Assalamualaikum.. welcome to my blog, guys..!! ^_^

Adsense

Wednesday, September 12, 2012

Kamu Juaranya



Seorang pria masih saja diam di depan ruangan berdinding hijau muda rumput. Bukan ruangan biasa, tepatnya ruang itu bisa disebut sebagai  kamar. Kamar yang sempat dihuni oleh seorang laki-laki, katanya. Ia menyebut kamar itu dihuni oleh seorang laki-laki, karena memang si penghuni belum sempat menjadi pria.

“Mas boy, panggilannya..”  katanya kepada wanita yang selalu ia panggil Mamah itu.
Mamah hanya bisa diam, tampak tenang. Walaupun ada setitik air mata muncul di ujung matanya, tidak bisa bohong. Ia sadar, ia tidak akan mendapat apa-apa jika memandang kamar itu berulang kali. Begitu pula pria itu. Setiap hari selalu begitu, jadwal rutin. Senin hingga Jumat, cukup dari luar saja, takut mengganggu. Sabtu dan Minggu bisa masuk, temanya bicara panjang lebar, tentang pelajaran sepekan, ulangan apa, dapat nilai apa, bahkan ada masalah apa, menjadi kewajiban yang sudah lagi tidak disunahkan.
 Kepada pria yang sering dipanggil papah ini, semua menjadi terbuka. Papah mendidik Nimpuna, si mas boy, sebagai anak yang terbuka. Terbuka akan masalahnya sendiri. Walaupun ada sekat antara public dan preivesi, itu tidak jadi masalah. Papah sahabat Nimpuna, dan Nimpuna sahabat Papah. Moto mereka berdua.
Ketersediaan menjadi kunci sebuah kesuksesan.  Tidak semuanya betul. Papah adalah seorang dosen tetap di sebuah universitas negeri di kota Malang. Sedangkan Mamah adalah psikolong wanita ternama yang sempat khusus ditugaskan oleh negara, untuk ikut terjun menanggani mental korban-korban bencana di dalam negeri maupun luar negeri. Mereka berdua adalah orang-orang terpandang dengan jabatan yang mereka miliki, harta yang cukup, dan kehidupan yang bahagia seperti ending-ending cerita dongeng pengantar tidur.
Setelah pacaran selama tiga tahun, dirasa sudah saling mengenal, mereka akhirnya memutuskan untuk menikah. Selama perjalanan pernikahannya, jarang untuk ada waktu berdua. Mereka tidak mengenal istilah bulan madu. Setelah menikah, keduanya kembali dengan rutunitas biasa. Profesionalisme selalu ditekankan, kepentingan public itu kewajiban. Tapi kepentigan pribadi hampir mereka lupakan.
Hingga tujuh tahun pernikahan mereka, tidak ada tanda-tanda akan hadirnya seorang anak yang kelak bisa mereka didik seperti halnya apa yang mereka lakukan untuk masyarakat. Dokter ikut turut andil, hingga tercetuslah sebuah kenyataan yang harus mereka terima lapang dada, endometriosis. Ada masalah  cukup berbahaya di rahim Mamah. Sulit kemungkinan untuk ia bisa hamil.
Tapi Tuhan punya semua yang umatnya mau. Mamah hamil sepekan setelah dokter memvonisnya. Tuhan tidak tidur, doa yang selalu mereka panjatkan di tengah malam, puluhan hingga ratusan butir air mata yang telah mengiringgi doa mereka di malam buta, dikabulkan oleh Tuhan terang-terangan.
Perjuangan yang amat menyita semuanya. Mamah harus rela meninggalkan pekerjaannya untuk konsen sepenuhnya ke jabang bayi yang ia kandung. Kondisi yang makin melemah mengharuskannya untuk lebih mencintai kasur, bantal dan gulingnya dibanding Papah, suami sekaligus ayah calon anaknya.
