Aku ngak
pernah ngebayangin soal punya cowok yang ternyata, si doi adalah teman satu
kelas sendiri. Hah? Kenapa ngak? Yup, itulah yang terjadi padaku. Sebelumnya,
perkenalkan. Nama aku Indri. Aku tipe-tipe cewek manja. Maklum anak tunggal.
Aku sekarang kelas paling sepuh dalam
dunia per-SMAan yang sekarang suka alergian (settt.. jangan keras-keras ya)
yang mulai kenal cowok dan bener-bener mau pacaran.
Nah, agak
sedikit ekstrim, nih. Kenapa ngak? Ujian kelulusan sudah di depan mata. Urusan soal main-main dan ehm.. pacaran, udah
seharusnya dibuang jauh-jauh. Tapi itu ngak berlaku buat aku. Hidup dalam dunia
para Jomblowers, buat aku ngak-ngak kuat (baca dengan nada lagu 7 Icon).
Pengennya, sih ngak mau pacaran dulu. Tapi akhirnya tembok keimananku telah
dirobohkan oleh sosok terang dalam kegelapan. Ya.. dialah si doi, Bag namanya.
“Bag.. nih,
cewek lo ngelamun mulu. Ngak mau kerja..” teriak Rara, teman satu kelompok aku.
“Please,
deh. Ngak usah bawa-bawa cowok segala” hardikku dengan bibir monyong 1,5 cm.
Ini, nih.
Deritanya kalau punya cowok satu kelas. Mending satu sekolah tapi beda
kelasnya. Si doi bakalan ngak tahu belangnya kita kalau di kelas. Nah kalo aku?
Aku hanya berseru. “enjoy aja”
“Lok, kerja,
dong,” Bag memanggilku dengan sebutan Tolok, yang sampi sekarang aku ngak tahu
dari kata apa kata Tolok itu diambil, “jangan diem aja, cuma gara-gara aku ngak
satu kelompok sama kamu, kamu jadi males-malesan gini” hah.. suaranya terdengar
merdu sekali di telingaku. Sebenarnya, bukan masalah itu sih buat aku
males-malesan. Tapi emang aku ngantuk, gara-gara begadang semalaman nonton TV
bareng papa. Aku yang sedari tadi merapatkan pipi dengan meja, masih memegang
teguh prinsip kemalasan dari sepupuku, “telinga tuli, mata buta” yang membuatku
tak segera bangkit dari meja kelompokku.
Setelah
mungkin lelah dengan jarinya yang sedaritadi menggelitik pinggangku mulai
berhenti. Samar-samar aku dengar si doi bergumam, “hem.. kayaknya lupa nih,
gimana teriakan pak Baria” pak Baria itu pelatihku yang berpangkat letnan
ketika aku menjadi paskibraka daerah Agustus yang lalu. Badannya yang tinggi,
kekar dan gagah begitu ditakuti para paskibraka, walaupun terkadang, wajahnya
yang sedikit ganteng bisa memesona para paskibra wanita.
Aku masih
saja diam, tapi tiba-tiba..
“Siap…
Grakkk…”
Seketika
suasana dalam kelas diam tanpa suara. Dengan gelagapan, aku mulai menegakkan
badanku. Dan mencari di mana asal suara yang menggelegar itu. Oh.. Bag..
Bag sudah
berdiri tegap tepat di belakangku. Aku yang duduk dan Bag yang berdiri, begitu
tak singkron jika dipandang. Tingginya yang menjulang 179 cm sedangkan aku yang
hanya 160 cm dikurangi 20 cm karena posisiku yang duduk di bangku makin
membuatku raib di depannya.
“Ih.. kaget
tau..” kataku sambil bermanja-manja.
“Lanjutkan
bekerja, jangan malas-malasan. Kerjakannn…” teriaknya kemudian dengan
gayamiliter si doi balik kanan dan langkah tegap. Hah? Kesambet apa tuh orang,
ya? Gumamku dalam hati. Aku makin ngak bisa mikir dengan cowokku ini. Si doi
seperti punya kepribadian ganda. Terkadang selengekan, garang, overprotective,
dan juga penyabar. Tapi ngak dengan yang satu ini. Apa itu? Romantis.
Aku coba
kejar si doi yang hampir sampai ke meja kelasnya.
“Yang, kamu
kenapa, sih? Aku itu..” belum sempat aku coba berargumen, si doi kembali
bertingkah.
“Laporan
diterima, kembali ketempat, sekarang..” si doi langsung cabut dan meninggalkan
aku begitu saja.
“Tuh,
kelakuan cewek lo, Bag.. Bag.. pasangan yang aneh..” seru salah satu teman
sekelasku.
***
Si doi
sering sekali bertandang ke rumahku. Bukan karena apa-apa. Aku dan si doi
memang sudah komitmen akan selalu menjalin tali perpacaran selagi kami bisa
saling bersama.
“Yang,
sebentar lagi kan kita mau lulus. Kamu jadi gak kuliahnya?” katanya setelah
menenggak segelas air putih pembatal puasa tirakat Senin Kamis kami.
“Ya, aku mau
kuliah. Ke Malang tepatnya. Doain aku, ya. Aku juga bakalan doain kamu supaya
jadi polisi sukses. Kayak Polteng yang sering muncul di Tv itu” candaku
mengawali topik malam ini.
“Ye, aku
ngak mau..”
“Loh,
kenapa? Kan bagus, jadi artis?”
Bag diam
sejenak. Tarikan nafasnya begitu berat aku dengar, “aku mau buat orangtuaku
bangga dengan usahaku. Jadi seorang polisi…” bijak sekali kata-katanya.
“Indri..” hah? Dia sebut nama aku?
“Sebentar
lagi kita bakalan pisah. Kita ngak sekelas lagi.. kayak sekarang” nada
bicaranya terdengar melemah. Aku yakin hatinya sakit sekali.
“Aku ngak
apa-apa, Bag. Yang penting kamu sukses, bisa jadi polisi. Kalau kamu seneng,
aku pasti ikut seneng” tapi jika kau tahu apa yang sebenarnya aku inginkan, aku
tak ingin pisah dengamu, Bag.
“Tapi aku
bakalan kangen berat sama kamu. Aku bakalan kehilangan..”
“Hahh…” aku
teriak sebelum si doi selesai bicara, “aku masih hidup, belum mati”
“Hu.. mulai
deh Toloknya. Sering nonton sinetron, nih,” sambil dia mencolek hidungku
sehingga kacamataku melorot tak karuan, “aku belum selesai bicara”
“Hehehe…
maaf..” jawabku sambil meringis ngak penting.
“Aku bakalan
kehilangan..” mataku menatap tajam ke matanya. Apa? Tanyaku dalam hati.
“Bakalan
kehilangan orang yang aku cubitin tiap hari di kelas…” ribuan cubitan maut
mendarat di wajah dan bahuku. Tawa tak bisa kami bendung lagi. Sembari si doi
mencubitiku, aku berfikir. Ngak akan ada teriakkan dan cubitannya di kelas. Aku
akan merindukan hari-hari satu kelas bersamanya. Satu kelas yang penuh makna.
Dipisahkan Tuhan karena tujuan cita-cita yang berbeda. Tetapi aku yakin, suatu
saat nanti tangan Tuhan akan menyatukan satu kelas itu kembali.
(untuk my little auntie, semoga bahagia selalu )
No comments:
Post a Comment