Assalamualaikum.. welcome to my blog, guys..!! ^_^

Adsense

Tuesday, December 31, 2013

Cerpen #NulisKilat - Kembang Api dan Hilang


             

Katanya, bakat orang itu ada karena turunan dari orang tuanya. Absurd banget, jadi siapa, sih, yang punya pemikiran seperti itu?  karena realita? mana, mana buktinya? 

            Aku nggak pernah tahu ada orang yang bisa sukses karena turunan dari orang tua. Ya memang, sih, ada juga yang begitu tapi kan memang dari usaha dia sendiri. Orang tua punya bakat, tapi anak nggak mau ikutin sama aja boong, dong.

            Masih saja aku debatkan permasalahan ini dengan Nana, teman sebangku-sehidup-se-mati-sendiri-sendiri. Kita ini sudah lama kenal sejak dari dalam kandungan Bunda masing-masing. Selalu kompak dalam segala hal, macam, bentuk dan rupa tapi tidak untuk urusan yang satu ini. 

            “Tapi, orang tua gue bukan Harry Potter, yang punya tongkat sihir dan bisa terbang pake sapu lidi, Na,” sensi? benar. 

            Loh, kok bawa-bawa Harry Potter segala, sih? Nah, ini masalahnya. Aku, Aprodite Hera Putria, gadis berkacamata minus 2,75 yang suka banget lihat kembang api, bisa punya urusan dengan manusia rekaan seperti Harry Potter. Nah, loh. Harry Potter yang mana, nih? 

            Jadi, sebenarnya nggak ada urusannya dengan mas Potter itu, tapi kebiasaanku yang mirip mas Potter bikin aku ngehhh sama dia. Apa lagi kalau bukan bim salabim. Yosss, aku bisa seperti Harry Potter. 

            Ini semua terjadi saat aku berumur enam tahun. Di kompleks perumahanku banyak sekali anak-anak seusiaku yang sering kesepian ditinggal orang tuanya ngantor. Maklum, kompleks perumahan elit daerah Surabaya Timur. Nggak perlu heran dan bingung menemukan fenomena banyaknya orang tua yang sibuk kerja cari duit dan nitipin anak-anak mereka ke suster-suster penjaga di rumah mereka. Namun saudara-saudara, nggak banyak dari para orang tua jetset itu yang nggak percaya sama suster rumahan dan memilih nitipin anaknya ke BPA alias Balai Penitipan Anak. Kira-kira sekitar tahun 2001, Mama dan Papaku yang notabene keduanya orang sibuk, nggak pernah sempat buat ngurusin daku yang masih unyu dan butuh kasih sayang ini harus rela dititipkan ke BPA. 

            Karena mereka berdua nggak tega meninggalkan aku sama Bi Inem-yang-bukan-pelayan-seksi di rumah sendiri, akhirnya di kirimkanlah aku ke sebuah yayasan penitipan anak yang nggak jauh dari kantor Papa. Alasannya, biar kalau Papa pulang kantor bisa langsung jemput aku. Ya nasib ya nasib.. mengapa begini..
 
            Eeitss, tapi nasib sama diderita oleh anak tante Marta, tetangga sebelah rumah.. namanya Nana. Tante Marta itu single mother yang ditinggal suaminya kawin lagi gara-gara dulu usaha kembang api mereka bangkrut. Loh, kok sekarang bisa tinggal di perumahan elit? Nah, alkisah, setelah bercerai, tante Marta yang sedang hamil Nana terseok-seok datang sendiri ke rumah sakit karena mau melahirkan. Di depan rumah sakit, tante Marta yang sudah nggak punya apa-apa ketemu Papa yang lagi binggung karena Mama mau melahirkan aku. Ya, Mama dan tante Marta lahiran bareng. 


            Tidak butu waktu lama, sampai malam tiba (soalnya ke rumah sakitnya sore) akhirnya aku lahir dulu dan lima menit kemuadian Nana ikut-ikutan lahir. Aku rasa kita sempat berantem, deh, untuk dulu-duluan keluar. Tapi, malaikat juga tahu, aku yang jadi juaranya.

