Seorang pria masih saja diam di
depan ruangan berdinding hijau muda rumput. Bukan ruangan biasa, tepatnya ruang
itu bisa disebut sebagai kamar. Kamar
yang sempat dihuni oleh seorang laki-laki, katanya. Ia menyebut kamar itu
dihuni oleh seorang laki-laki, karena memang si penghuni belum sempat menjadi
pria.
“Mas boy, panggilannya..” katanya kepada wanita yang selalu ia panggil
Mamah itu.
Mamah hanya bisa diam, tampak
tenang. Walaupun ada setitik air mata muncul di ujung matanya, tidak bisa bohong.
Ia sadar, ia tidak akan mendapat apa-apa jika memandang kamar itu berulang kali.
Begitu pula pria itu. Setiap hari selalu begitu, jadwal rutin. Senin hingga
Jumat, cukup dari luar saja, takut mengganggu. Sabtu dan Minggu bisa masuk,
temanya bicara panjang lebar, tentang pelajaran sepekan, ulangan apa, dapat
nilai apa, bahkan ada masalah apa, menjadi kewajiban yang sudah lagi tidak
disunahkan.
Kepada pria yang sering dipanggil papah ini,
semua menjadi terbuka. Papah mendidik Nimpuna, si mas boy, sebagai anak yang
terbuka. Terbuka akan masalahnya sendiri. Walaupun ada sekat antara public dan
preivesi, itu tidak jadi masalah. Papah sahabat Nimpuna, dan Nimpuna sahabat
Papah. Moto mereka berdua.
Ketersediaan menjadi kunci sebuah
kesuksesan. Tidak semuanya betul. Papah
adalah seorang dosen tetap di sebuah universitas negeri di kota Malang.
Sedangkan Mamah adalah psikolong wanita ternama yang sempat khusus ditugaskan
oleh negara, untuk ikut terjun menanggani mental korban-korban bencana di dalam
negeri maupun luar negeri. Mereka berdua adalah orang-orang terpandang dengan
jabatan yang mereka miliki, harta yang cukup, dan kehidupan yang bahagia
seperti ending-ending cerita dongeng pengantar tidur.
Setelah pacaran selama tiga
tahun, dirasa sudah saling mengenal, mereka akhirnya memutuskan untuk menikah.
Selama perjalanan pernikahannya, jarang untuk ada waktu berdua. Mereka tidak
mengenal istilah bulan madu. Setelah menikah, keduanya kembali dengan rutunitas
biasa. Profesionalisme selalu ditekankan, kepentingan public itu kewajiban.
Tapi kepentigan pribadi hampir mereka lupakan.
Hingga tujuh tahun pernikahan
mereka, tidak ada tanda-tanda akan hadirnya seorang anak yang kelak bisa mereka
didik seperti halnya apa yang mereka lakukan untuk masyarakat. Dokter ikut
turut andil, hingga tercetuslah sebuah kenyataan yang harus mereka terima
lapang dada, endometriosis. Ada masalah
cukup berbahaya di rahim Mamah. Sulit kemungkinan untuk ia bisa hamil.
Tapi Tuhan punya semua yang
umatnya mau. Mamah hamil sepekan setelah dokter memvonisnya. Tuhan tidak tidur,
doa yang selalu mereka panjatkan di tengah malam, puluhan hingga ratusan butir
air mata yang telah mengiringgi doa mereka di malam buta, dikabulkan oleh Tuhan
terang-terangan.
Perjuangan yang amat menyita
semuanya. Mamah harus rela meninggalkan pekerjaannya untuk konsen sepenuhnya ke
jabang bayi yang ia kandung. Kondisi yang makin melemah mengharuskannya untuk
lebih mencintai kasur, bantal dan gulingnya dibanding Papah, suami sekaligus
ayah calon anaknya.
Mamah tahu ia berbeda dengan
wanita-wanita hamil umumya. Banyak obat-obatan khusus yang harus ia konsumsi,
istirahat yang amat sangat dibutuhkan, bahkan cek up ke beberapa dokter
spesialis. Mamah menyebut kehamilannya ini istimewa, di saat wanita hamil ingin
makan buah yang asam-asam, Mamah lebih memilih makan telur rebus
berbutir-butir. Di saat wanita hamil suka jalan-jalan, Mamah lebih suka membaca
buku empat ratus halaman dalam sehari. Dan istimewanya lagi, di saat wanita
hamil membutuhkan minyak angin untuk mengatasi mualnya, Mamah lebih memilih
menghirup bau buku baru yang segel plastiknya baru dibuka.
