Assalamualaikum.. welcome to my blog, guys..!! ^_^

Adsense

Sunday, November 03, 2013

Pilihan Profesor dengan Orang Mabuk saat Pemilu itu Sama Saja, loh!!

Klasik.. klasik sekali.. politik yang ada di negara kita tercinta. Mudah banget, sekali main lirik sambil bilang, aku, loh, yang pantas mimpin kamu. Udah. Emang udah gitu aja. Etsss, tunggu dulu. Nggak segampang itu, kali, mainnya. Bung Karno dan Bung Hatta saja walaupun nggak seribet sistem sekarang masih butuh proses, kok. Jadi pemimpin nggak mudah, teman. Bicara proses nggak bakalan selesai dibahas semalam. Bisa, sih, tapi harus ada jaminan kopi dan gorengan sebagai teman begadang bicarain topik ini. Heheheh.. 

Oke, kenapa Ifah udah berani aja ngajak ngobrol soal politik, karena akhir-akhir ini nggak bisa dipungkiri kita sedang hidup di musim-musim politik. (Salah satunya karena kemarin siang Ifah lihat sidang pemilihan Ketua dan Wakil Ketua MK)  Acara di TV juga kebanyakan soal politik. Masalah korupsi, lah.. kasus penipuan oleh pejabat, lah.. sampai yang bisa jadi lucu-lucuan, artis yang pengen jadi presiden. 

Hah, buka-bukaan saja, ya. Ifah sebenarnya agak geli tiap kali tahu hal-hal tadi. Reputasi seseorang seperti dipertaruhkan di meja licin berstatus politik. 

Nah, teman-teman. Ifah ini udah 18 tahun, udah tua, ya. Penggalaman milih pemimpin juga baru kemarin di Pemilu Gubernur Jatim. Masih ingusan, lah. Tapi, walaupun begitu, Ifah ingin pilihan Ifah itu jadi pilihan yang terbaik untuk kemajuan daerah/negara. Walaupun nggak sampai ngelakuin sholat Istiqaroh, dengan bismillah.. Ifah coblos salah satu pasang kandidiat yang (Insya Allah) terbaik.

Sekadar cerita. Saat ikut pemilihan gubernur perdana buat Ifah, Ifah mikirnya sampai berhari-hari, loh. Lihat literatur, bahan rujukan untuk para kandidat, cari kelemahan dan kekuatannya. Apa visi dan misinya, pokoknya teliti banget, deh. Ifah ngerasa itu semua penting, karena suara Ifah adalah kunci bagaimana kelanjutan kondisi negara/daerah yang Ifah tempati ini.


Pemikiran bahwa memilih jalan demokrasi seperti itu sudah tepat, ternyata... masih belum efektif, teman-teman. Loh? gimana, sih.. Maaf untuk negara dan bapak-bapak petinggi bangsa, Ifah di sini hanya menuangkan bagaimana hasil diskusi Ifah beberapa hari lalu. PEMILU, nggak selamanya pilihan orang itu benar-benar milih yang terbaik. Meskipun demi kepentingan dirinya. Satu-satu akan coba Ifah jelaskan, ya.

Mulai dari bagaimana kelakuan para calon yang pasang muka kece sok berhati malaikat. Sebut saja pencitraan. Berlomba-lomba jadi orang terbaik untuk jadi pemimpi, harus.. Tapi nggak segitu juga kali... Lanjut, kita sebagai pemegang hak pilih dituntut untuk memilih siapa yang pantas jadi pemimpin yang baru. Semuanya datang dari berbagai kalangan. Mulai dari profesor sampai tukang setor sampah. Semuanya pemilih. Masing-masing dari mereka punya pilihan. Entah saat memilih dipikir benar-benar kayak Ifah atau hanya sekadar lihat gambar siapa yang ganteng atau cantik itulah yang dipilih.

Nah, mengarah ke perbedaan strata, Ifah mau tanya, nih.. Inget, kan, kalau ada beberapa kasus yang terjadi kandidat yang kalah marah-marah nggak terima.. Ingat?? Oke, itu salah satu contohnya. Banyak alasan mengapa itu semua bisa terjadi. Kita mulai berandai-andai, ya. Tapi andai-andai kita kali ini sudah jelas benarnya. Kenapa begitu?

Karena ceritanya begini, antar pemilih memiliki hak suara yang sama. One man one vote, itu nggak boleh lupa. Jadi satu nyawa hanya diharuskan dapat satu suara. Nahhh.. Kita bayangkan ada PROFESOR dan TUKANG MABUK yang mau ikutan pemilu. Mereka barengan ke TPS. Mulai kita flasback satu-persatu, ya. Mulai dari PROFESOR. Seperti kasus Ifah, seorang yang berpendidikan pasti memikirkan masa depan. Ia akan mikir, pilihannya itu nggak boleh salah. Pemimpin yang dia pilih memang benar yang terbaik. Sebelum memilihpun ia akan coba mempelajari bagaimana kinerjanya, visi misi sampai latar belakangnya mungkin juga dicari. Pas milih... si profesor bisa bilang begini, "Bismillah.. semoga pilihan saya ini insya Allah yang terbaik," dan jebretttttt.... dicobloslah pilihannya itu. Selesai.

Selanjutnya si TUKANG MABUK. Beda, dong, mana yang berpendidikan mana yang cuma modal tidur.. berbeda dengan si profesor, tukang mabuk pas tahu ia jadi pemilih nggak perlu mikir panjang-panjang. Nggak penting juga baginya. Yang penting ia datang, masuk bilik, buka kertas suara, lihat mana yang.. entahlah. Pokoknya yang ia suka. Sambil sedikit teler berdiri sempoyongan, "gue nggak masalah elo pinter atau enggak, nasib loe mujur banget, Bung, jadi pilihan gue," katanya sambil mengamati gambar-gambar calon pemimpinnya. Dan... jebrettttt.... Nggak perlu mikir panjang-panjang, kan. Pilihannya, ya, itu.

Sama kayak yang dilakuin si profesor. Milih pemimpin, tapi beda pandangan.. Toh, hasilnya sama saja. Nggak pandang siapa yang milih. Ia, to? Finnaly... mengerti, kan, teman-teman. Itulah kenapa Ifah ngerasa Pemilu itu masih rancu untuk terus dilakukan. Memang demokratis, tapi semuanya ada konsekuensinya. Yang menang selamat, yang kalah wafat. Eh.. jangan, deh.. Maaf :)

Ifah hanya sekadar sharing aja, nggak usah diambil hati, ya. Yang tidak sependapat boleh kasih argumen, kok. Ini hanya pandangan dari seorang anak SMA yang baru kenal bilik suara.
Pelajari dulu siapa calon pemimpin kita nanti. Semoga pilihan kita adalah pilihan yang terbaik bagi semuanya. Amin.

Terima kasih.. \^_^/

No comments:

Post a Comment