Assalamualaikum.. welcome to my blog, guys..!! ^_^

Adsense

Wednesday, September 12, 2012

Kerudung Merah



Entah apa yang sedang disembunyikan oleh om Luqman dari ku. Kain merah ini, em.. atau aku sebut kerudung saja menjadi begitu misterius dan menyimpan rahasia tiap kali ku tanyakan kepada Om Luqman.
“Sudahlah, buang saja kain itu” perintah om Luqman saat ku tanyakan perihal kain yang sempat aku temukan di meja kerjanya.

“Tapi, om. Sayang kan, kain ini bisa aku pakai buat kerudung, iyakan?”
“Tidak. Lebih baik kamu buang saja dari pada kamu pakai kain ini. Ingat itu, jangan kamu pakai. SEKALIPUN.” Bentak om padaku. Apa? Baru kali ini aku mendengar om Luqman membentak ku seperti itu. Seumur hidupku tinggal bersama om Luqman, baru kali ini aku mendapat larangan mentah-mentah dari om Luqman.
Om Luqman tidak akan seperti ini jika ada hal yang mendasarinya untuk menentang keinginanku. Aku tak apa, aku menerima jika om Luqman marah padaku karena hal atau kesalah yang aku perbuat, tapi ini? Ini hanya masalah kerudung merah, selembar kain merah yang bisa dibilang hanya selembar kain merah. Lalu apa istimewanya kain ini?
Aku terus berfikir untuk mencari tahu apa yang bisa aku cari tahu tentang sejarah kain merah ini.
“Dilihat dari bahan kainnya, ini sudah cukup lama melihat kain ini sudah mulai memudar warnanya.” Analisis kecilku coba ku berikan setelah mengamati kain ini.
Disaat aku coba mencari tahu apa yang harus aku perbuat, terdengar suara gaduh dari arah dapur. Prakkkkk...
“Ya Allah, ada apa, bi?” teriakku sambil berlari menuju dapur. Aku lempar saja kain merah itu ke atas sofa ruang tamu. Setelah membantu bibi yang ternyata terpeleset di dapur, aku langsung saja menuju ke kamar mandi, biasa buang hajat... hehehe.... tapi, satu hal yang membuatku berteriak lebih keras dari pada teriakan bibi tadi. Kain merah itu tergantung rapi di pengait kamar mandiku.
“Bi, siap yang taruh kain ini di sini, sih?” tanyaku.
“Ngak tahu mbak Kiva. Wong dari tadi bibi di dapur, kepleset saja mbak Kiva yang tolongin, iya toh?”
Betul juga, tadi terakhir kali yang membawa kain itu kan aku. Tapi, aku sempat meletakkannya di sofa depan?
“Apa mungkin om Luqman?” aku makin penasaran.
“Mbak Kiva ini bagaimana, toh? Pak Luqman itu tadi keluar, pas sempet marahin mbak tadi. Mbak habis dimarahin, kan?”
Hah? Om Luqman keluar? Terus yang taruh di kamar mandi siapa, dong.

Dalam kamar aku terus mencari akal, harus aku kemanakan kain merah ini. Aku pandang kain itu dari berbagi sisi.
“Masih bagus, kok” ujarku sambil menyeringai.
Aku ingin sekali mengenakannya, aku suka. Canitkkah aku dengan kain ini? Dan kebetulan sekali, kain ini berwarna merah, warna favoritku. Ku sampirkan sejenak di pundakku. Hem... bagus juga. Tapi bagaiman jika aku memakainya?
Ku pandang wajahku tanpa kerudung di depan kaca, hasrta ku untuk memakainya sudah memuncak. Aku tak peduli larangan om Luqman untuk aku tidak memakinya,
“Maaf, om. Aku ingin memakainya. Lagi pula tak ada orang yang tahu, di kamar ini aku hanya sendiri, iya, to?” aku bicara sendiri di hadapan bayanganku sendiri.
Saat aku mulai memasangnya di kepalaku, Astaqfirullah.. aku melihat seorang wanita cantik berdiri di belakangku dengan tatapan yang seakan ia marah padaku.
“Ahhhhkkkk....” aku berteriak sekencang-kencangnya. Secepat kilat kutarik kain merah itu dari kepalaku. Dan...
“Kemana, dia?” aku berbalik ke belakang. Dia menghilang. Tiba-tiba, bulu kuduk ku berdiri. Siapa wanita itu? Takut, ya aku takut.

