Assalamualaikum.. welcome to my blog, guys..!! ^_^

Adsense

Friday, July 27, 2012

Cerber: Ketika Kakiku Menginjak Langit Bag. 1


Bagian 1: Cahaya Langit

 “Dan akhirnya sang putri dan sang pangeran hidup bahagia selamanya…”.
Cerita berakhir, begitupula berakhirlah aktivitasku dalam satu hari ini. Dalam temaram lampu meja kamarku, bunda menutupnya dengan kisah “Cinderella dan Sepatu Kaca”nya. Tapi kisahku tak berhenti sampai malam ini. Di saksikan bulan purnama yang bertahta di singgasana langitNya, menjadi saksi pesan malam bunda padaku yang telah terlelap tidur. Sambil mengecup hangat keningku, ia berkata,
“Selamat malam, sayang. Tutuplah matamu, nikmati gelapnya malam ini. Dan bukalah matamu, untuk esok yang penuh dengan warna”
***
Pagi akhirnya tiba.
Hai, namaku Himmel Akari Annisa Akmalinta. Jika terlalu ribet, keluarga dan teman-teman lebih sering memanggilku Imel. Tapi jangan sekali-kali memanggilku..
“Camellll…”
Aduh.. itu dia. Cukup bang Erde saja, ya yang panggil Cam.., itulah. Aku anak kedua dari dua bersaudara. Yang tadi abang pertamaku, namanya Erde Tsuyoi Fatihah Akmalinta. Sama panjangnya. Kami adik kakak, tapi  tingkah kami seperi kucing dan tikus. Mungkin karena jarak usia kami yang terpaut jauh. Sembilan tahun, bang Erde 19 tahun sedangkan aku 10 tahun. Tapi jangan salah, kami saling menyayangi, lo. Kalau kata gombalan-gombalan yang sering aku dengar, sayang kami berdua sedalam lubang kropos di Guatemala dan setinggi langit di angkasa.
Aku rasa, kalian pasti bertanya (kalau tidak ya.. tak masalah, kan) namaku dan nama bang Erde terdengar aneh di telinga kalian. Karena apa, kalian akan tahu jika kalian membuka dua kamus sekaligus. Nah, lo? Kalau yang malas buka kamus, aku akan jelaskan. Kami berdua –aku dan bang Erde- terdiri dari empat susunan kata dengan rincian, 1.) kata itu dari bahasa Jerman, 2.) kata itu dari bahasa Jepang, 3.) nama dari surat dalam Al-Quran, dan 4.) gabungan nama ayah dan bunda.
Pada rincian pertama, dalam bahasa Jerman. Nama depan abangku adalah Erde, yang artinya adalah bumi. Sedangkan aku Himmel, (sekali lagi bukan Cam**) adalah langit. Kedua, nama kami di ambil dari kata bahasa Jepang. Abangku Tsuyoi, yang artinya kuat. Kalau aku Akari, yang artinya cahaya. Baguskan. Memang pandai kedua orang tua ini, heheh. Oke, yang ketiga, adalah nama kami di ambil dari nama surat dalam kitab suci Al-Quran. Fatihah diberikan untuk bang Erde yang anak pertama karena surat Al Fatihah dalam Quran adalah surat pertama. Sedangkan aku diambil dari surat ke empat yaitu An Nisa’ yang artinya wanita. Dan aku harap jangan pernah kalian berfikir ayah dan bundaku akan memberikan nama untukku dari nama surat kedua Al Quran karena aku anak kedua. Karena jika dulu ketika aku baru lahir dan orang tuaku benar memberikannya untukku, aku ingin Tuhan memberikan dua kelebihan padaku. Apa itu? Pertama, aku bias mengerti seluruh isi kandungan kitab suciku, dan yang kedua, aku ingin bisa berbicara. Karena jika benar itu terjadi, aku akan mengatakan pada ayah dan bunda.
“Wahai engkau ayah dan bundaku. Tegakah kalian memberikan nama kepada putri kalian yang cantik ini dengan nama binatang yang menghasilkan minuman kesukaan putra pertamamu.” Karena dalam Quran, surat kedua adalah surat Al Baqarah yang artinya sapi betina. So, apa yang akan kalian lakukan jika nama itu menjadi salah satu rangakaian nama kalian yang indah? Hem, lupakan saja.
Kemudian yang ke empat, nama kami diberikan sama persis oleh ayah dan bunda, karena nama Akmalinta di ambil dari nama Akmal, (itu nama ayahku) dan Aninta (nama bundaku). Jadi Akmal Aninta disatukan menjadi nama belakang kami, Akmalinta. Jadi jika digabungkan keseluruhannya, nama bang Erde mempunyai arti bumi pertama –dari Fatihah- Akmal dan Aninta yang kuat. Sedangkan aku mempunyai arti anak perempuan Akmal dan Aninta dari langit yang bercahaya. Kurang lebih seperti itu.
