Entah apa yang sedang disembunyikan oleh om
Luqman dari ku. Kain merah ini, em.. atau aku sebut kerudung saja menjadi
begitu misterius dan menyimpan rahasia tiap kali ku tanyakan kepada Om Luqman.
“Sudahlah, buang saja kain itu” perintah om
Luqman saat ku tanyakan perihal kain yang sempat aku temukan di meja kerjanya.
“Tapi, om. Sayang kan, kain ini bisa aku pakai
buat kerudung, iyakan?”
“Tidak. Lebih baik kamu buang saja dari pada
kamu pakai kain ini. Ingat itu, jangan kamu pakai. SEKALIPUN.” Bentak om
padaku. Apa? Baru kali ini aku mendengar om Luqman membentak ku seperti itu.
Seumur hidupku tinggal bersama om Luqman, baru kali ini aku mendapat larangan
mentah-mentah dari om Luqman.
Om Luqman tidak akan seperti ini jika ada hal
yang mendasarinya untuk menentang keinginanku. Aku tak apa, aku menerima jika
om Luqman marah padaku karena hal atau kesalah yang aku perbuat, tapi ini? Ini
hanya masalah kerudung merah, selembar kain merah yang bisa dibilang hanya
selembar kain merah. Lalu apa istimewanya kain ini?
Aku terus berfikir untuk mencari tahu apa yang
bisa aku cari tahu tentang sejarah kain merah ini.
“Dilihat dari bahan kainnya, ini sudah cukup
lama melihat kain ini sudah mulai memudar warnanya.” Analisis kecilku coba ku
berikan setelah mengamati kain ini.
Disaat aku coba mencari tahu apa yang harus
aku perbuat, terdengar suara gaduh dari arah dapur. Prakkkkk...
“Ya Allah, ada apa, bi?” teriakku sambil
berlari menuju dapur. Aku lempar saja kain merah itu ke atas sofa ruang tamu.
Setelah membantu bibi yang ternyata terpeleset di dapur, aku langsung saja
menuju ke kamar mandi, biasa buang hajat... hehehe.... tapi, satu hal yang
membuatku berteriak lebih keras dari pada teriakan bibi tadi. Kain merah itu
tergantung rapi di pengait kamar mandiku.
“Bi, siap yang taruh kain ini di sini, sih?”
tanyaku.
“Ngak tahu mbak Kiva. Wong dari tadi bibi di
dapur, kepleset saja mbak Kiva yang tolongin, iya toh?”
Betul juga, tadi terakhir kali yang membawa
kain itu kan aku. Tapi, aku sempat meletakkannya di sofa depan?
“Apa mungkin om Luqman?” aku makin penasaran.
“Mbak Kiva ini bagaimana, toh? Pak Luqman itu
tadi keluar, pas sempet marahin mbak tadi. Mbak habis dimarahin, kan?”
Hah? Om Luqman keluar? Terus yang taruh di
kamar mandi siapa, dong.
Dalam kamar aku terus mencari akal, harus aku
kemanakan kain merah ini. Aku pandang kain itu dari berbagi sisi.
“Masih bagus, kok” ujarku sambil menyeringai.
Aku ingin sekali mengenakannya, aku suka.
Canitkkah aku dengan kain ini? Dan kebetulan sekali, kain ini berwarna merah,
warna favoritku. Ku sampirkan sejenak di pundakku. Hem... bagus juga. Tapi
bagaiman jika aku memakainya?
Ku pandang wajahku tanpa kerudung di depan
kaca, hasrta ku untuk memakainya sudah memuncak. Aku tak peduli larangan om
Luqman untuk aku tidak memakinya,
“Maaf, om. Aku ingin memakainya. Lagi pula tak
ada orang yang tahu, di kamar ini aku hanya sendiri, iya, to?” aku bicara
sendiri di hadapan bayanganku sendiri.
Saat aku mulai memasangnya di kepalaku, Astaqfirullah.. aku melihat seorang wanita
cantik berdiri di belakangku dengan tatapan yang seakan ia marah padaku.
“Ahhhhkkkk....” aku berteriak
sekencang-kencangnya. Secepat kilat kutarik kain merah itu dari kepalaku.
Dan...
“Kemana, dia?” aku berbalik ke belakang. Dia
menghilang. Tiba-tiba, bulu kuduk ku berdiri. Siapa wanita itu? Takut, ya aku
takut.