            Setelah acara lahiran selesai, Mama dan tante Marta jadi makin dekat. Mamaku yang punya hati mellow-mellow sinetron gampang banget tersentuh dengan kisah tante Marta. Setelah dirembukkan, ditimbang dan dibungkus dengan kertas minyak, akhirnya tante Marta diminta Mama untuk mengelola cabang butik pakaian brandit mama yang kesekian. Untuk omsetnya bisa digunakan untuk hidup tante Marta dan baby Nana. Nah, tahu, kan. Kenapa tante Marta bisa jadi tetangga! 

            Yups, back to masalah BPA. Sebab musababnya Nana ikutan nimbrung di BPA dikarenakan tante Marta yang makin sibuk dengan butik kelolaannya. Alhasil, Nana ikut berseru, ya nasib.. ya nasib.. mengapa begini..
 
            Saat itulah aku dan Nana resmi jadi penghuni BPA Buah Hati. Nah, pada suatu siang, anak-anak penghuni yang lain tertidur dengan polosnya bersama para mbak-mbak penjaga. Tapi, bukan Hera dan Nana namanya kalau tidak kompak. Apapun alasannya. Kami sepakat untuk melanjutkan permainan petak umpet yang sempat tetunda karena terbentur waktu tidur siang. Langkah kecil kami dengan sukses meloloskan kami dari ruang istirahat. 

            Aku ingat, saat itu sudah waktunya liburan akhir tahun. Sebentar lagi tahun baru. Pada sesi permainan sebelumnya, aku menjadi finalis penjaga untuk yang pertama. Sedangkan Nana berusaha sembunyi dengan menutup kedua matanya walaupun sebagian tubuhnya saja masih terlihat full.  Motonya:
Mata saya gelap, (pasti) tubuh saya hilang. Dan tidak ada yang bisa melihat saya.
Dan.. entah mengapa, moto itu seakan ikut-ikutan merasuki diriku.

            Setelah kami dinyatakan lolos oleh semut-semut merah yang-berbaris-di-dinding dari sekitar kawasan BPA, aku dan Nana melanjutkan babak selanjutnya. 

            Aku hampiri Nana ambil menenteng sendal palstik warna pink kesukaanku. “Nana, ayo main lagi..,” panggilku sedikit berteriak.
            “Ayo, Hela.. sekalang, aku yang jadi telus kamu yang sembunyi, ya,” jawab Nana sok cadel. Em, emang cadel, sih. 

            Satu, dua, lima, tiga, empat, sembilan, sepuluh.. hitungan Nana yang tak keruan itu membuatku makin kalang kabut mencari tempat yang tersembunyi. Pasalnya, hitungan sepuluh bisa jadi kurang sepuluh walaupun angka terakhir yang disebut angka sepuluh.

            Oke, karena saking kalapnya, moto petak umpet Nana bisa jadi sandaran permainanku. Mata saya gelap (pasti) tubuh saya hilang. Em.. kini malaikat juga tahu kalau aku sekarang jadi orang dongo sedunia. Ampuni aku, Tuhan. Jalan satu-satunya aku harus masuk garasi sebuah rumah distributor kembang api. Sedikit gelap dan penuh dengan petasan. 

            Di sana, aku cukup berdiri di mulut garasi, ruangan yang cukup gelap cukuplah bisa menyembunyikanku. 

            “Hilang.. hilang.. hilang.. hilang..,” gumaman itulah yang bisa aku ucapkan saat itu. Sambil sesekali bermain petasan banting yang berceceran di lantai.

            Namun sejurus kemudian, dua suara aneh perlahan mendekatiku. Pertama, Nana ternyata  menemukanku. 