“Camelll… turun, sekarang. Mau sarapan kamu aku abissin, ya?”
“Bentar, bang.” Teriakku sambil memutar bola mataku mencari sisir yang jatuh di kolong meja belajarku. Kamarku yang berada di lantai dua rumahku, cukup menyulitkanku jika waktu sarapan aku terlambat.
DUK DUK DUK…
Langkah kakiku terdengar bising di telinga mbak Ajeng, pembantu muda di rumahku yang sedang menyapu lantai di bawah tangga. Kedua telapak tangannya dengan sigap menutu kedua telinganya sebelum aku turun. Mbak Ajeng sudah hafal apa yang akan terjadi jika ia mendengar suara gesekan pintu kamarku dengan lantai yang sedang aku tutup.
Di bawah, aku melihat tingkah mbak Ajeng masih menutup kedua telinganya. Kulemparkan senyuman bangga padanya, mbak Ajeng meringis melihatkan gigi kelincinya yang tinggal satu kokoh berbaris di depan di antara gigi-gigi yang lain.
“Hehehe.. sudah hafal, non” ujarnya bahagia.
“Bagus” jawabku plus dengan acungan kedua jempol tanganku ke arahnya.
Di meja makan, ayah, bunda, dan bang Erde sudang menjinjing roti di masing-masing tangan kanan mereka.
“Pagi, ayah, pagi bunda..”
“Kok abang enggak, sih?” bang Erde mulai mencari topic perang.
“Oh iya, lupa. Selamat pagi abangku Erde Tsuyoi Fatihah Akmalinta yang gantengnya dunia akhirat. Puas..”
“Heh.. kalian ini. tiap jam sarapan berantem terus” bunda mulai menenangkan kami.
“Ini, nih bun. Bang Erde, mulai terus” kataku.
“Kamu juga. Abang kamu kan cuma minta ucapan saja. Kamu sendiri yang menanggapi lain.” Pembelaan bunda ke bang Erde membuatku sengsara. Aku kalah kali ini.
“Sudah-sudah, sekarang gantian ayah yang ngomong” ayah mulai bersuara pagi ini. Aku tinggalkan tatapanku yang sedari tadi menatap wajah bang Erde yang penuh aura kemenagan. Ih.. jijai. Awas ya nanti. Baru dapat belaan segitu dari bunda, bangganya minta ampun.
Hatiku merasa tenang saat menatap pahlawanku yang satu ini. Pria santun penuh wibawa di samping kananku. Ya, itu ayahku.
“Ada apa, yah? Serius nih..”
“Benar, sayang. Serius. Mungkin sampai limarius” jawab ayah dengan senyum pendamainya.
“Beneran, yah” kata bang Erde ikut penasaran.
“Begini, mumpung kita masih dalam liburan hari raya. Ayah dan bunda sepakat ingin mengajak kalian berlibur ke villa kita di Jogja”
“Villa? Villa yang mana, yah? Kayaknya kita ngak punya deh villa. Apalagi di Jogja. Punya keluarga di Jogja saja ngak, kan?” kata bang Erde.
“Benar, yah. Kita ngak pernah tuh ke villa yang ayah sebut tadi. Kita pernah ke Jogja pun ngak pernah ayah ngajak kita ke villa. Baru beli, ya?”
Bunda menuangkan susu ke gelas bang Erde untuk kedua kalinya. (Aduh..) Dan berkata,
“Ngak. Itu villa kita sudah lama. Belinya waktu jaman bulan madu ayah dan bunda dulu. Ayah dan bunda memang sepakat untuk tidak mengatakannya ke kalian karena kami tahu, kalau kalian tahu villa itu pasti setiap hari kalian pingin kesana dan ngak mau pulang-pulang”
Dari cerita bunda soal villa di Jogja itu, aku sudah membayangkan bagaimana suasana di sekitar villa itu. Tempat bulan madu, hemm.. pasti indah.
“Dan rencananya, ayah mau ngajak bunda, Imel dan kamu ke sana. Bagaimana, bunda?”
“Ya, jadi kalian mau tidak?” Tanya bundaku.
Dengan cepat, aku jawab, “ngak”
“Loh, kok ngak?”
“Maksudnya si Camel itu ngak nolak, ayah” kata bang Erde. Ku cubit tangannya, karena masih saja menyebutku Camel.
“Bang Erde, aku Imel bukan Camel. Emangnya aku unta”
Aku marah. Dan memang marah. Tapi itu malah memancing tawa dari kedua orang tuaku dan bang Erde tentunya.
“Jadi besok kita berangkat. Siap-siap, ya..” pesan ayah sambil meminta kami melanjutkan sarapan masing-masing. Hah, bagaimana villa di sana? Tak sabar aku menunggu esok. 

Bersambung..

No comments:

Post a Comment