Aku tak percaya apa yang kualami ini. Aku masih tak memiliki niat untuk membuang kerudung ini, aku akan terus menyimpannya, dan akan terus aku cari untuk mengungkap semua tabir rahasia kerudung merah ini.
“Coba kamu tanya aja sama bu Syifa. Dia kan temen kuliahnya om kamu dulu.” Betul juga kata Farah. Mungkin bu Syifa bisa membantu aku menceritakan kisah masa-masa kuliah om Luqman dulu. Dan aku berharap ada titik terang tentang sejarah kain merah ini.
Setelah aku menemui bu Syifa secara pribadi setelah pelajar berakhir. Alhamdulillah.. bu Syifa menyetujui untuk ku ajak bertemu di Kafe langganan ku nanti ba’da Ashar. Aku sengaja untuk berangakat lebih awal agar tidak membuat bu Syifa menunggu aku. Lebih baik aku saja yang menunggu bu Syifa, karena aku yang mengajaknya. Tidak etis rasanya.
Aku berngkat sebelum adzan Ashar berkumandang. Aku memilih untuk sholat di luar saja. Untungnya di dekat Kafe tempatku bertemu dengan bu Syifa terdapat mushola yang tidak jauh dengan lokasi kafe.
Setelah sholat aku langsung bergegas menuju ke kafe. Ternyata aku sudah terlambat cukup lama, imam mushola ini ternyata menggunakan surat-surat yang panjang. Sehingga waktu sholat yang makin lama tidak seperti aku biasanya. Tanpa ku sadari aku melupakan sesuatu yang penting. Tapi, aku tak menginggatnya.
“Apa, ya? Apa yang lupa, ya?” aku makin tak menggingat apa-apa, tapi aku masih merasa ada sesuatu yang terganjal dalam fikiranku. Akum masih melanjutkan perjalananku menuju Kafe.
“Semoga bu Syifa belum sampai..” doa ku dalam hati.

