Assalamualaikum.. welcome to my blog, guys..!! ^_^

Adsense

Wednesday, September 12, 2012

Lima Mata di Beringin Tuban



(Sebenarnya ini sempat ingin aku kirim ke media cetak, tapi ngak jadi. Publis di sini dulu,ya. Selamat membaca..) 
 
Aku putuskan untuk beristirahan di bawah beringin setelah lelah berlari mengitari alon-alon Tuban sebanyak dua kali. Aku duduk disebuah bangku. Tiba-tiba aku merasakan rongga dadaku lebih luas daripada alon-alon ini. Dan sebuah wajah tergambar jelas hadir di mataku. Aku rasa waktu itu adalah saat terakhirku bersamanya. Harlan masih menatapku, terlihat jelas sepasang bola mata yang indah di balik kacamata minus yang ia kenakan. Perlahan, sebutir air mata jatuh. Satu. Satu saja. Karena ia pernah berjanji.

“Aku tak akan pernah menangis ketika kau ada di hadapku, Marina. Jika aku harus menangis, cukup setetes saja yang layak aku persembahkan untukmu,” katanya ketika kami sedang menikmati eloknya matahari terbit di sebuah gazebo kecil pantai Boom. “Kenapa?” aku tak tahu apa maksud perkataannya.
“Karena aku, tak mau air mataku berhasil membasahimu dikala kau juga menangisiku kelak.”
Kelak? Kapan? Aku makin tak mengerti apa yang Harlan katakan padaku. Aku rasa ia hanya bercanda, dan tidak sekalipun aku menanggapi serius perkataannya. Dalam hati kecilku, aku pernah berharap. Ingin sekali mendapatkan tempat di sisinya apapun yang terjadi. Dan itu terwujud ketika ia meminta jalinan kasih kami menyatu dalam ikatan sepasang remaja yang sedang di lambungkan cinta.
Kami selalu bertemu setiap waktu sekolah berakhir. Dengan kondisi kami yang masih mengenakan seragam putih abu-abu, kami sudah berpelesir ke berbagai tempat dengan motornya. Pantai kelapa, pantai Boom, dan tempat favorit kami adalah sepasang beringin kembar di alon-alon Tuban sudah menjadi saksi kami dalam hal kebersamaan. Walaupun tak jarang kami mendapat teguran pedas dari orang tuaku setiap Harlan mengantarkanku pulang pada sore hari.
“Maafkan aku..” itu yang sering ia katakana padaku. Seharusnya aku yang meminta maaf. Karena akulah yang ingin selau bersamanya. Harlan orang yang tahu agama. Ia sering mengingatkan aku untuk selalu mengingat Tuhan. Bahkan ia menjadikan beringin kembar alon-alon jadi tempat favorit karena terletak tak jauh dari masjid Agung Tuban yang berada di barat alon-alon.
“Biar kita tahu, kapan Allah memanggil kita untuk bersujud merendahkan diri di hadapannya.” Itulah yang makin membuatku yakin untuk memilihnya. Kisah kasih kami makin indah berjalan sampai pada suatu saat, ia ingin bertemu dengan ku.
“Aku akan menjemputmu dan berbicara enam mata denganmu sekarang” ya, sedikit nada bergurau ia mengirimkan pesan singgkat padaku. Harlan mengatakan enam mata bukan empat mata karena ia mengenakan kacamata dan itu dihitung dengan sepasang mataku.
Harlan tidak mengatakan apapun saat ia mengajakku berkeliling kota Tuban dengan motornya Saat itu kami baru saja menamatkan bangku SMA. Dan aku rasa karena itulah Harlan ingin merayakan kelulusan kami dengan berjalan-jalan menikmati suasana kota Tuban di sore hari. Saat kami maulai memasuki jalan Panglima Sudirman, Harlan mengajakku mampir ke pasar Sore untuk membeli buah apel kesukaanku.
“Kita mampir ke ringin, ya. Ada yang aku mau omongin.” Ajaknya.
“Oke..”
Sesampainya di beringin kembar, Harlan menatapku, dan ia memasukkan tangan kanannya ke dalam saku celananya serasa mengambil sesuatu. Sepucuk surat ia berikan padaku.
“Apa, ini?” ternyata sebuah surat pernyataan. Harlan diterima di sebuah Universitas swasta di kota Bojonegoro. Aku bahagia, aku senang ia bisa melanjutkan pendidikannya ditingkat yang lebih tinggi. Tetapi, Harlan tampak bersedih. Ia genggam tangganku erat, kulihat wajah sayunya. Sebutir air mata merembes keluar dari sisi mata kanannya.
“Aku harus pergi. Dan kita harus sudahi semua mulai sekarang. Marina, maafkan aku.” Aku menagis. Aku tak mau berpisah dengannya, apalagi memutuskan apa yang sudah aku lalui selama ini dengannya. Harlan tidak mau mengecewakan siapapun. Aku, bahkan orang tuanya. Apa boleh buat. Ia harus berkonsentrasi dengan sekolahnya.
“Harlan, aku akan menunggu kamu. Sampai kamu kembali lagi. Aku.. aku tetap setia denganmu.” Harlan hanya menatapku. Inilah yang ia inginkan berbicara enam mata padaku.
“Aku akan kembali, enam mata denganmu di tengah beringin kembar ini. Tunggu aku..”
Dan kini, tujuh tahun sudah ia pergi dari kota Tuban ini, dan juga aku. Aku tak pernah bertandang ke rumahnya. Rumah kami jauh. Aku di pusat kota, sedangkan rumahnya jauh di luar kecamatan kota. Apalagi saat ini aku sibuk dengan pekerjaanku di sebuah bank swasta.
“Mungkin belum pulang. Apa dia sudah berkeluarga?” pertanyaanku makin bertumpuk di kepalaku. Saat aku berjalan dan berdiri tepat di tengah dua pohon beringin, aku lihat langit. Dari sela-sela daun yang tumbuh rindang tampak langit gelap. Aku rasa akan turun hujan.
Saat di sekitarku sudah tak ada siapapun lagi, aku melihat seorang lelaki berkacamata hitam datang mendekatiku. “Marina..” panggilnya.
“Kau.. kau datang enam mata denganku. Harlan?” dadaku berdetak tak karuan. ia menggeleng.
“Kamu Harlan, kan? Jawab?”
“Maafkan aku,” tanpa aku sadari aku membelai pipinya, “kau salah Marina” jawabnya. Perlahan ia membuka kacamata hitam dan berkata, “cukup lima mata saja, Marina.”
“Ya Allah..” mata kanannya tertutup kapas putih. Ia bercerita, ia tertabrak mobil ketika mengejar istrinya dengan lelaki lain. “Aku sudah dihianati. Aku sadar, hanya kamu yang pantas untukku.”
Aku masih setia padanya sampai saat ini dengan tidak menerima lelaki lain di hidupku selain Harlan. Dan kini ia kembali. Lima mata kami bertemu. Dan hujanpun turun. Mengiringi tangisku. Dan itu terbukti, aku menagisinya, dan tubuhku basah karena hujan menggantikan air matanya yang tidak akan pernah turun untukku.

No comments:

Post a Comment