Katanya, bakat orang itu ada karena turunan dari orang
tuanya. Absurd banget, jadi siapa,
sih, yang punya pemikiran seperti itu?
karena realita? mana, mana buktinya?
Aku nggak pernah tahu ada orang yang bisa sukses karena
turunan dari orang tua. Ya memang, sih, ada juga yang begitu tapi kan memang
dari usaha dia sendiri. Orang tua punya bakat, tapi anak nggak mau ikutin sama aja boong,
dong.
Masih saja aku debatkan permasalahan ini dengan Nana,
teman sebangku-sehidup-se-mati-sendiri-sendiri. Kita ini sudah lama kenal sejak
dari dalam kandungan Bunda
masing-masing. Selalu kompak dalam segala hal, macam, bentuk dan rupa tapi tidak untuk
urusan yang satu ini.
“Tapi, orang tua gue bukan Harry Potter, yang punya
tongkat sihir dan bisa terbang pake sapu lidi, Na,” sensi? benar.
Loh, kok bawa-bawa Harry Potter segala, sih? Nah, ini masalahnya. Aku,
Aprodite Hera Putria, gadis berkacamata
minus 2,75 yang suka banget lihat kembang api, bisa punya urusan dengan manusia rekaan
seperti Harry
Potter. Nah, loh. Harry Potter yang mana, nih?
Jadi, sebenarnya nggak ada urusannya dengan mas Potter
itu, tapi kebiasaanku yang mirip mas Potter bikin aku ngehhh sama dia. Apa lagi kalau bukan bim salabim. Yosss, aku bisa seperti Harry Potter.
Ini semua terjadi saat aku berumur enam tahun. Di
kompleks perumahanku banyak sekali anak-anak seusiaku yang sering kesepian
ditinggal orang tuanya ngantor. Maklum, kompleks perumahan elit daerah Surabaya
Timur. Nggak
perlu heran dan bingung menemukan fenomena banyaknya orang tua yang sibuk kerja
cari duit dan nitipin anak-anak mereka ke suster-suster penjaga di rumah
mereka. Namun saudara-saudara, nggak banyak dari
para orang tua jetset itu yang nggak
percaya sama suster rumahan dan memilih nitipin anaknya ke BPA alias Balai
Penitipan Anak. Kira-kira sekitar tahun 2001, Mama dan Papaku yang notabene keduanya orang
sibuk, nggak
pernah sempat buat ngurusin daku yang masih unyu dan butuh kasih sayang ini
harus rela dititipkan ke BPA.
Karena mereka berdua nggak tega meninggalkan aku sama Bi Inem-yang-bukan-pelayan-seksi
di rumah sendiri, akhirnya di kirimkanlah aku ke sebuah yayasan penitipan anak
yang nggak jauh dari kantor Papa.
Alasannya, biar kalau Papa
pulang kantor bisa langsung jemput aku. Ya
nasib ya nasib.. mengapa begini..
Eeitss, tapi
nasib sama diderita oleh anak tante Marta, tetangga sebelah rumah.. namanya
Nana. Tante Marta itu single mother
yang ditinggal suaminya kawin lagi gara-gara dulu usaha kembang api mereka bangkrut. Loh, kok
sekarang bisa tinggal di perumahan elit? Nah, alkisah, setelah bercerai, tante
Marta yang sedang hamil Nana terseok-seok
datang sendiri ke rumah sakit karena mau melahirkan. Di depan rumah sakit,
tante Marta yang sudah nggak punya apa-apa ketemu Papa yang lagi binggung
karena Mama mau
melahirkan aku. Ya, Mama
dan tante Marta lahiran bareng.
Tidak butu waktu lama, sampai malam tiba (soalnya ke rumah sakitnya sore) akhirnya
aku lahir dulu dan lima menit kemuadian Nana ikut-ikutan lahir. Aku rasa kita
sempat berantem, deh, untuk dulu-duluan keluar. Tapi, malaikat juga tahu, aku
yang jadi juaranya.
