Bagian 1: Cahaya Langit
“Dan akhirnya sang putri dan sang pangeran
hidup bahagia selamanya…”.
Cerita berakhir,
begitupula berakhirlah aktivitasku dalam satu hari ini. Dalam temaram lampu
meja kamarku, bunda menutupnya dengan kisah “Cinderella dan Sepatu Kaca”nya.
Tapi kisahku tak berhenti sampai malam ini. Di saksikan bulan purnama yang
bertahta di singgasana langitNya, menjadi saksi pesan malam bunda padaku yang
telah terlelap tidur. Sambil mengecup hangat keningku, ia berkata,
“Selamat malam, sayang.
Tutuplah matamu, nikmati gelapnya malam ini. Dan bukalah matamu, untuk esok
yang penuh dengan warna”
***
Hai, namaku Himmel
Akari Annisa Akmalinta. Jika terlalu ribet, keluarga dan teman-teman lebih sering
memanggilku Imel. Tapi jangan sekali-kali memanggilku..
“Camellll…”
Aduh.. itu dia. Cukup
bang Erde saja, ya yang panggil Cam.., itulah. Aku anak kedua dari dua
bersaudara. Yang tadi abang pertamaku, namanya Erde Tsuyoi Fatihah Akmalinta.
Sama panjangnya. Kami adik kakak, tapi
tingkah kami seperi kucing dan tikus. Mungkin karena jarak usia kami
yang terpaut jauh. Sembilan tahun, bang Erde 19 tahun sedangkan aku 10 tahun.
Tapi jangan salah, kami saling menyayangi, lo. Kalau kata gombalan-gombalan
yang sering aku dengar, sayang kami berdua sedalam lubang kropos di Guatemala
dan setinggi langit di angkasa.
Aku rasa, kalian pasti
bertanya (kalau tidak ya.. tak masalah, kan) namaku dan nama bang Erde
terdengar aneh di telinga kalian. Karena apa, kalian akan tahu jika kalian
membuka dua kamus sekaligus. Nah, lo? Kalau yang malas buka kamus, aku akan
jelaskan. Kami berdua –aku dan bang Erde- terdiri dari empat susunan kata
dengan rincian, 1.) kata itu dari bahasa Jerman, 2.) kata itu dari bahasa
Jepang, 3.) nama dari surat dalam Al-Quran, dan 4.) gabungan nama ayah dan
bunda.
Pada rincian pertama,
dalam bahasa Jerman. Nama depan abangku adalah Erde, yang artinya adalah bumi.
Sedangkan aku Himmel, (sekali lagi bukan Cam**) adalah langit. Kedua, nama kami
di ambil dari kata bahasa Jepang. Abangku Tsuyoi, yang artinya kuat. Kalau aku
Akari, yang artinya cahaya. Baguskan. Memang pandai kedua orang tua ini, heheh.
Oke, yang ketiga, adalah nama kami di ambil dari nama surat dalam kitab suci
Al-Quran. Fatihah diberikan untuk bang Erde yang anak pertama karena surat Al
Fatihah dalam Quran adalah surat pertama. Sedangkan aku diambil dari surat ke
empat yaitu An Nisa’ yang artinya wanita. Dan aku harap jangan pernah kalian
berfikir ayah dan bundaku akan memberikan nama untukku dari nama surat kedua Al
Quran karena aku anak kedua. Karena jika dulu ketika aku baru lahir dan orang
tuaku benar memberikannya untukku, aku ingin Tuhan memberikan dua kelebihan
padaku. Apa itu? Pertama, aku bias mengerti seluruh isi kandungan kitab suciku,
dan yang kedua, aku ingin bisa berbicara. Karena jika benar itu terjadi, aku
akan mengatakan pada ayah dan bunda.
“Wahai engkau ayah dan
bundaku. Tegakah kalian memberikan nama kepada putri kalian yang cantik ini
dengan nama binatang yang menghasilkan minuman kesukaan putra pertamamu.”
Karena dalam Quran, surat kedua adalah surat Al Baqarah yang artinya sapi
betina. So, apa yang akan kalian lakukan jika nama itu menjadi salah satu
rangakaian nama kalian yang indah? Hem, lupakan saja.
Kemudian yang ke empat,
nama kami diberikan sama persis oleh ayah dan bunda, karena nama Akmalinta di
ambil dari nama Akmal, (itu nama ayahku) dan Aninta (nama bundaku). Jadi Akmal
Aninta disatukan menjadi nama belakang kami, Akmalinta. Jadi jika digabungkan
keseluruhannya, nama bang Erde mempunyai arti bumi pertama –dari Fatihah- Akmal
dan Aninta yang kuat. Sedangkan aku mempunyai arti anak perempuan Akmal dan
Aninta dari langit yang bercahaya. Kurang lebih seperti itu.
“Camelll… turun,
sekarang. Mau sarapan kamu aku abissin, ya?”