Setelah kurang lebih lima menit perjalanan dengan motor bebek ku, Alhamdulillah.. aku sampai juga.
Aku bergegas masuk sembari mataku memandang ke sana kemari untuk memastikan apakah bu Syifa telah sampai lebih dulu dari pada aku. Untung saja, aku tak melihat batang hidungnya. Tak lama aku menunggu, tidak lebih dari lima menit aku duduk. Seorang wanita berkerudung merah muda dengan baju panjang dengan warna senada datang menghampiri tempat dudukku.
“Assalamualaikum, Kiva.. maaf nunggu lama, ya.” Aku cium tangan kanannya yang putih itu tanda hormatku padanya.
“Tidak apa-apa, bu. Saya juga belum begitu lama di sini” ujarku dengan sopan.
Akupun bercerita semua permasalahanku tentang sikap om Luqman akhir-akhir ini. Saat mulai ku singgung tentang kain merah, ya Allah... kain itu...
Aku lupa, kain itu tertinggal di tempat wudhu mushola yang tadi. Ku katakan pada bu Syifa, bahwa kain itu tertinggal di mushola.
“Lalu itu apa, Kiva. Ada seperti kain merah di tas kamu.” Bu Syifa menunjuk tas jinjingku yang terbuka bagian depannya. Ku lempar pandanganku kerah tas yang ku letakkan di atas meja. Ya Allah, kain itu sudah ada di dalam tas ku lagi. Aku merasa aku meninggalkannya di wastafel tempat wudhu.
“Kamu itu sering lupa ya..”
“Tidak, bu. Saya yakin, saya tidak sengaja meninggalkan kain ini di sana. Tapi mengapa... ini aneh.”
“Kamu pasti lupa, Kiva. Kamu...”
“Tidak, bu. Ini sudah kesekian kalinya, saya juga pernah meninggalkan kain ini di sofa tapi tiba-tiba kain ini berada di kamar mandi saat saya masuk.” Makin ku jelaskan hal-hal aneh yang aku alami. Ku lihat bu Syifa hanya diam memandangku.
“Dan satu hal yang begitu saya ingat, saat saya mengenakan kain ini sebagai kerudung, di kaca saya melihat bayangan seorang wanita cantik yang berdiri di belakang saya. Dan wajahnya, saya..  saya melihat ia seperti tak suka melihat saya memakai kain ini.” Tiba-tiba udara terasa begitu dingin. Aku masih melihat bu Syifa tetap diam. Tiba-tiba...
“Fitria...” kata bu Syifa sedikit berbisik padaku.
Fitria, ternyata adalah seseorang yang pernah menjadi wanita yang begitu berarti dalam hidup om Luqman. Fitria begitu menyayangi om Luqman, bahkan ia akan melakukan apapun demi mendapatkan om Luqman. Sampai-sampai Fitria harus berbohong tentang jati dirinya yang sebenarnya. Ia seorang Nasrani. Ya, Fitria berbeda dengan om Luqman.
“Tanpa Fitria tahu, om kamu juga punya rasa yang sama. Bahkan om kamu ingin melamar Fitria sebagai istrinya, sebelum om kamu tahu bahwa ia telah dibohongi oleh Fitria”
“Lalu bagaimana dengan om Luqman?” tanyaku.
“Om kamu marah, ia memutuskan hubungan dengan Fitria. Ia sudah merasa di bohongi. Tapi asal kamu tahu, di dalam jiwa Fitria sudah melekat jiwa seorang muslimah. Fitria meninggal setelah ia mengucapkan dua kalimat syahadat.” Bu Syifa menangis, “dan kerudung ini, ia titipkan kepada ibu untuk di berikan kepada om kamu. Fitria bilang dengan kerudung ini ia bisa selalu dengan orang yang ia kasihi. Sampai kapanpun.”
Waktu hampir Maghrib, aku segera berpamitan untuk untuk pulang. Sudah cukup cerita dari bu Syifa itu. Aku sudah menemukan titik terangnya.
Dalam perjalanan, tiba-tiba hujan turun. Kerudung yang aku pakai tak terasa basah di kepala. Aku tak bisa seperti ini, pulang kerumah dalam keadaan basah kuyub. Di depan toko aku berhenti untuk berteduh, aku lihat ada kamar mandi umum di seberang. Aku berfikir untuk mengganti kerudung yang aku pakai dengan... ya kain merah itu. Apa boleh buat.
Aku memakainya sampai ke rumah. Aku berharap om tidak ada di rumah. Ketika motorku masuk ke halaman rumah, kepalaku tiba-tiba pusing sekali. Pandanganku kabur, Ya Allah ada apa ini?
Om Luqman sudah berdiri di depan pintu. Ku lihat ia tampak marah, karena aku memakai kain merah itu. “Kiva...” belum selesai om Luqman memarahiku, tiba-tiba semua menjadi gelap.

“Kiva... Kiva...” aku mendengar suara itu memanggil aku. Itu seperti suara om.
“Kiva... mengapa kamu pakai kain itu, om sudah bilang, jangan kamu pakai. Buang saja jauh-jauh. Kain ini akan menjadi bencana bagi orang yang membawanya selain om. Kejadiankan..” aku merasakan ada yang menggenggam tanganku. TESS... air mata om Luqman menetes di tangan ku.
“Om... “ panggilku, “tolong om maafkan tante Fitria.” Pintaku lirih.
“Fitria? Kamu...” om Luqman binggung. Aku mengagguk.
“Fitria sudah meninggal, dan dia sudah membohongi om.”
“Tidak, om. Om tahu, tante Fitria sudah menjadi seorang muslimah. Tante Fitria sudah tenang di sana. Om maafkan dia, ya.” Suaraku terdengar lirih. Kepalaku masih terasa pusing sekali.
“Alhamdulillah.. dia sudah sadar. Maafkan aku, Fit.” Om Luqman menangis. Aku tenangkan dirinya, aku meminta om Luqman untuk sholat dan mendoakan almarhumah.
Setelah aku selesai sholat tahajud, aku masih belum bisa unutk kembali tidur. Padahal jam menujukkan pukul 02.00. kamarku gelap, tetapi aku terkejut saat aku lihat.. kain itu ada di meja belajarku. Aku tutup mataku,
“Kita sudah berbeda, dan aku yakin tante sudah tenang di sisi Allah. Om Luqman sudah memaafkan tante. Jadi , biarkan om Luqman hidup dengan bahagia.” Dengan satu tarikan nafas panjang, aku buka mataku. Alhamdulillah... kain itu menghilang.

No comments:

Post a Comment