Setelah acara lahiran selesai, Mama dan tante Marta jadi
makin dekat. Mamaku yang punya hati mellow-mellow sinetron gampang banget
tersentuh dengan kisah tante Marta. Setelah dirembukkan, ditimbang dan
dibungkus dengan kertas minyak, akhirnya tante Marta diminta Mama untuk mengelola cabang
butik pakaian brandit mama yang
kesekian. Untuk omsetnya bisa digunakan untuk hidup tante Marta dan baby Nana. Nah, tahu, kan. Kenapa tante
Marta bisa jadi tetangga!
Yups, back to
masalah BPA. Sebab musababnya Nana ikutan nimbrung di BPA dikarenakan tante
Marta yang makin sibuk dengan butik kelolaannya. Alhasil, Nana ikut berseru, ya nasib.. ya nasib.. mengapa begini..
Saat itulah aku dan Nana resmi jadi penghuni BPA Buah
Hati. Nah, pada suatu siang, anak-anak penghuni yang lain tertidur dengan
polosnya bersama para mbak-mbak penjaga. Tapi, bukan Hera dan Nana namanya
kalau tidak kompak. Apapun alasannya. Kami sepakat untuk melanjutkan permainan
petak umpet yang sempat tetunda karena terbentur waktu tidur siang. Langkah
kecil kami dengan sukses meloloskan kami dari ruang istirahat.
Aku ingat, saat itu sudah waktunya liburan akhir tahun. Sebentar
lagi tahun baru. Pada
sesi permainan sebelumnya, aku menjadi finalis penjaga untuk yang pertama. Sedangkan Nana
berusaha sembunyi dengan menutup kedua matanya walaupun sebagian tubuhnya saja
masih terlihat full. Motonya:
Mata
saya gelap, (pasti) tubuh saya hilang. Dan tidak ada yang bisa melihat saya.
Dan.. entah mengapa, moto itu seakan ikut-ikutan merasuki
diriku.
Setelah kami dinyatakan lolos oleh semut-semut merah
yang-berbaris-di-dinding dari sekitar kawasan BPA, aku dan Nana melanjutkan
babak selanjutnya.
Aku hampiri Nana ambil menenteng sendal palstik warna
pink kesukaanku. “Nana,
ayo main lagi..,” panggilku sedikit berteriak.
“Ayo, Hela.. sekalang, aku yang jadi telus kamu yang
sembunyi, ya,” jawab Nana
sok cadel. Em, emang cadel, sih.
Satu, dua, lima, tiga, empat, sembilan, sepuluh..
hitungan Nana yang tak keruan itu membuatku makin kalang kabut mencari tempat
yang tersembunyi. Pasalnya, hitungan sepuluh bisa jadi kurang sepuluh walaupun
angka terakhir yang disebut angka sepuluh.
Oke, karena saking kalapnya, moto petak umpet Nana bisa
jadi sandaran permainanku. Mata saya
gelap (pasti) tubuh saya hilang. Em.. kini malaikat juga tahu kalau aku
sekarang jadi orang dongo sedunia. Ampuni aku, Tuhan. Jalan satu-satunya aku
harus masuk garasi sebuah rumah distributor kembang api. Sedikit gelap dan
penuh dengan petasan.
Di sana, aku cukup berdiri di mulut garasi, ruangan yang
cukup gelap cukuplah bisa menyembunyikanku.
“Hilang.. hilang.. hilang.. hilang..,” gumaman itulah
yang bisa aku ucapkan saat itu. Sambil sesekali bermain petasan banting yang
berceceran di lantai.
Namun sejurus kemudian, dua suara aneh perlahan
mendekatiku. Pertama, Nana ternyata
menemukanku.
“Hela, ayo.. itu kamu, kan! udah ketemu.. ye.. Hela
ketemu..,” Yup, hanya orang buta yang nggak bisa lihat aku saat ini yang
berdiri sambil menutup kedua mata. Suara kedua, aku mendengarnya seperti
makhluk besar yang mengerang keras dengan sedikit cahaya yang mencoba menerobos
sela-sela mataku. Silau.