“Kamu memang istimewa, nak..”
katanya lirih.
Dapat mempertahankan kehamilan
saja sudah sangat luar biasa di mata para medis. Mamah adalah wanita yang kuat,
medan-medan berat saat membantu para korban bencana telah melatih fisik dan
mentalnya. Namun, keinginannya untuk melahirkan normal pupus sudah. Pada usia
kehamilan tujuh bulan, ketuban Mamah pecah. Dokter meminta untuk mempercepat
proses kelahiran. Papah pasrah sudah, ia
mempercayakan dokter sebagai perantara Tuhan untuk menyelamatkan kedua nyawa
manusia yang ia cintai.
Bayi tampan lahir setelah dua jam
menempuh proses operasi. Itu kebahagian
Mamah dan Papah.
Bayi mereka diberi nama Nimpuna
Bagaspati, yang berarti anak pandai yang lahir bersama sinar matahari pagi.
Nama yang spesial, untuk anak mereka yang benar-benar spesial.
Waktu berjalan begitu indah.
Perkembangan Nimpuna dipantau serius oleh orang tuanya. Entah karena saat
kehamilan Mamah suka mengkonsumsi telur, efek nyidam membaca buku tebal, usia
bayi yang lahir premature, ataupun perkara arti nama, Nimpuna ternyata
istimewa.
Seperti halnya makna dari
namanya, Nimpuna yang berarti pandai, terliha jelas bagaimana proses berpikir
anak yang satu ini. Saat SD, Nimpuna sudah pernah meraih juara 1 lomba
matematika untuk SMP. Dan saat SMP, ia pernah meraih juara pertama Karya Tulis
Ilmiah SMA tingkat nasional. Pemikiran loncat satu, kata Papah.
Nimpuna masuk akselerasi saat
SMP, jadi ia hanya butuh sekolah dua tahun untuk dapat ijazah kelulusannya.
Saat SMA, Nimpuna menjadi salah satu murid yang diandalkan sekolah untuk urusan
lomba karya tulis. Ada saja ide yang ditorehkan lewat tulisan-tulisan
cerdasnya, biji buah yang jadi pengganti kedelai untuk susu, kulit semangka
jadi bahan bakar, kelopak bunga jadi kue, dan jadi jadi yang lainnya, itu semua
bisa mengantarkannya dari kejuaraan tingkat ecrek-ecrek sampa seluruh belahan
bumipun bisa mengenalnya.
International Essay Young
Writers’ Contest, menjadi berita bak badai angin topan samudra yang memporak
porandakan seluruh isi hatinya. Nimpuna dipilih untuk mewakili sekolah bahkan
dunia untuk maju ke tingkat internasional karya tulis ilmiah di Denmark. Mamah
dan Papah tak kalah bahagianya. Apa yang diraih putra sematawayangnya itu
sungguh sebuah anungrah dan prestasi yang membanggakan mereka.
“Kamu pasti bisa, nak. Papah
selalu support kamu..” kata Papah memeluk Nimpuna bangga.
“Mamah bangga sama kamu,”
Namun ini belum selesai,
pertempuran baru saja di mulai. Ini adalah cita-cita lama Nimpuna, bisa
berkompetisi di tingkat dunia. Melewatinya dengan santai-santai, adalah suatu
kebodohan yang sangat absurd.
Bagaimana pola pikir manusia
individu untuk perubahan dunia di kemudian hari adalah tema utama kompetisi
ini. Seluruh buku dan materi-materi lomba ia persiapkan baik-baik. Kali ini,
Nimpuna tak perlu bekerja keras bereksperimen ini itu untuk lombanya. Yang akan
dilombakan kali ini sungguh sangat berbeda
dari biasanya. Yang biasanya ia harus berkutat dengan bahan-bahan alami
dan kimia, kali ini ia harus terjun lapangan menemui aspek kehidupan manusia di
sekelilingnya.