Mamah tahu ia berbeda dengan wanita-wanita hamil umumya. Banyak obat-obatan khusus yang harus ia konsumsi, istirahat yang amat sangat dibutuhkan, bahkan cek up ke beberapa dokter spesialis. Mamah menyebut kehamilannya ini istimewa, di saat wanita hamil ingin makan buah yang asam-asam, Mamah lebih memilih makan telur rebus berbutir-butir. Di saat wanita hamil suka jalan-jalan, Mamah lebih suka membaca buku empat ratus halaman dalam sehari. Dan istimewanya lagi, di saat wanita hamil membutuhkan minyak angin untuk mengatasi mualnya, Mamah lebih memilih menghirup bau buku baru yang segel plastiknya baru dibuka.
“Kamu memang istimewa, nak..” katanya lirih.
Dapat mempertahankan kehamilan saja sudah sangat luar biasa di mata para medis. Mamah adalah wanita yang kuat, medan-medan berat saat membantu para korban bencana telah melatih fisik dan mentalnya. Namun, keinginannya untuk melahirkan normal pupus sudah. Pada usia kehamilan tujuh bulan, ketuban Mamah pecah. Dokter meminta untuk mempercepat proses kelahiran. Papah  pasrah sudah, ia mempercayakan dokter sebagai perantara Tuhan untuk menyelamatkan kedua nyawa manusia yang ia cintai.
Bayi tampan lahir setelah dua jam menempuh proses operasi.  Itu kebahagian Mamah dan Papah.
Bayi mereka diberi nama Nimpuna Bagaspati, yang berarti anak pandai yang lahir bersama sinar matahari pagi. Nama yang spesial, untuk anak mereka yang benar-benar spesial.
Waktu berjalan begitu indah. Perkembangan Nimpuna dipantau serius oleh orang tuanya. Entah karena saat kehamilan Mamah suka mengkonsumsi telur, efek nyidam membaca buku tebal, usia bayi yang lahir premature, ataupun perkara arti nama, Nimpuna ternyata istimewa.
Seperti halnya makna dari namanya, Nimpuna yang berarti pandai, terliha jelas bagaimana proses berpikir anak yang satu ini. Saat SD, Nimpuna sudah pernah meraih juara 1 lomba matematika untuk SMP. Dan saat SMP, ia pernah meraih juara pertama Karya Tulis Ilmiah SMA tingkat nasional. Pemikiran loncat satu, kata Papah.
Nimpuna masuk akselerasi saat SMP, jadi ia hanya butuh sekolah dua tahun untuk dapat ijazah kelulusannya. Saat SMA, Nimpuna menjadi salah satu murid yang diandalkan sekolah untuk urusan lomba karya tulis. Ada saja ide yang ditorehkan lewat tulisan-tulisan cerdasnya, biji buah yang jadi pengganti kedelai untuk susu, kulit semangka jadi bahan bakar, kelopak bunga jadi kue, dan jadi jadi yang lainnya, itu semua bisa mengantarkannya dari kejuaraan tingkat ecrek-ecrek sampa seluruh belahan bumipun bisa mengenalnya.
International Essay Young Writers’ Contest, menjadi berita bak badai angin topan samudra yang memporak porandakan seluruh isi hatinya. Nimpuna dipilih untuk mewakili sekolah bahkan dunia untuk maju ke tingkat internasional karya tulis ilmiah di Denmark. Mamah dan Papah tak kalah bahagianya. Apa yang diraih putra sematawayangnya itu sungguh sebuah anungrah dan prestasi yang membanggakan mereka.
“Kamu pasti bisa, nak. Papah selalu support kamu..” kata Papah memeluk Nimpuna bangga.
“Mamah bangga sama kamu,”
Namun ini belum selesai, pertempuran baru saja di mulai. Ini adalah cita-cita lama Nimpuna, bisa berkompetisi di tingkat dunia. Melewatinya dengan santai-santai, adalah suatu kebodohan yang sangat absurd.
Bagaimana pola pikir manusia individu untuk perubahan dunia di kemudian hari adalah tema utama kompetisi ini. Seluruh buku dan materi-materi lomba ia persiapkan baik-baik. Kali ini, Nimpuna tak perlu bekerja keras bereksperimen ini itu untuk lombanya. Yang akan dilombakan kali ini sungguh sangat berbeda  dari biasanya. Yang biasanya ia harus berkutat dengan bahan-bahan alami dan kimia, kali ini ia harus terjun lapangan menemui aspek kehidupan manusia di sekelilingnya.