Tin.. Tin..
“Hela.. awass..,”
Aku yang sedari tadi bergumam hilang.. hilang.. hilang..
entah mengapa, reflek aku lempar petasan banting di tanganku hingga asap pekat memenuhi
seluruh garasi. Semua yang aku ucapkan seakan menjadi mantra. Tubuh kecilku seakan
benar-benar hilang menembus monster besar dan..
berklakson. Wuss.. Nana ikut melongo.
Menyadari bahwa ia tidak bermimpi. Aku hilang bersama asap dan suara
keras seperti petasan atau kembang api
.
“Gue tahu, Ra. Saat itu, beneran, dan gue yakin gue nggak
sedang mimpi. Hera, sayang,. Gue kasih tahu, ya. Tanpa tongkat dan sapu terbang,
mobil pak Tian, gue ulangi, ya. Mobil pak Tian lewat di tubuh loe. Tembus..
sampe ujung.. Hera. Dan petasan itu, tepat saat meledak.”
Aku
bisa hilang. Lebih tepatnya bisa tembus objek padat. Dan sejak saat itu, Nana
menjadi jauh lebih dekat denganku. Alasannya, itu mantra gue. Hak cipta masih di tangan gue, so, jangan jauh-jauh
dari gue.
Aku bisa begini, juga ada efek sampingnya. Aku sering
pusing jika melihat kembang api dan bunyi petasan yang meledak. Aku juga jadi mudah lelah tiap kali
menutup mata terlalu lama, seperti saat tidur. Alhasil, sejak usia tujuh tahun aku sudah
berkacamata.
Tepat sekali, tahun 2001, awal kemunculan film Harry Potter and The Sorcerer’s Stone,
aku yang berkacamata jadi ikut-ikut memiliki nama julukan Hera Potter.
“Tapi, gue nggak tahu gimana ngendaliinnya. Na, gue takut
ini semua..,”
“Tenang, Harry Potter dulu juga nggak bisa ngendaliin
tongkatnya. Lama kelamaan bisa, kok. Tenang, Hera Potter, Loe pasti bisa.
Kemarin hanya urusan salting saja
waktu loe ketemu doi. Sedikit latihan, okelah..,”
****
Rasa cinta berawal dari
mata, tapi mataku?
Aku sedang jatuh cinta dengan seseorang. Cowok tampan
anak kelas sebelah. Namanya Buge. Sering sekali aku salah tingkah jika
melihatnya. Akibatnya, kebiasaanku sering muncul.
“Plis, deh. Nggak usah tutup mata. Kapan loe bisa ngobrol
sama doi, kalo loe ngilang tiap kali Buge nyamperin loe,” sembur Nana sedikit
berkotbah.
“Nggak bisa, Na. Gue grogi..,” kugigit bibir bawahku untuk
menghilngkan rasa gugupku. Ya, inilah masalahnya. Aku dan Buge saling kenal,
tapi hingga dua tahun kita sekolah di SMA, belum sekalipun kita bicara bareng.
Apalagi kalau bukan karena tubuhku yang sering hilang ini.
Namun, untuk pertama kalinya, setelah sekian kali aku
menghilang di hadapannya, suatu insiden pelemparan bola basket nyasar nyaris merubah segalanya.
Buge tak sengaja melempar bola basket terlalu jauh hingga
mendarat tepat di kepalaku. Aku mencak-mencak nggak keruan, pengen marah
dengan.. Buge. Buge sudah berdiri di belakangku, what the hell, mau grogi? nggak sempat.
“Sorry, ya, Ra. Sakit? Akhirnya kita ketemu juga,”
Nggak kok kalo kamu yang
lempar,
“Udah lama kita nggak ngobrol
bareng, ya,”
Bukannya nggak pernah sama
sekali, ya, Ge?
