(Sebenarnya ini sempat ingin aku kirim ke media cetak, tapi ngak jadi. Publis di sini dulu,ya. Selamat membaca..)
Aku putuskan untuk beristirahan di bawah beringin setelah
lelah berlari mengitari alon-alon Tuban sebanyak dua kali. Aku duduk disebuah
bangku. Tiba-tiba aku merasakan rongga dadaku lebih luas daripada alon-alon
ini. Dan sebuah wajah tergambar jelas hadir di mataku. Aku rasa waktu itu
adalah saat terakhirku bersamanya. Harlan masih menatapku, terlihat jelas
sepasang bola mata yang indah di balik kacamata minus yang ia kenakan. Perlahan,
sebutir air mata jatuh. Satu. Satu saja. Karena ia pernah berjanji.
“Aku tak
akan pernah menangis ketika kau ada di hadapku, Marina. Jika aku harus
menangis, cukup setetes saja yang layak aku persembahkan untukmu,” katanya
ketika kami sedang menikmati eloknya matahari terbit di sebuah gazebo kecil
pantai Boom. “Kenapa?” aku tak tahu apa maksud perkataannya.
“Karena aku,
tak mau air mataku berhasil membasahimu dikala kau juga menangisiku kelak.”
Kelak?
Kapan? Aku makin tak mengerti apa yang Harlan katakan padaku. Aku rasa ia hanya
bercanda, dan tidak sekalipun aku menanggapi serius perkataannya. Dalam hati
kecilku, aku pernah berharap. Ingin sekali mendapatkan tempat di sisinya apapun
yang terjadi. Dan itu terwujud ketika ia meminta jalinan kasih kami menyatu dalam
ikatan sepasang remaja yang sedang di lambungkan cinta.
Kami selalu
bertemu setiap waktu sekolah berakhir. Dengan kondisi kami yang masih
mengenakan seragam putih abu-abu, kami sudah berpelesir ke berbagai tempat
dengan motornya. Pantai kelapa, pantai Boom, dan tempat favorit kami adalah
sepasang beringin kembar di alon-alon Tuban sudah menjadi saksi kami dalam hal
kebersamaan. Walaupun tak jarang kami mendapat teguran pedas dari orang tuaku
setiap Harlan mengantarkanku pulang pada sore hari.
“Maafkan
aku..” itu yang sering ia katakana padaku. Seharusnya aku yang meminta maaf.
Karena akulah yang ingin selau bersamanya. Harlan orang yang tahu agama. Ia
sering mengingatkan aku untuk selalu mengingat Tuhan. Bahkan ia menjadikan
beringin kembar alon-alon jadi tempat favorit karena terletak tak jauh dari
masjid Agung Tuban yang berada di barat alon-alon.
“Biar kita
tahu, kapan Allah memanggil kita untuk bersujud merendahkan diri di
hadapannya.” Itulah yang makin membuatku yakin untuk memilihnya. Kisah kasih
kami makin indah berjalan sampai pada suatu saat, ia ingin bertemu dengan ku.
“Aku akan
menjemputmu dan berbicara enam mata denganmu sekarang” ya, sedikit nada
bergurau ia mengirimkan pesan singgkat padaku. Harlan mengatakan enam mata
bukan empat mata karena ia mengenakan kacamata dan itu dihitung dengan sepasang
mataku.
Harlan tidak
mengatakan apapun saat ia mengajakku berkeliling kota Tuban dengan motornya Saat
itu kami baru saja menamatkan bangku SMA. Dan aku rasa karena itulah Harlan
ingin merayakan kelulusan kami dengan berjalan-jalan menikmati suasana kota
Tuban di sore hari. Saat kami maulai memasuki jalan Panglima Sudirman, Harlan
mengajakku mampir ke pasar Sore untuk membeli buah apel kesukaanku.
“Kita mampir
ke ringin, ya. Ada yang aku mau omongin.” Ajaknya.
“Oke..”
Sesampainya
di beringin kembar, Harlan menatapku, dan ia memasukkan tangan kanannya ke
dalam saku celananya serasa mengambil sesuatu. Sepucuk surat ia berikan padaku.
“Apa, ini?”
ternyata sebuah surat pernyataan. Harlan diterima di sebuah Universitas swasta
di kota Bojonegoro. Aku bahagia, aku senang ia bisa melanjutkan pendidikannya
ditingkat yang lebih tinggi. Tetapi, Harlan tampak bersedih. Ia genggam
tangganku erat, kulihat wajah sayunya. Sebutir air mata merembes keluar dari
sisi mata kanannya.
“Aku harus
pergi. Dan kita harus sudahi semua mulai sekarang. Marina, maafkan aku.” Aku
menagis. Aku tak mau berpisah dengannya, apalagi memutuskan apa yang sudah aku
lalui selama ini dengannya. Harlan tidak mau mengecewakan siapapun. Aku, bahkan
orang tuanya. Apa boleh buat. Ia harus berkonsentrasi dengan sekolahnya.
“Harlan, aku
akan menunggu kamu. Sampai kamu kembali lagi. Aku.. aku tetap setia denganmu.”
Harlan hanya menatapku. Inilah yang ia inginkan berbicara enam mata padaku.
“Aku akan
kembali, enam mata denganmu di tengah beringin kembar ini. Tunggu aku..”
Dan kini,
tujuh tahun sudah ia pergi dari kota Tuban ini, dan juga aku. Aku tak pernah
bertandang ke rumahnya. Rumah kami jauh. Aku di pusat kota, sedangkan rumahnya
jauh di luar kecamatan kota. Apalagi saat ini aku sibuk dengan pekerjaanku di
sebuah bank swasta.
“Mungkin
belum pulang. Apa dia sudah berkeluarga?” pertanyaanku makin bertumpuk di
kepalaku. Saat aku berjalan dan berdiri tepat di tengah dua pohon beringin, aku
lihat langit. Dari sela-sela daun yang tumbuh rindang tampak langit gelap. Aku
rasa akan turun hujan.
Saat di
sekitarku sudah tak ada siapapun lagi, aku melihat seorang lelaki berkacamata
hitam datang mendekatiku. “Marina..” panggilnya.
“Kau.. kau
datang enam mata denganku. Harlan?” dadaku berdetak tak karuan. ia menggeleng.
“Kamu
Harlan, kan? Jawab?”
“Maafkan
aku,” tanpa aku sadari aku membelai pipinya, “kau salah Marina” jawabnya.
Perlahan ia membuka kacamata hitam dan berkata, “cukup lima mata saja, Marina.”
“Ya Allah..”
mata kanannya tertutup kapas putih. Ia bercerita, ia tertabrak mobil ketika
mengejar istrinya dengan lelaki lain. “Aku sudah dihianati. Aku sadar, hanya
kamu yang pantas untukku.”
Aku masih
setia padanya sampai saat ini dengan tidak menerima lelaki lain di hidupku
selain Harlan. Dan kini ia kembali. Lima mata kami bertemu. Dan hujanpun turun.
Mengiringi tangisku. Dan itu terbukti, aku menagisinya, dan tubuhku basah
karena hujan menggantikan air matanya yang tidak akan pernah turun untukku.
No comments:
Post a Comment