Setelah pulang sekolah, ia harus mengamati. Di rumah, ia harus menulis draf untuk semua yang telah ia amati di lapangan. Urusan makan, tidur, bermain, seakan telah terdelete dalam jadwal masa remajanya.  Bagaimana orang-orang memandang hidupnya sendiri untuk mencari kelayakan hidup dalam jangka waktu yang lama di bumi yang sementara, itulah yang ada di otak Nimpuna, anak laki-laki 15 tahun.
Buku-buku tebal milik Mamah ia libas habis. 300 hingga 400 halaman buku psikologi dan empat judul buku tentang hukum internasional bisa ia baca dan tarik kesimpulan dalam sehari semalam. Buku saku tentang undang-undang negara bisa ia baca dan hafal kurang dari 75 menit. Jika dalam sehari ada 42 jam, Nimpuna akan sangat bersyukur walaupun ia rela akan dimaki seluruh umat manusia.
Hingga tengah malam, Nimpuna masih tenggelam dalam meja belajarnya. Penuh buku, kertas berserakan, laptop yang terus bekerja tanpa henti. Jari jemainya yang sudah hafal diluar kepala terus menari di atas tonjolan-tonjolan hurus yang tak urut.
“Istirahatlah, nak.. nanti kamu sakit..” pinta Papah di depan pintu kamarnya. Ritual rutin.
“Sebentar lagi, ya. Ini mau selesai, deadline nya udah dekat nih, Pah.”
“Iya, tapi kan bisa diselesaikan besok. Besok ngak usah sekolah saja, biar kamu bisa lanjutin. Nanti Papah ijin bu Mega.” Papa mulai mendekat ke meja Nimpuna. Ia begitu terpana dengan apa yang ada di meja belajar putranya itu. Berbagai tulisan tersebar ke seluruh penjuru meja. Buku yang bahkan ia belum pernah baca, telah terbuka dengan tulisan berblok aneka warna yang sengaja dicoret menandakan tulisan-tulisan itu penting.
“Ngak perlu, pah. Besok aku ulangan, ngak bisa aku ninggalin begitu saja,” Nimpuna menoleh menyadari ada Papah di belakangnya.
Wajahnya sudah pucat, terlihat Nimpuna sangat kurang tidur. Ada ruam hitam yang melingkar di bawah matanya. Papah mulai khawatir. Namun ia hanya diam saja, takut makin mengganggu konsentrasi Nimpuna.
****
Hari yang ditunggu tiba. Nimpuna sedikit sempoyongan untuk berjalan keluar kamarnya. Kemeja batik dengan celana hitam dan pin garida bertengger di kain kemeja dada kirinya. Dilihatnya ke arah kaca. Akhirnya aku harus berangkat, kataya dalam hati. Namun wajahnya tampak pucat dengan bibir yang hampir berwarna biru keunguan. Untung lip glos Mamah sempat ia temukan tertinggal di ruang tamu dan belum ia kembalikan. Dipoleslah sedikit lip glos itu ke bibirnya. Warna biru di bibirnya sedikit tersamarkan.
Kurang lebih satu minggu Nimpuna berlaga di Denmark. Mamah dan Papah merasa bangga sekaligus sedih karena mereka tak bisa ikut menemani Nimpuna ke Denmark. Sampai Nimpuna datang ke Indonesia, pengumuman siapakah pemenangnya belum di ketahui.
Panjang lebar ia bercerita tentang Denmark kepada Mamah dan Papah, Nimpuna tak sadar kalau Denmark sudah menjadi negara yang sudah sering dikunjungi Mamah maupun Papahnya. Jika diminta bercerita bagaimana Denmark itu,  Mamah dan Papah lebih mengerti daripada Nimpuna. Namun bagi mereka, cerita Nimpuna lebih indah daripada pengalaman mereka melihat Denmark dulu.