“Em, sorry gue nggak bisa lama-lama, sebagai
gantinya, nanti malam
kita ketemuan di taman Bungkul,
yuk. Kita lihat ramainya malam tahun baru di sana. Oke! bye..,”
God, thanks a lot!
Nana yang mendengar ceritaku jadi sorak-sorak bergembira
mengetahui aku berhasil ngobrol dengan Buge.
Tangan Nana sudah nangkring di pundakku. “Ya, walaupun loe nggak
ngobrol sepatah katapun sama dia, yes,
congratulation, sista. Loe harus datang temui dia. Tapi, sorry banget, nanti malam gue nggak bisa nganter loe,
nanti siang gue ada acara tahun baruan
sama keluarga.
Mungkin sampe besok.
Semangat, ya!”
Dunia seakan milikku sendirian. Indah sekali. Gloriaaa.. Malam ini, aku siap bertemu
Buge. Tapi masalahnya, taman sebelah mana? Taman Bungkul di
Surabaya itu luasnya nggak pernah ngintung. Ah, yang penting sampai taman, siap,
deh.
Naik taxi panggilan, sepuluh menit aku di perjalanan
rasanya seperti setahun. Memikirkan apa yang terjadi nanti. Buge mau apa, ya?
makan es krim? jalan-jalan keliling taman? atau foto-foto?
“Stop di situ, pak,” taxi yang kutumpangi perlahan menepi
di lajur kiri jalan. Buge mana, ya? disekeliling taman tidak ada manusia yang
satu ini. Suasana malam di akhir bulan
Desember, pastinya masyarakat Surabaya juga ingin merayakan gantinya kalender,
alias tahun baru.
Banyak orang-orang yang menghabiskan malam pergantian
tahun di taman
ini. Suasana yang sejuk ditambah dengan fasilitas koneksi internet gratis jadi
daya tarik tersendiri taman berpagar tanaman bunga sepatu yang tumbuh
menggerombol rapi.
Banyak orang yang aku temui di sini, salah satunya, Buge.
Ya, akhirnya Buge aku temukan juga di taman kedua. Tapi, siapa itu? Aku yang
memiliki minus 2,75 ini cukup kesulitan mengenali siapa cewek yang bersamanya. Lampu taman juga
tidak begitu membantu. Yang jelas.. Buge bersama.. Cewek, Buge tidak sendiri.
Taman kedua berlokasi cukup jauh dari taman pertama
tempatku berdiri kini. Letaknya dipisahkan dengan jalan aspal yang kadang padat
kendaraan lalu lalang. Sebelum mengampirinya, aku sedikit mendekat untuk
memperjelas pandanganku siapa cewek yang bersamanya itu.
Aku mohon, Tuhan. Ini pasti salah. Nana, tidak mungkin,
Nana ada acara tadi siang sampai malam..
Nggak, Nana memang dekat dengan Buge, tapi hanya sekadar memata-matai Buge
untukku. Tidak lebih.
Buge dan Nana saling bergandengan sambil memakan es krim
corn kesukaan Nana. Senyum mereka, tawa
mereka, oh Tuhan.. Hingga akhirnya, Nana menyadari aku melihat kemesraan mereka berdua.
Gugup, grogi, canggung, malu, dan sejenisnya jika
melandaku hanya satu hal respek dari tubuhku, diam tak berkutik. Semunya
terlihat absurd, nggak jelas.
Sampai-sampai di mana tempat berpijakku kini saja aku tidak sadar. Tengah
jalan? memang.
Aku melihat Nana dan Buge sedikit berteriak meneriaki
namaku. Awas.. pergi.. minggir...
Belum sempat
aku menutup mataku, seperti kejadian di garasi BPA. Mobil pick up berplat B mendekatiku, jauh berbeda dengan dulu. Ditambah lagi,
suara kembang api itu
semua terasa jauh lebih padat. Indah sekali di langit dan … sakit.[]
No comments:
Post a Comment