Setelah pulang sekolah, ia harus
mengamati. Di rumah, ia harus menulis draf untuk semua yang telah ia amati di
lapangan. Urusan makan, tidur, bermain, seakan telah terdelete dalam jadwal
masa remajanya. Bagaimana orang-orang
memandang hidupnya sendiri untuk mencari kelayakan hidup dalam jangka waktu
yang lama di bumi yang sementara, itulah yang ada di otak Nimpuna, anak
laki-laki 15 tahun.
Buku-buku tebal milik Mamah ia
libas habis. 300 hingga 400 halaman buku psikologi dan empat judul buku tentang
hukum internasional bisa ia baca dan tarik kesimpulan dalam sehari semalam. Buku
saku tentang undang-undang negara bisa ia baca dan hafal kurang dari 75 menit.
Jika dalam sehari ada 42 jam, Nimpuna akan sangat bersyukur walaupun ia rela
akan dimaki seluruh umat manusia.
Hingga tengah malam, Nimpuna
masih tenggelam dalam meja belajarnya. Penuh buku, kertas berserakan, laptop
yang terus bekerja tanpa henti. Jari jemainya yang sudah hafal diluar kepala
terus menari di atas tonjolan-tonjolan hurus yang tak urut.
“Istirahatlah, nak.. nanti kamu
sakit..” pinta Papah di depan pintu kamarnya. Ritual rutin.
“Sebentar lagi, ya. Ini mau
selesai, deadline nya udah dekat nih, Pah.”
“Iya, tapi kan bisa diselesaikan
besok. Besok ngak usah sekolah saja, biar kamu bisa lanjutin. Nanti Papah ijin
bu Mega.” Papa mulai mendekat ke meja Nimpuna. Ia begitu terpana dengan apa
yang ada di meja belajar putranya itu. Berbagai tulisan tersebar ke seluruh
penjuru meja. Buku yang bahkan ia belum pernah baca, telah terbuka dengan
tulisan berblok aneka warna yang sengaja dicoret menandakan tulisan-tulisan itu
penting.
“Ngak perlu, pah. Besok aku
ulangan, ngak bisa aku ninggalin begitu saja,” Nimpuna menoleh menyadari ada
Papah di belakangnya.
Wajahnya sudah pucat, terlihat
Nimpuna sangat kurang tidur. Ada ruam hitam yang melingkar di bawah matanya.
Papah mulai khawatir. Namun ia hanya diam saja, takut makin mengganggu
konsentrasi Nimpuna.
****
Hari yang ditunggu tiba. Nimpuna
sedikit sempoyongan untuk berjalan keluar kamarnya. Kemeja batik dengan celana
hitam dan pin garida bertengger di kain kemeja dada kirinya. Dilihatnya ke arah
kaca. Akhirnya aku harus berangkat, kataya dalam hati. Namun wajahnya tampak
pucat dengan bibir yang hampir berwarna biru keunguan. Untung lip glos Mamah
sempat ia temukan tertinggal di ruang tamu dan belum ia kembalikan. Dipoleslah
sedikit lip glos itu ke bibirnya. Warna biru di bibirnya sedikit tersamarkan.
Kurang lebih satu minggu Nimpuna
berlaga di Denmark. Mamah dan Papah merasa bangga sekaligus sedih karena mereka
tak bisa ikut menemani Nimpuna ke Denmark. Sampai Nimpuna datang ke Indonesia,
pengumuman siapakah pemenangnya belum di ketahui.
Panjang lebar ia bercerita
tentang Denmark kepada Mamah dan Papah, Nimpuna tak sadar kalau Denmark sudah
menjadi negara yang sudah sering dikunjungi Mamah maupun Papahnya. Jika diminta
bercerita bagaimana Denmark itu, Mamah
dan Papah lebih mengerti daripada Nimpuna. Namun bagi mereka, cerita Nimpuna
lebih indah daripada pengalaman mereka melihat Denmark dulu.
Hari-hari menuggu pengumuman,
Nimpuna kembali beraktivitas seperti biasa. Tapi kondisi tubuhnya berubah aneh.
Ia sering mengeluh sakit kepala saat belajar dan sebelum tidur, sering tidak
berkonsentrasi saat belajar, dan saat berjalan tubuhnya miring seakan menahan
sakit di sebagian tubuhnya. Bahkan saat di sekolah, ia sempat pingsan ketika
mengikuti olahraga.