Aku tak percaya apa yang kualami ini. Aku
masih tak memiliki niat untuk membuang kerudung ini, aku akan terus
menyimpannya, dan akan terus aku cari untuk mengungkap semua tabir rahasia
kerudung merah ini.
“Coba kamu tanya aja sama bu Syifa. Dia kan
temen kuliahnya om kamu dulu.” Betul juga kata Farah. Mungkin bu Syifa bisa
membantu aku menceritakan kisah masa-masa kuliah om Luqman dulu. Dan aku
berharap ada titik terang tentang sejarah kain merah ini.
Setelah aku menemui bu Syifa secara pribadi
setelah pelajar berakhir. Alhamdulillah.. bu Syifa menyetujui untuk ku ajak
bertemu di Kafe langganan ku nanti ba’da Ashar. Aku sengaja untuk berangakat
lebih awal agar tidak membuat bu Syifa menunggu aku. Lebih baik aku saja yang
menunggu bu Syifa, karena aku yang mengajaknya. Tidak etis rasanya.
Aku berngkat sebelum adzan Ashar berkumandang.
Aku memilih untuk sholat di luar saja. Untungnya di dekat Kafe tempatku bertemu
dengan bu Syifa terdapat mushola yang tidak jauh dengan lokasi kafe.
Setelah sholat aku langsung bergegas menuju ke
kafe. Ternyata aku sudah terlambat cukup lama, imam mushola ini ternyata
menggunakan surat-surat yang panjang. Sehingga waktu sholat yang makin lama
tidak seperti aku biasanya. Tanpa ku sadari aku melupakan sesuatu yang penting.
Tapi, aku tak menginggatnya.
“Apa, ya? Apa yang lupa, ya?” aku makin tak
menggingat apa-apa, tapi aku masih merasa ada sesuatu yang terganjal dalam
fikiranku. Akum masih melanjutkan perjalananku menuju Kafe.
“Semoga bu Syifa belum sampai..” doa ku dalam
hati.
Setelah kurang lebih lima menit perjalanan
dengan motor bebek ku, Alhamdulillah..
aku sampai juga.
Aku bergegas masuk sembari mataku memandang ke
sana kemari untuk memastikan apakah bu Syifa telah sampai lebih dulu dari pada
aku. Untung saja, aku tak melihat batang hidungnya. Tak lama aku menunggu,
tidak lebih dari lima menit aku duduk. Seorang wanita berkerudung merah muda
dengan baju panjang dengan warna senada datang menghampiri tempat dudukku.
“Assalamualaikum, Kiva.. maaf nunggu lama,
ya.” Aku cium tangan kanannya yang putih itu tanda hormatku padanya.
“Tidak apa-apa, bu. Saya juga belum begitu
lama di sini” ujarku dengan sopan.
Akupun bercerita semua permasalahanku tentang
sikap om Luqman akhir-akhir ini. Saat mulai ku singgung tentang kain merah, ya
Allah... kain itu...
Aku lupa, kain itu tertinggal di tempat wudhu
mushola yang tadi. Ku katakan pada bu Syifa, bahwa kain itu tertinggal di
mushola.
“Lalu itu apa, Kiva. Ada seperti kain merah di
tas kamu.” Bu Syifa menunjuk tas jinjingku yang terbuka bagian depannya. Ku
lempar pandanganku kerah tas yang ku letakkan di atas meja. Ya Allah, kain itu
sudah ada di dalam tas ku lagi. Aku merasa aku meninggalkannya di wastafel
tempat wudhu.
“Kamu itu sering lupa ya..”
“Tidak, bu. Saya yakin, saya tidak sengaja
meninggalkan kain ini di sana. Tapi mengapa... ini aneh.”
“Kamu pasti lupa, Kiva. Kamu...”
“Tidak, bu. Ini sudah kesekian kalinya, saya
juga pernah meninggalkan kain ini di sofa tapi tiba-tiba kain ini berada di
kamar mandi saat saya masuk.” Makin ku jelaskan hal-hal aneh yang aku alami. Ku
lihat bu Syifa hanya diam memandangku.
“Dan satu hal yang begitu saya ingat, saat
saya mengenakan kain ini sebagai kerudung, di kaca saya melihat bayangan seorang
wanita cantik yang berdiri di belakang saya. Dan wajahnya, saya.. saya melihat ia seperti tak suka melihat saya
memakai kain ini.” Tiba-tiba udara terasa begitu dingin. Aku masih melihat bu
Syifa tetap diam. Tiba-tiba...
