Judul | Rumah di Seribu Ombak |
No. ISBN | 9789797805364 |
Penulis | Erwin Arnada |
Penerbit | GagasMedia |
Tanggal terbit | Januari - 2012 (Cetakan Kedua) |
Jumlah Halaman | x-398 |
Berat Buku | - |
Jenis Cover | Soft Cover |
Dimensi(L x P) | 14,5 x 21 cm |
Kategori | Sastra |
Harga | Rp 55.000 |
Tahukah kau mengapa Tuhan menciptakan
langit dan laut? Semata agar kita tahu, dalam perbedaan, ada batas yang
membuat mereka tampak indah dipandang.
Aku melihat lagi langit di
atas Laut Lovina. Kenangan bersamamu menyerbu masuk ke ingatanku. Laut
dan mimpi-mimpi kita. Apa kabar hidupmu?
Kita memang berbeda. Aku tahu. Sama tahunya seperti dirimu. Warna yang mengalir di nadimu tak sewarna dengan yang mengalir di nadiku. Namun, bukankah kita tak pernah bisa memilih dengan warna apa kita lahir? Kita lahir, lalu menemukan tawa bersama. Menyatukan cerita bersama. Menjumputi mimpi bersama.
Mengapa kini kau lari menjauh?
Lalu, apa kabarmu? Mengangakah masih lukamu yang dulu? Atau, kini sudah terpilihkan bagimu akhir yang bahagia? Maafkan aku. Maafkan karena tak bisa selalu menjadi laut yang tetap menyimpan rahasiamu.
Tulisa ini yang ada di sampul belakang novel ini. Saya mulai terpukau kala membaca kata-kata indah tadi saat search di google. Niatan itu muncul, dan membelilah novel ini.
Dalam novel Rumah di Seribu Ombak ini
kita akan dikenalkan pada tokoh utama Samihi seorang anak muslim yang
menjalin persahabatan dengan seorang anak berkeyakinan Hindu, Wayan
Manik (Yanik). Samihi adalah seorang anak sekolahan yang awalnya penakut
dan taat pada orang tuanya. Yanik adalah seorang anak pemberani yang
sedikit lebih tua, penyuka lumba-lumba, dan suka berkelana di lautan.
Mereka berdua adalah beberapa anak yang tumbuh di sebuah desa Kalidukuh
di daerah Singaraja, Bali. Keduanya mempunyai latar belakang kehidupan
yang berbeda. Sebagai catatan, daerah Singaraja di Bali adalah sebuah
daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tidak seperti daerah
lain di Bali yang mayoritas berkeyakinan Hindu.
Samihi hidup dengan ayah dan adiknya
(Syamimi), ibu dan kakaknya telah meninggal lebih dahulu. Lain halnya
dengan Yanik. Yanik adalah seorang anak tunggal yang hidup dengan ibunya
yang sakit-sakitan. Ayahnya sudah cerai dan memperistri seseorang yang
bertempat tinggal di Kuta, Bali. Yanik hanya sesekali bertemu ayahnya
yang bekerja di sebuah restoran di Legian, sehingga Yanik terpaksa harus
menjadi tulang punggung bagi ibunya.
Banyak konflik batin yang dialami oleh
tokoh Samihi sebagai tokoh utama. Kecintaan Yanik pada kegiatan
snorkeling dan surfing di lautan ditularkan kepada Samihi, sehingga
Samihi tidak takut lagi pada air dan nasehat orang tuanya. Namun, kisah
kedekatan kedua anak itu lambat laun pupus karena Yanik tersangkut
konflik pelecehan seksual oleh seorang warga Australia, Andrew. Aib yang
diderita Yanik semakin menjadi-jadi, apalagi ia telah kehilangan
ayahnya yang menjadi salah satu korban Bom Bali.
Hingga suatu saat Yanik pun meninggalkan
kampung Kalidukuh. Samihi beserta adiknya Syamimi merasa kehilangan.
Ketekunan Samihi dalam belajar akhirnya bisa membuatnya menjuarai lomba
qiraah dan lomba surfing. Samihi merasa semua keberhasilan yang ia raih
tidak lepas dari peran Yanik sebagai teman sejatinya. Samihi akhirnya
sangat menggemari kegiatan berselancar. Kegigihan dan ketertarikannya
kepada laut semakin diyakinkan oleh dukungan ayahnya dan orang-orang
disekitarnya.
Sosok Ngurah Panji, seorang penjaga
keamanan desa yang banyak bergaul, sering menjadi penengah di balik
setiap konflik antara Samihi dengan Yanik, juga Samihi dengan
keinginannya. Pertama, ketika Samihi dikeroyok oleh anak desa sebelah
yang ingin mencuri sepedanya, Ngurah Panji lah yang melerai. Kedua,
ketika Samihi ingin menyelamatkan Yanik dari cengkeraman Andrew, Ngurah
Panji lah yang membantu menyelesaikan hingga ke pengurus desa. Ketiga,
ketika Samihi ingin bertemu juragan surfing dari Kuta, Bli Komang, maka
Ngurah Panji juga yang akhirnya menghubungkan mereka berdua.
Hal unik dari cerita di novel ini yaitu
ketika Yanik yang non-muslim bersedia membantu sahabatnya untuk memberi
tahu cara mengaji agar bisa mengeluarkan suara yang bagus. Yanik pun
mengenalkan Samihi pada seorang ahli mekidung (geguritan) Bali. Selain
persahabatan, novel ini juga dibubuhi dengan sedikit kisah percintaan
antara Yanik dan Syamimi (adik Samihi). Di akhir cerita pembaca akan
dibawa ke suasana duka dan kerelaan yang mendalam tentang arti sebuah
toleransi, persahabatan, dan percintaan yang saling berkaitan. Semangat
dan kegigihan dalam mengalahkan rasa takut yang dirasakan Samihi patut
dicontoh, sehingga ia bisa menjadi seorang surfer hebat dan
mengantarkannya ke Melbourne, Australia.
Sedikit perlu diingat, walaupun cerita bertokohkan anak-anak, novel ini mengangkat aspek utama cerita yang lumayan berat dan berkesan dewasa. Seperti Pedofilia. Namun kisah pluralisme antara Samihi dan Yanik bisa dijadikan bahan didikan untuk anak-anak agar bisa saling menghargai dan menghomati antar pemeluk agama.
Tak ada yang sempurna, ya seperti halnya novel ini. Entah karena dikejar waktu penayangan filmnya, di novel ini banyak sekali ditemukan typo yang...eghhh... mengganggu sekali. Editingnya kurang sempurna. (Tidak percaya? baca sendiri). Kelebihannya, saat membacanya alur yang digarap sulit sekali ditebak serta ciri khas pengangkatan unsur kultural pulau Bali menambah cerita semakin hidup dan menjadi daya tarik tersendiri.
Pada akhir Agustus 2012 lalu sudah ada dalam bentuk visualnya, alias filmnya. Agak telat, sih. Tapi tunggu DVDnya kali ya. Biar lebih jelas ceritanya, baca dulu novelnya, baru nonton filmnya. Oke.. :)
No comments:
Post a Comment