Hari-hari menuggu pengumuman, Nimpuna kembali beraktivitas seperti biasa. Tapi kondisi tubuhnya berubah aneh. Ia sering mengeluh sakit kepala saat belajar dan sebelum tidur, sering tidak berkonsentrasi saat belajar, dan saat berjalan tubuhnya miring seakan menahan sakit di sebagian tubuhnya. Bahkan saat di sekolah, ia sempat pingsan ketika mengikuti olahraga.
Saat langit sore yang mulai memerah menghiasai langit, kondisi Nimpuna makin tak baik. Tubuhnya makin lemah, Mamah inisiatif untuk mengajak ke dokter. Tapi, Nimpuna tidak mau. Ia bersikeras untuk tetap di rumah, dan merasa baik jika tiduran sejenak. Tubuh Nimpuna sedikit oleng saat ingin naik ke tangga kamarnya. Dan.. brukkk… ia pingsan.
****
Hematoma Intrakanial, atau pecahnya pembuluh dara kepala adalah masalahnya. Dokter menemukan akumulasi darah yang banyak pada jaringan otak Nimpuna, ini diakibatkan oleh kerja otak Nimpuna yang sangat terforsir dan seringnya ia berfikir terlaru berat. Mamah syok, hampir saja pingsan.
“Lalu apa yang harus dilakukan, dok?” Tanya Papah.
“Kita harus lakukan Kraniotomi, pak. Pembedahan kepala untuk mengambil darah di jaringan otaknya, jika tidak. Nyawa Nimpuna terancam,”
Untuk kali ini, kata tidak sudah tidak berlaku. Tanda tangan persetujuan operasi siap. Hanya doa yang bisa mereka minta. Lirih, namun pasti.
Malam itu, operasi dilakukan. Sembari Mamah dan Papah menunggu di luar, beberapa tamu datang. Ada keluarga dari luar kota, teman-teman sekelas, dan guru-guru pembimbingnya pun ikut datang.
Namun ada satu lagi yang kedatangannya tak diduga-duga. Seorang kurir berseragam datang dengan kabar gembira di tengah ketegangan menanti kesembuhan Nimpuna. Surat pemberitahuan pemenang lomba essay dari Denmark.
Nimpuna juara satu.
Operasi selesai, namun kondisi Nimpuna masih kritis. Ia koma. Mamah sedikit berbisik di telinga putranya itu.
“Mamah bangga, nak. Kami semu bangga sama kamu. Kamu juaranya, kamu juara kami semua. kamu harus sembuh, ambil medali kamu ke Denmark. Bangun, nak..,”
Tangan Nimpuna bergerak, perlahan ia sadar. Surat yang tadi diterima Mamah, langsung ia buka di hadapan Nimpuna. Tertera namanya sebagai pemenang essay. Tulisannya diakui dunia. Akhirnya, cita-citaku tercapai, namun kata itu tertahan hanya di tenggorokannya. Nimpuna menangis, namun ia harus tersenyum. Ia tidak mau mereka ikut menangis melihat keadaannya. 
Jam duabelas kurang duapuluh detik, Nimpuna menghembuskan nafas terakhirnya. Ada pendarahan terjadi di kepalnya tanpa sepengetahuan tim medis. Dan ini sudah jalan Tuhan. Mamah dan Papah sulit sekali melepas Nimpuna, anak laki-laki satu-satunya. Begitu lama mereka mendapatkan Nimpuna, namun begitu cepat mereka harus kehilangan Nimpuna kembali.
Hingga lebih dari sebulan sepeninggalnya Nimpuna, Papah dan Mamah masih saja rutin dengan jadwal menengok kamar Nimpuna. Masih saja sama, namun tubuh itu tidak lagi tenggelam dalam rutinitas meja belajar, suasaa sedikit baru dengan benda bulat berwarna emas tergantung cantik dan kertas berfigora bertuliskan, Winner Essay Contest: Nimpuna Bagaspati, Indonesia.
“Jika berkahir seperti ini, Papah tidak mau jika medali dan piagam itu menggantikan kamu di sisi Papah, di sisi kami..”
Mata Papah, terus tertuju ke kursi kosong di hadapannya, masih tergambar jelas bagaimana punggung itu terbungkuk ke depan. Diam dan diam..

(Untuk almarhum kakak yang aku kenal hanya sebatas cerita saja, prestasimu sungguh menginspirasiku dan untuk Sahabatku, terimakasih atas kisah ini di angkot 8/9/2012)

No comments:

Post a Comment