“Fitria...” kata bu Syifa sedikit berbisik
padaku.
Fitria, ternyata adalah seseorang yang pernah
menjadi wanita yang begitu berarti dalam hidup om Luqman. Fitria begitu
menyayangi om Luqman, bahkan ia akan melakukan apapun demi mendapatkan om
Luqman. Sampai-sampai Fitria harus berbohong tentang jati dirinya yang
sebenarnya. Ia seorang Nasrani. Ya, Fitria berbeda dengan om Luqman.
“Tanpa Fitria tahu, om kamu juga punya rasa
yang sama. Bahkan om kamu ingin melamar Fitria sebagai istrinya, sebelum om
kamu tahu bahwa ia telah dibohongi oleh Fitria”
“Lalu bagaimana dengan om Luqman?” tanyaku.
“Om kamu marah, ia memutuskan hubungan dengan
Fitria. Ia sudah merasa di bohongi. Tapi asal kamu tahu, di dalam jiwa Fitria
sudah melekat jiwa seorang muslimah. Fitria meninggal setelah ia mengucapkan
dua kalimat syahadat.” Bu Syifa menangis, “dan kerudung ini, ia titipkan kepada
ibu untuk di berikan kepada om kamu. Fitria bilang dengan kerudung ini ia bisa
selalu dengan orang yang ia kasihi. Sampai kapanpun.”
Waktu hampir Maghrib, aku segera berpamitan
untuk untuk pulang. Sudah cukup cerita dari bu Syifa itu. Aku sudah menemukan
titik terangnya.
Dalam perjalanan, tiba-tiba hujan turun.
Kerudung yang aku pakai tak terasa basah di kepala. Aku tak bisa seperti ini,
pulang kerumah dalam keadaan basah kuyub. Di depan toko aku berhenti untuk
berteduh, aku lihat ada kamar mandi umum di seberang. Aku berfikir untuk
mengganti kerudung yang aku pakai dengan... ya kain merah itu. Apa boleh buat.
Aku memakainya sampai ke rumah. Aku berharap
om tidak ada di rumah. Ketika motorku masuk ke halaman rumah, kepalaku
tiba-tiba pusing sekali. Pandanganku kabur, Ya Allah ada apa ini?
Om Luqman sudah berdiri di depan pintu. Ku
lihat ia tampak marah, karena aku memakai kain merah itu. “Kiva...” belum
selesai om Luqman memarahiku, tiba-tiba semua menjadi gelap.
“Kiva... Kiva...” aku mendengar suara itu
memanggil aku. Itu seperti suara om.
“Kiva... mengapa kamu pakai kain itu, om sudah
bilang, jangan kamu pakai. Buang saja jauh-jauh. Kain ini akan menjadi bencana
bagi orang yang membawanya selain om. Kejadiankan..” aku merasakan ada yang
menggenggam tanganku. TESS... air mata om Luqman menetes di tangan ku.
“Om... “ panggilku, “tolong om maafkan tante
Fitria.” Pintaku lirih.
“Fitria? Kamu...” om Luqman binggung. Aku
mengagguk.
“Fitria sudah meninggal, dan dia sudah
membohongi om.”
“Tidak, om. Om tahu, tante Fitria sudah
menjadi seorang muslimah. Tante Fitria sudah tenang di sana. Om maafkan dia,
ya.” Suaraku terdengar lirih. Kepalaku masih terasa pusing sekali.
“Alhamdulillah.. dia sudah sadar. Maafkan aku,
Fit.” Om Luqman menangis. Aku tenangkan dirinya, aku meminta om Luqman untuk
sholat dan mendoakan almarhumah.
Setelah aku selesai sholat tahajud, aku masih
belum bisa unutk kembali tidur. Padahal jam menujukkan pukul 02.00. kamarku
gelap, tetapi aku terkejut saat aku lihat.. kain itu ada di meja belajarku. Aku
tutup mataku,
“Kita sudah berbeda, dan aku yakin tante sudah
tenang di sisi Allah. Om Luqman sudah memaafkan tante. Jadi , biarkan om Luqman
hidup dengan bahagia.” Dengan satu tarikan nafas panjang, aku buka mataku. Alhamdulillah... kain itu menghilang.
No comments:
Post a Comment