Saat langit sore yang mulai
memerah menghiasai langit, kondisi Nimpuna makin tak baik. Tubuhnya makin
lemah, Mamah inisiatif untuk mengajak ke dokter. Tapi, Nimpuna tidak mau. Ia
bersikeras untuk tetap di rumah, dan merasa baik jika tiduran sejenak. Tubuh
Nimpuna sedikit oleng saat ingin naik ke tangga kamarnya. Dan.. brukkk… ia
pingsan.
****
Hematoma Intrakanial, atau
pecahnya pembuluh dara kepala adalah masalahnya. Dokter menemukan akumulasi
darah yang banyak pada jaringan otak Nimpuna, ini diakibatkan oleh kerja otak
Nimpuna yang sangat terforsir dan seringnya ia berfikir terlaru berat. Mamah
syok, hampir saja pingsan.
“Lalu apa yang harus dilakukan,
dok?” Tanya Papah.
“Kita harus lakukan Kraniotomi,
pak. Pembedahan kepala untuk mengambil darah di jaringan otaknya, jika tidak.
Nyawa Nimpuna terancam,”
Untuk kali ini, kata tidak sudah
tidak berlaku. Tanda tangan persetujuan operasi siap. Hanya doa yang bisa
mereka minta. Lirih, namun pasti.
Malam itu, operasi dilakukan.
Sembari Mamah dan Papah menunggu di luar, beberapa tamu datang. Ada keluarga
dari luar kota, teman-teman sekelas, dan guru-guru pembimbingnya pun ikut
datang.
Namun ada satu lagi yang
kedatangannya tak diduga-duga. Seorang kurir berseragam datang dengan kabar
gembira di tengah ketegangan menanti kesembuhan Nimpuna. Surat pemberitahuan
pemenang lomba essay dari Denmark.
Nimpuna juara satu.
Operasi selesai, namun kondisi
Nimpuna masih kritis. Ia koma. Mamah sedikit berbisik di telinga putranya itu.
“Mamah bangga, nak. Kami semu
bangga sama kamu. Kamu juaranya, kamu juara kami semua. kamu harus sembuh,
ambil medali kamu ke Denmark. Bangun, nak..,”
Tangan Nimpuna bergerak, perlahan
ia sadar. Surat yang tadi diterima Mamah, langsung ia buka di hadapan Nimpuna.
Tertera namanya sebagai pemenang essay. Tulisannya diakui dunia. Akhirnya,
cita-citaku tercapai, namun kata itu tertahan hanya di tenggorokannya. Nimpuna
menangis, namun ia harus tersenyum. Ia tidak mau mereka ikut menangis melihat
keadaannya.
Jam duabelas kurang duapuluh
detik, Nimpuna menghembuskan nafas terakhirnya. Ada pendarahan terjadi di
kepalnya tanpa sepengetahuan tim medis. Dan ini sudah jalan Tuhan. Mamah dan
Papah sulit sekali melepas Nimpuna, anak laki-laki satu-satunya. Begitu lama
mereka mendapatkan Nimpuna, namun begitu cepat mereka harus kehilangan Nimpuna
kembali.
Hingga lebih dari sebulan
sepeninggalnya Nimpuna, Papah dan Mamah masih saja rutin dengan jadwal menengok
kamar Nimpuna. Masih saja sama, namun tubuh itu tidak lagi tenggelam dalam
rutinitas meja belajar, suasaa sedikit baru dengan benda bulat berwarna emas
tergantung cantik dan kertas berfigora bertuliskan, Winner Essay Contest:
Nimpuna Bagaspati, Indonesia.
“Jika berkahir seperti ini, Papah
tidak mau jika medali dan piagam itu menggantikan kamu di sisi Papah, di sisi
kami..”
Mata Papah, terus tertuju ke
kursi kosong di hadapannya, masih tergambar jelas bagaimana punggung itu terbungkuk
ke depan. Diam dan diam..
(Untuk almarhum
kakak yang aku kenal hanya sebatas cerita saja, prestasimu sungguh
menginspirasiku dan untuk Sahabatku, terimakasih atas kisah ini di angkot
8/9/2012)
No comments:
Post a Comment