“Bentar, bang.”
Teriakku sambil memutar bola mataku mencari sisir yang jatuh di kolong meja
belajarku. Kamarku yang berada di lantai dua rumahku, cukup menyulitkanku jika
waktu sarapan aku terlambat.
DUK
DUK DUK…
Langkah kakiku
terdengar bising di telinga mbak Ajeng, pembantu muda di rumahku yang sedang
menyapu lantai di bawah tangga. Kedua telapak tangannya dengan sigap menutu
kedua telinganya sebelum aku turun. Mbak Ajeng sudah hafal apa yang akan
terjadi jika ia mendengar suara gesekan pintu kamarku dengan lantai yang sedang
aku tutup.
Di bawah, aku melihat
tingkah mbak Ajeng masih menutup kedua telinganya. Kulemparkan senyuman bangga
padanya, mbak Ajeng meringis melihatkan gigi kelincinya yang tinggal satu kokoh
berbaris di depan di antara gigi-gigi yang lain.
“Hehehe.. sudah hafal,
non” ujarnya bahagia.
“Bagus” jawabku plus
dengan acungan kedua jempol tanganku ke arahnya.
Di meja makan, ayah,
bunda, dan bang Erde sudang menjinjing roti di masing-masing tangan kanan
mereka.
“Pagi, ayah, pagi
bunda..”
“Kok abang enggak,
sih?” bang Erde mulai mencari topic perang.
“Oh iya, lupa. Selamat
pagi abangku Erde Tsuyoi Fatihah Akmalinta yang gantengnya dunia akhirat.
Puas..”
“Heh.. kalian ini. tiap
jam sarapan berantem terus” bunda mulai menenangkan kami.
“Ini, nih bun. Bang Erde,
mulai terus” kataku.
“Kamu juga. Abang kamu
kan cuma minta ucapan saja. Kamu sendiri yang menanggapi lain.” Pembelaan bunda
ke bang Erde membuatku sengsara. Aku kalah kali ini.
“Sudah-sudah, sekarang
gantian ayah yang ngomong” ayah mulai bersuara pagi ini. Aku tinggalkan
tatapanku yang sedari tadi menatap wajah bang Erde yang penuh aura kemenagan.
Ih.. jijai. Awas ya nanti. Baru dapat belaan segitu dari bunda, bangganya minta
ampun.
Hatiku merasa tenang
saat menatap pahlawanku yang satu ini. Pria santun penuh wibawa di samping
kananku. Ya, itu ayahku.
“Ada apa, yah? Serius
nih..”
“Benar, sayang. Serius.
Mungkin sampai limarius” jawab ayah dengan senyum pendamainya.
“Beneran, yah” kata
bang Erde ikut penasaran.
“Begini, mumpung kita
masih dalam liburan hari raya. Ayah dan bunda sepakat ingin mengajak kalian
berlibur ke villa kita di Jogja”
“Villa? Villa yang
mana, yah? Kayaknya kita ngak punya deh villa. Apalagi di Jogja. Punya keluarga
di Jogja saja ngak, kan?” kata bang Erde.
“Benar, yah. Kita ngak
pernah tuh ke villa yang ayah sebut tadi. Kita pernah ke Jogja pun ngak pernah
ayah ngajak kita ke villa. Baru beli, ya?”
Bunda menuangkan susu
ke gelas bang Erde untuk kedua kalinya. (Aduh..) Dan berkata,
“Ngak. Itu villa kita
sudah lama. Belinya waktu jaman bulan madu ayah dan bunda dulu. Ayah dan bunda
memang sepakat untuk tidak mengatakannya ke kalian karena kami tahu, kalau
kalian tahu villa itu pasti setiap hari kalian pingin kesana dan ngak mau
pulang-pulang”
Dari cerita bunda soal
villa di Jogja itu, aku sudah membayangkan bagaimana suasana di sekitar villa
itu. Tempat bulan madu, hemm.. pasti indah.
“Dan rencananya, ayah
mau ngajak bunda, Imel dan kamu ke sana. Bagaimana, bunda?”
“Ya, jadi kalian mau
tidak?” Tanya bundaku.
Dengan cepat, aku
jawab, “ngak”
“Loh, kok ngak?”
“Maksudnya si Camel itu
ngak nolak, ayah” kata bang Erde. Ku cubit tangannya, karena masih saja
menyebutku Camel.
“Bang
Erde, aku Imel bukan Camel. Emangnya aku unta”
Aku marah. Dan memang
marah. Tapi itu malah memancing tawa dari kedua orang tuaku dan bang Erde
tentunya.
“Jadi besok kita
berangkat. Siap-siap, ya..” pesan ayah sambil meminta kami melanjutkan sarapan
masing-masing. Hah, bagaimana villa di sana? Tak sabar aku menunggu esok.
Bersambung..
No comments:
Post a Comment