Amm.. ee… Mizan mau apa? kok tumben telpon-telpon. Nanti
malam biar ayah saja yang telepon, dongengin kamu. Ayah ngak bakal lupa, nak..”
“Bukan soal dongeng nanti malam, ayah. tapi Mizan mau tanya
soal tadi yang diceritain bu guru di sekolah”
“Soal apa? ayah saja ngak tahu? whaaaaummm…”
“Nabi Ibrahim dan putranya. Sejarah qurban..”
“Oh itu, nanti malam saja ayah ceritakan soal itu, ya”
“NGAK-NGAK, yah. Mizan cuma mau tanya aja kok. Sebentar
saja..”
“Emm…”
“Ayah..”
“Apa..”
“Mizan ingin jadi seperti putra Nabi Ibrahim dalam kisah
itu..”
“Ismail?”
“Em, Iya, nabi Ismail..”
“Ow.. uahhh… Boleh.. bagus-bagus.. Eh, tunggu sebentar? Nabi
Ismail? Sejarah berqurban? disembelih, dong?”
“Loh, memangnya kenapa, yah?”
“Yaaa ee, berarti kamu akan ayah sembelih kan..”
“Iya, memang. Kok, ayah kaget?”
“Loh, namanya seorang ayah ya ngak bisa dong kalo ia harus
menyembelih darah dagingnya sendiri. Ayah macam apa itu. Ngak ah, ayah ngak
mau..”
“Nabi Ibrahim saja mau menyembelih putranya sendiri, dan
Ismail bersedia, yah..”
“Iya, mereka kan lain dengan kita. Nabi Ibrahim itu dapat
perintah dari Allah lewat mimpinya untuk menyembelih putranya, Nabi Ismail..”
“Terus kalau yang dialami Nabi Ibrahim terjadi juga ke ayah
gimana?”
“Lewat mimpi?”
“Iya..”
“NGAK..”
“Kenapa?”
“Ngak mungkin, lah. Itu kan pada zaman nabi. Dan ayah bukan
nabi. Ayah manusia biasa, ayahnya Mizan..”
“Walaupun itu perintah Allah yang berulang kali disampaikan
lewat mimpi ayah?”
“Iya, belum tentukan itu perintah Allah..”
“Berarti ayah ngak ikhlas dong..”
“Maksudnya?”
“Ayah ngak ikhlas melepas Mizan demi Allah, padahal bu guru
pernah bilang kalau anak adalah titipan dari Allah. Termasuk Mizan, kan. Nah,
kenapa ayah ngak mau?”
“Ya, karena ayah..”
“Ngak mau begitu saja menyembelih anak sendiri hanya karena
perintah dalam mimpi yang belum tentu benar?”
“Belum tentu itu perintah Allah kan, mimpi itu cuma bunga
tidur..”
“Tapi.., oh ya Mizan
mau tanya, terus kenapa sampai sekarang di rumah kita ngak ada hewan kurban
buat disembelih besok, yah? besok kan hari raya qurban, kalau itu kan sudah
jelas perintah Allah untuk berkurban bagi yang mampu?“
“Em itu, ayah..”
“Ayah ngak ikhlas juga buat nyembelih hewan qurban?”
“Bukan.. bukan..”
“Hewan kurban saja ngak ikhlas apa lagi aku, kemarin pak
Totok tukang kebun kita aja ikhlas uang gajiannya dibelikan kambing buat
diqurban besok. Masak ayah enggak sih?”
“Ah..”
“Ya sudah lah, mungkin ayah masih ngak ikhlas. Mizan cuma
mau tanya itu aja kok. Habis ini biar Mizan jual aja dulu hp Mizan ini buat
beli kambing. Mizan ngak bawa uang, mumpung ada di jalan. Mizan sekarang ingin
jadi nabi Ibrahim saja deh. Mizan ikhlas hp Mizan jadi kambing buat besok
disembelih.. “
“Janggg…”
“Oh, iya jangan lupa sholat Subuh ya, Yah. Nanti waktunya
habis…”
“Tungg…”
“Da, ayah… Assalamualaikum..”
“A… Waaaaa….alaikumsalam…”
Dan percakapan merekapun usai.
(Kisah ini aku tulis
untuk menyambut Hari Raya Idul Adha 1433 H, jangan lupa.. berkurbanlah..)
No comments:
Post a Comment