            “Hela, ayo.. itu kamu, kan! udah ketemu.. ye.. Hela ketemu..,” Yup, hanya orang buta yang nggak bisa lihat aku saat ini yang berdiri sambil menutup kedua mata. Suara kedua, aku mendengarnya seperti makhluk besar yang mengerang keras dengan sedikit cahaya yang mencoba menerobos sela-sela mataku. Silau. 

            Tin.. Tin..
            “Hela.. awass..,”
            Aku yang sedari tadi bergumam hilang.. hilang.. hilang.. entah mengapa, reflek aku lempar petasan banting di tanganku hingga asap pekat memenuhi seluruh garasi. Semua yang aku ucapkan seakan menjadi mantra. Tubuh kecilku seakan benar-benar hilang menembus monster besar dan.. berklakson.  Wuss.. Nana ikut melongo. Menyadari bahwa ia tidak bermimpi. Aku hilang bersama asap dan suara keras seperti petasan atau kembang api .

            “Gue tahu, Ra. Saat itu, beneran, dan gue yakin gue nggak sedang mimpi. Hera, sayang,. Gue kasih tahu, ya. Tanpa tongkat dan sapu terbang, mobil pak Tian, gue ulangi, ya. Mobil pak Tian lewat di tubuh loe. Tembus.. sampe ujung.. Hera. Dan petasan itu, tepat saat meledak.” 

            Aku bisa hilang. Lebih tepatnya bisa tembus objek padat. Dan sejak saat itu, Nana menjadi jauh lebih dekat denganku. Alasannya, itu mantra gue. Hak cipta masih di tangan gue, so, jangan jauh-jauh dari gue. 

            Aku bisa begini, juga ada efek sampingnya. Aku sering pusing jika melihat kembang api dan bunyi petasan yang meledak. Aku juga jadi mudah lelah tiap kali menutup mata terlalu lama, seperti saat tidur. Alhasil, sejak usia tujuh tahun aku sudah berkacamata. 

            Tepat sekali, tahun 2001, awal kemunculan film Harry Potter and The Sorcerer’s Stone, aku yang berkacamata jadi ikut-ikut memiliki nama julukan Hera Potter. 

            “Tapi, gue nggak tahu gimana ngendaliinnya. Na, gue takut ini semua..,”
            “Tenang, Harry Potter dulu juga nggak bisa ngendaliin tongkatnya. Lama kelamaan bisa, kok. Tenang, Hera Potter, Loe pasti bisa. Kemarin hanya urusan salting saja waktu loe ketemu doi. Sedikit latihan, okelah..,” 

****
Rasa cinta berawal dari mata, tapi mataku?
            Aku sedang jatuh cinta dengan seseorang. Cowok tampan anak kelas sebelah. Namanya Buge. Sering sekali aku salah tingkah jika melihatnya. Akibatnya, kebiasaanku sering muncul. 

            “Plis, deh. Nggak usah tutup mata. Kapan loe bisa ngobrol sama doi, kalo loe ngilang tiap kali Buge nyamperin loe,” sembur Nana sedikit berkotbah.
            “Nggak bisa, Na. Gue grogi..,” kugigit bibir bawahku untuk menghilngkan rasa gugupku. Ya, inilah masalahnya. Aku dan Buge saling kenal, tapi hingga dua tahun kita sekolah di SMA, belum sekalipun kita bicara bareng. Apalagi kalau bukan karena tubuhku yang sering hilang ini. 

            Namun, untuk pertama kalinya, setelah sekian kali aku menghilang di hadapannya, suatu insiden pelemparan bola basket nyasar nyaris merubah segalanya.
            Buge tak sengaja melempar bola basket terlalu jauh hingga mendarat tepat di kepalaku. Aku mencak-mencak nggak keruan, pengen marah dengan.. Buge. Buge sudah berdiri di belakangku, what the hell, mau grogi? nggak sempat. 

