Hidup itu seperti layaknya buah strowberi,
asam.. manis. Ya, itu rasanya. Paham itu diyakini oleh Ranishia, cewek cuek
yang begitu menggemari buah strowberi. Strowberi, identik dengan gadis-gadis
cantik nan feminim. Tapi itu jadi tak berlaku jika melihat Ranishia yang
memiliki sifat tomboi layaknya anak laki-laki.
“Husss... nglamun aja kamu, Ran!” bentak
Fatimah yang tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba nonggol di belakang
Ranishia. Mata Ranishia terbelalak seperti ingin keluar dari tempurung
kepalanya.
Tetapi, ia tetaplah Ranishia yang cuek. Ada
demo, kebakaran, bahkan perang duniapun ia tak akan goyah dengan kejutan
apapun. Ranishia sejenak hanya memandang Fatimah dengan ekspresi datar. Lalu
dengan tanpa dosa diraihnya sebuah strowberi dari kotak bekal yang ia letakkan
di pangkuannya.
“Aku bete banget hari ini, Mah” ujarnya sambil
memasukkan sebuah strowberi ke dalam mulutnya.
“Bete kenapa? Perasaan kamu itu tiap hari
bawaannya bete.. melulu”
“Aku dari tadi kena sial aja. Mulai berangkat
tadi ban angkot yang aku tumpanggi bocor sampai telat masuk kelas, lah. Buku PR
aku ketinggalan, lah. Ulangan dapat bangku depan, lah. Sampai-sampai nih
lihat,” ditunjukkannya selembar kertas ulangan dengan garis-garis memalukan
yang menghiasi setiap nomor-nomor soal tepat ke arah wajah Fatimah.
Tawa dari mulut fatimah sudah tidak bisa di
tahan lagi. Ia lepaskan tawanya yang hampir membuat sakit perutnya karena
menahan rasa geli melihat kertas ulangan Ranishia.
“Seneng... seneng... ya lihat temen sendiri
terpuruk dalam kelamnya hidup di dunia yang fana ini”
“Ih bahasamu, Ra. Maaf maaf... aku ngak kuat
lihat ekspresi wajah kamu yang lucu itu. Tapi santai kawan. Ingat, seperti
filosofi buah strowberi. Seperti rasa strowberi, dunia itu menyimpan rasa manis
dan asam yang pasti akan dirasakan oleh seluruh makhluk di bumi ini. Itu kan
yang sering kamu katakan ke aku. Ah... jangan belagak amnesia, deh.” Kata
Fatimah yang mencoba menyadarkan sahabat baiknya itu.
Layaknya seorang ibu yang menenangkan anaknya,
Fatimah dengan penuh kasih sayang mengusap-usap punggung Ranishia. Tetapi
Ranishia merasa geli dengan perlakuan Fatimah kepadanya.
Di singkirkannya tangan Fatimah dari
pundaknya, “geli tau...” Ranishia meninggalkan sahabatnya itu ke luar kelas.
Ranishia ingin menenangkan pikirannya. Kemana lagi, kantin tujuannya.
Di kantin ia hanya duduk di salah satu warung
bakso yang paling laris di Madrasahnya. Tanpa harus menanyainya, pak Toro,
penjual bakso itu tahu bahwa Ranishia hanya ingin duduk di warungnya saja.
“Hah... asem melulu rasanya...” di kunyahnya
satu persatu strowberi yang ia selalu bawa. “Kapan manisnya kerasa?” ia selalu
marah-marah tak jelas hanya karena srowberinya yang tidak bisa memuaskan hatinya
yang sedang galau itu.
“Jangan hanya yang merah saja yang kamu makan,
belum tentu yang berwarna segar saja yang manis rasanya.” Seorang murid
laki-laki dengan wajah rupawan datang menghampirinya.
Penampilannya rapi, dan Ranishia sepertinya
baru melihat laki-laki itu.
“Aku belum pernah melihat kamu sebelumnya,
betulkah?” tanya Ranishia.
“Betul banget, aku anak baru di sini. Nama ku
Yusuf, aku kelas X. Salam kenal, ya.”
“Aku Ranishia, panggil saja aku Rani. Salam
kenal.” Ia ingin berjabat tangan dengan Yusuf, tapi Yusuf menolak uluran tangan
Ranishia dengan tetap mengapitkan kedua telapak tangannya di depan dada.
“Oh, maaf. Lupa.” Ujarnya sambil malu-malu.
Ah.. masih ada ternyata anak muda yang masih menjunjung tinggi martabat
kesuciannya. Mata Ranishia tak bisa lepas ke arah Yusuf. Astaqfirullah...
“Kamu suka makan strowberi, ya?”
“Ah... iya suka banget. Kamu?”
“Aku juga, kebetulan ayahku punya usaha
perkebunan strowberi di Bandung. Jadi aku sudah tidak aneh dengan strowberi.
Dan tahu tidak, kalu strowberi itu ternyata bisa menenangkan fikiran jika kita stres,
lo. Nih, aku pinjami kamu buku ini”
Buku dengan cover depan bergambar strowberi
itu membuat Ranishia tergiur dengan gambar strowberi yang begitu besar dan
segar.
“Kamu baca buku ini. Buku ini berisikan semua
tentang strowberi. Jangan bilang kamu pecinta strowberi jika belum tahu apa itu
stroberi. Oke, kamu ambil saja, aku masih punya di rumah.”
“Iya terimakasih,” dada Ranishia berdebar
dengan cepat. Yusuf kemudian berpamitan untuk kembali ke kelasnya. Dirasa sudah
cukup jauh Yusuf meninggalkannya, denagn hati yang tak menentu, di bukanya
dengan perlahan. Betapa terkejutnya ia, melihat tulisan tangan yang terulis
Filosofi buah strowberi.
Seperti
rasa dalam buah strowberi, dunia itu menyimpan rasa manis dan asam yang pasti
akan dirasakan oleh seluruh makhluk di bumi ini.
Yusuf ternyata juga menyenaggi filosofi
Strowberi sepert dirinya. Dalam hati ia berkata,
Aih... inikah rasa manis itu, bahkan ini lebih
manis daripada rasa sebuah strowberi termanis di seluruh dunia.
No comments:
Post a Comment