Lima kali reject lima kali tanpa jawaban membuatku lelah juga. Sejak tadi
Ayah tak kunjung meneleponku kembali jika tahu aku menghubunginya bisa jadi
karena masalah penting. Dasar orang penting, hari Sabtu begini Ayah masih saja
sibuk dengan urusan kantornya. Pentingnya jadi bos, ya, begini. Jadwal bisa ia
ubah sesuka hatinya. Bahkan, waktu libur keluarga pun bisa dibuat Ayah jadi
hari-hari sibuk ngantor.
“Hallo,” setelah sekian lama mencoba,
akhirnya muncul juga suara bass Ayah.
Dengan tergagap kaget, aku mengulang katanya tadi, “hallo, Yah. Ayah, kok ng..,”
“Ayah tadi sibuk, nak. Ayah lagi
bareng sama rekan-rekan kantor Ayah..,”
Inilah hobby Ayah. Seringnya melakukan debat dan rapat, Ayah tumbuh dengan
alur serba cepat. Kebiasaan memotong argument seseorang sudah khatam ia kuasai.
Memang benar, itu kebiasaan buruk. Namun itulah Ayahku. Tidak pernah mau tahu
lawan bicaranya sakit hati atau tidak. “Ayah dengerin aku dulu, Yah. Ini penting
banget,” kataku mencoba memberi keyakinan ini masalah penting. Sekali.
Kudengar ada suara tarikan nafas
panjang di sana. Dilanjutkan dengan suara tegukan kira-kira sampai tiga kali. Ayah
mungkin sedang minum. “Penting?”
“Iya, penting banget,”
Sejenak kami sama-sama tak bersuara. Berpikir?
Mungkin saja. “Ayah? Masih dengar aku?”
“Iya, Ayah masih dengar. Kamu mau
minta apa, sih? Cepetan, Ayah masih sibuk, nih”
Selalu saja begitu. Sibuk sibuk dan
sibuk. “Begini, Yah.. Ayah ingat besok hari apa?”
“Minggu,” jawab Ayah enteng sekali. Suara-suara
seperti gelas diadu sepertinya Ayah sedang ada di kafe.
“Iya.. emang besok hari Minggu. Tapi
ada hari special apa? Masak nggak tahu, sih?”
Pyarrrrrr… suara pecah serentak
membuat beberapa suara terdengar melalui telepon. “Hallo. Ayah, ada apa itu? Kok
kayak ada yang pecah, sih? Ayah lagi di mana?” tanyaku bernada panik. “Eegg,
enggak. Ini ada yang ngejatuhi kopi. Ayah lagi di kafetaria kantor. Udah nggak
perlu dimasalahin, tadi kamu bilang hari special apa? Hari ulang tahun kamu kan
udah lewat, sayang,” tebak Ayah.
Aku lirik kalender lipat di atas meja
belajarku. Besok hari Minggu, tanggal 10 November. “Besok aku ikut upacara di
sekolah, Yah. Dan harus pakai lencana di dada sebelah kiri, Yah”
Tidak ada jawaban dari Ayah. Bukan
tidak ada jawaban, tapi Ayah sedang berbicara dengan orang lain. “AYAH..,”
panggilku sedikit berteriak.
“A-iya, upacara? Besok, kan hari
Minggu. Kok upacara?”
“Aduh.. Ayah lupa beneran besok hari
apa?” aku coba meredam rasa jengkelku. Aku masih sadar, ia Ayahku sendiri.
Sekilas aku menangkap Ayah sedang bertanya
dengan orang-orang di dekatnya. Sempat aku tangkap Ayah sesekali berkata oh..
iya. Bener-benar, mangkanya besok anakku upacara, seperti itu kira-kira.
“Ahh, iya. Ayah ingat besok hari
pahlawan, kan? Nah, ya sudah, besok kamu upacara saja, sayang. Nggak apa-apa,
kok” ada nada bahagia saat Ayah menjawab benar pertanyaanku.
Aduhh.. bukan itu yang aku inginkan, “Yah,
begini. Terima kasih Ayah udah ijinin aku buat ikut upacara besok. Tapi aku
masih butuh lencana merah putih buat upacara, Yah..,”
“Lencana?” suara Ayah tidak jelas.
“Telan dulu makanannya, Yah,”
perintahku.
Glegg.. “Udah, lencana buat apa? Yang di
pasang di atas saku seragam itu?”
“Iya, yang di dada kiri, Ayah tahu,
kan. Mangkanya, nanti kalau pulang, belikan satu, ya. Yang kemarin penitinya
udah karatan, Yah,” aku berjalan menuju laci tempat menyimpan
asesoris-asesorisku. Aku keluarkan lencana merah putih yang hampir patah karena
karat.
“Sayang, kamu, kan pakai jilbab. Nggak
pakai juga nggak kelihatan, kan. Tokonya dari kantor Ayah itu jauh. Harus putar
balik. Nggak mau, ah, jauh-jauh cuma beli lencana seribu perak,”
Aku tersentak mendengar penuturan Ayah
barusan. Aku nggak perlu pakai lencana di upacara besok?
“Yah, apa beratnya, sih? Aku juga
nggak minta dibeliin gadget mahal,
kok,” kataku sarkastik.
“Ia, Ayah tahu. Itu lencana murah,
sayang. Apa salahnya kalau kamu nggak pakai? Ditutup jilbab juga nggak bakalan
kelihatan. Apa harus rasa NASIONALIS itu dilihat dari orang pakai lencana atau
enggak?” ada penekanan di kata nasionalis. Ayah mulai menaikkan nada bicaranya.
Dengan sigap aku berdiri dari kursi
kamar, “yah, memang benar orang memakai lencana juga tidak harus melambangkan
si pemakainya sebagai orang bernasionalis tinggi. Nggak, Yah. Tapi asal Ayah
tahu, benda kecil seperti lencana merah putih itu memiliki makna besar di
dalamnya. Dari letaknya saja. Sebelah kiri. Aku tahu Ayah pasti ngerti letak
jantung di dada sebelah mana. Kiri, kan. Inilah alasannya mengapa lencana di
pasang di sebelah kiri. Agar siapapun yang memakainya tahu, merah putih itu
sama pentingnya dengan jantung kita. Organ penting penentu hidup dan mati.
Sama, Yah. Negara kita ada karena pahlawan-pahlawan kita ingin negara ini hidup,”
tak sadar sudah aku membicarakannya pnjang lebar.
Ayah mulai menyela kata-kataku lagi, “tapi,
sayang..”
“Apa Ayah keberatan membelikan lencana
buat aku?”
“Bukan begi..”
“Ayah nggak bisa ngerasain bagaimana
beratnya pahlawan-pahlawan itu merebut kemerdekaan negara kita. Aku kasih tahu,
Yah. Beratnya nggak seberat beliin aku lencana merah putih, kok, Yah. Maaf,
sudah ganggu Ayah,”
“Tapi..,”
Tuttt… tuttt.. tutt.. aku banting
handphoneku ke atas kasur. Aku harap aku bisa mencari lencana merah putih itu. Sendiri.[]
Sadar, ya, kita hidup di mana. Ingat, ya, negera kita ini hasil perjuangan siapa. Janji, ya, bisa jaga negara ini ters merdeka. Amin. Selamat Hari Pahlawan, semua..
Mengheningkan cipta.. :)
No comments:
Post a Comment