            “Sorry, ya, Ra. Sakit? Akhirnya kita ketemu juga,”
Nggak kok kalo kamu yang lempar,
Udah lama kita nggak ngobrol bareng, ya,”
Bukannya nggak pernah sama sekali, ya, Ge?
Em, sorry gue nggak bisa lama-lama, sebagai gantinya, nanti malam kita ketemuan di taman Bungkul, yuk. Kita lihat ramainya malam tahun baru di sana. Oke! bye..,”
            God, thanks a lot!
            Nana yang mendengar ceritaku jadi sorak-sorak bergembira mengetahui aku berhasil ngobrol dengan Buge. 

            Tangan Nana sudah nangkring di pundakku. “Ya, walaupun loe nggak ngobrol sepatah katapun sama dia, yes, congratulation, sista. Loe harus datang temui dia. Tapi, sorry banget, nanti malam gue nggak bisa nganter loe, nanti siang gue ada acara tahun baruan sama keluarga. Mungkin sampe besok. Semangat, ya!” 

            Dunia seakan milikku sendirian. Indah sekali. Gloriaaa.. Malam ini, aku siap bertemu Buge. Tapi masalahnya, taman sebelah mana? Taman Bungkul di Surabaya itu luasnya nggak pernah ngintung. Ah, yang penting sampai taman, siap, deh. 

            Naik taxi panggilan, sepuluh menit aku di perjalanan rasanya seperti setahun. Memikirkan apa yang terjadi nanti. Buge mau apa, ya? makan es krim? jalan-jalan keliling taman? atau foto-foto? 

            “Stop di situ, pak,” taxi yang kutumpangi perlahan menepi di lajur kiri jalan. Buge mana, ya? disekeliling taman tidak ada manusia yang satu ini.  Suasana malam di akhir bulan Desember, pastinya masyarakat Surabaya juga ingin merayakan gantinya kalender, alias tahun baru.

            Banyak orang-orang yang menghabiskan malam pergantian tahun di taman ini. Suasana yang sejuk ditambah dengan fasilitas koneksi internet gratis jadi daya tarik tersendiri taman berpagar tanaman bunga sepatu yang tumbuh menggerombol rapi. 

            Banyak orang yang aku temui di sini, salah satunya, Buge. Ya, akhirnya Buge aku temukan juga di taman kedua. Tapi, siapa itu? Aku yang memiliki minus 2,75 ini cukup kesulitan mengenali siapa cewek yang bersamanya. Lampu taman juga tidak begitu membantu. Yang jelas.. Buge bersama.. Cewek, Buge tidak sendiri. 

            Taman kedua berlokasi cukup jauh dari taman pertama tempatku berdiri kini. Letaknya dipisahkan dengan jalan aspal yang kadang padat kendaraan lalu lalang. Sebelum mengampirinya, aku sedikit mendekat untuk memperjelas pandanganku siapa cewek yang bersamanya itu.
            Aku mohon, Tuhan. Ini pasti salah. Nana, tidak mungkin, Nana ada acara tadi siang sampai malam.. Nggak, Nana memang dekat dengan Buge, tapi hanya sekadar memata-matai Buge untukku. Tidak lebih.
            Buge dan Nana saling bergandengan sambil memakan es krim corn  kesukaan Nana. Senyum mereka, tawa mereka, oh Tuhan.. Hingga akhirnya, Nana menyadari aku melihat kemesraan mereka berdua

            Gugup, grogi, canggung, malu, dan sejenisnya jika melandaku hanya satu hal respek dari tubuhku, diam tak berkutik. Semunya terlihat absurd, nggak jelas. Sampai-sampai di mana tempat berpijakku kini saja aku tidak sadar. Tengah jalan? memang.
            Aku melihat Nana dan Buge sedikit berteriak meneriaki namaku. Awas.. pergi.. minggir...
Belum sempat aku menutup mataku, seperti kejadian di garasi BPA. Mobil pick up berplat B mendekatiku, jauh berbeda dengan dulu. Ditambah lagi, suara kembang api itu semua terasa jauh lebih padat. Indah sekali di langit dan … sakit.[]

No comments:

Post a Comment