Assalamualaikum.. welcome to my blog, guys..!! ^_^

Adsense

Saturday, March 02, 2013

Mitos pasangan JaNda, alias Jawa Sunda

Hay.. hay.. sahabat, Ifah muncul lagi, nih. Beberapa hari yang lalu *lama sih, tapi masih inget, kok* saat Ifah main-main twitter (biasa anak gaul unyu) ada pasangan yang berantem soal hubungan mereka yang terhalang soal mitos. Hem, pembahasannya cukup nggeri, nih. Agak sensitif, ya. Soal C-I-N-T-A dan M-I-T-O-S. Tapi yang namanya cinta itu kalau sudah melekat, gula jawa bisa jadi gula pasir *loh, kok jadi habibie ainun*. Banyak masalah yang muncul dari kata cinta yang entah bagaimana bisa buat senang sampai nangis meraung-raung. Ifah mau nanya, nih, kalo sudah cinta, terus dipisah, kalian mau apa? hayo? 



Jadi ceritanya mereka itu *Ifah lupa namanya* udah bareng alias pacaran lumayan lama. Sudah saling suka, tapi mereka ingat akan suatu hal, yang menurut si cewek ini menyangkut masa depan mereka berdua. Nah, apa masalahnya? mereka beda suku.
Ifah mikir, mereka nggak pernah belajar PKn, ya. Kita ini Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi tetap satu. Kok bisa-bisanya beda suku buat mereka pusing mikirin hubungan.
Setelah Ifah selidik *jago juga loh Ifah jadi mata-mata*, ternyata si cewek itu orang Jawa *seperti aku, nggak nanya) dan si cowok orang Sunda. Nah, memori Ifah jadi kebuka lagi soal JaNda, alias Jawa Sunda. Ifah pernah dengar, kalau-kalau sebuah pasangan dari suku Sunda dan Jawa bersatu, di kemudian hari mereka pasti akan mengalami hal yang nggak enak. Mau disebutin? oke, *bilang naudzubilah, ya* seperti miskin atau melarat, sakit-sakitan, suka berantem, sampai nggak langgeng. *amit-amit jabang baby*
Ternya, sampai sekarang masih saja mitos itu berkembang di kalangan masyarakat kita.
Katanya mitos itu berasal dari sebuah tragedi yang bernama perang Bubat, antara kerajaan Jawa dan Sunda. Lebih jelasnya ini Ifah kutip dari yahoo.com seputar sejarah perang Bubat dan mitos ini.

Peristiwa Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit, yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu, bernama Sungging Prabangkara.

Hayam Wuruk memang berniat memperistri Dyah Pitaloka dengan didorong alasan politik, yaitu untuk mengikat persekutuan dengan Negeri Sunda. Atas restu dari keluarga kerajaan Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar Dyah Pitaloka. Upacara pernikahan rencananya akan dilangsungkan di Majapahit.

Maharaja Linggabuana lalu berangkat bersama rombongan Sunda ke Majapahit dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat. Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit.

Menurut Kidung Sundayana, timbul niat Mahapatih Gajah Mada untuk menguasai Kerajaan Sunda. Gajah Mada ingin memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta, sebab dari berbagai kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan Majapahit, hanya kerajaan Sunda lah yang belum dikuasai.

Dengan maksud tersebut, Gajah Mada membuat alasan oleh untuk menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat adalah bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit. Gajah Mada mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri disebutkan bimbang atas permasalahan tersebut, mengingat Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu.

Versi lain menyebut bahwa Raja Hayam Wuruk ternyata sejak kecil sudah dijodohkan dengan adik sepupunya Putri Sekartaji atau Hindu Dewi. Sehingga Hayam Wuruk harus menikahi Hindu Dewi sedangkan Dyah Pitaloka hanya dianggap tanda takluk.

Pihak Pajajaran tidak terima bila kedatangannya ke Majapahit hanya menyerahkan Dyah Pitaloka sebagai taklukan. Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada.

Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula.

Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukan Bhayangkara ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu.

Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar, melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Raja Linggabuana, para menteri, pejabat kerajaan beserta segenap keluarga kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat.

Tradisi menyebutkan sang Putri Dyah Pitaloka dengan hati berduka melakukan bela pati atau bunuh diri untuk membela kehormatan bangsa dan negaranya. Menurut tata perilaku dan nilai-nilai kasta ksatria, tindakan bunuh diri ritual dilakukan oleh para perempuan kasta tersebut jika kaum laki-lakinya telah gugur. Perbuatan itu diharapkan dapat membela harga diri sekaligus untuk melindungi kesucian mereka, yaitu menghadapi kemungkinan dipermalukan karena pemerkosaan, penganiayaan, atau diperbudak.

Hayam Wuruk pun kemudian meratapi kematian Dyah Pitaloka. Akibat peristiwa Bubat ini, bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri menghadapi tentangan, kecurigaan, dan kecaman dari pihak pejabat dan bangsawan Majapahit, karena tindakannya dianggap ceroboh dan gegabah. Mahapatih Gajah Mada dianggap terlalu berani dan lancang dengan tidak mengindahkan keinginan dan perasaan sang Mahkota, Raja Hayam Wuruk sendiri.

Tragedi perang Bubat juga merusak hubungan kenegaraan antar Majapahit dan Pajajaran atau Sunda dan terus berlangsung hingga bertahun-tahun kemudian. Hubungan Sunda-Majapahit tidak pernah pulih seperti sedia kala.

Pangeran Niskalawastu Kancana, adik Putri Dyah Pitaloka yang tetap tinggal di istana Kawali dan tidak ikut ke Majapahit mengiringi keluarganya karena saat itu masih terlalu kecil dan menjadi satu-satunya keturunan Raja yang masih hidup dan kemudian akan naik takhta menjadi Prabu Niskalawastu Kancana.

Kebijakan Prabu Niskalawastu Kancana antara lain memutuskan hubungan diplomatik dengan Majapahit dan menerapkan isolasi terbatas dalam hubungan kenegaraan antar kedua kerajaan. Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan larangan estri ti luaran (beristri dari luar), yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak Majapahit. Peraturan ini kemudian ditafsirkan lebih luas sebagai larangan bagi orang Sunda untuk menikahi orang Jawa.

Tindakan keberanian dan keperwiraan Raja Sunda dan putri Dyah Pitaloka untuk melakukan tindakan bela pati (berani mati) dihormati dan dimuliakan oleh rakyat Sunda dan dianggap sebagai teladan. Raja Lingga Buana dijuluki 'Prabu Wangi' (bahasa Sunda: raja yang harum namanya) karena kepahlawanannya membela harga diri negaranya. Keturunannya, raja-raja Sunda kemudian dijuluki Siliwangi yang berasal dari kata Silih Wangi yang berarti pengganti, pewaris atau penerus Prabu Wangi.

Beberapa reaksi tersebut mencerminkan kekecewaan dan kemarahan masyarakat Sunda kepada Majapahit, sebuah sentimen yang kemudian berkembang menjadi semacam rasa persaingan dan permusuhan antara suku Sunda dan Jawa yang dalam beberapa hal masih tersisa hingga kini. Antara lain, tidak seperti kota-kota lain di Indonesia, di kota Bandung, ibu kota Jawa Barat sekaligus pusat budaya Sunda, tidak ditemukan jalan bernama 'Gajah Mada' atau 'Majapahit'. Meskipun Gajah Mada dianggap sebagai tokoh pahlawan nasional Indonesia, kebanyakan rakyat Sunda menganggapnya tidak pantas akibat tindakannya yang dianggap tidak terpuji dalam tragedi ini.

Yups, itu dia. Intinya hanya perihal "harga diri". Masa lalu ternyata kelam juga, ya. Para pendahulu kita punya masalah yang berat juga menyangkut perbedaan suku bangsa. Yah, tinggal kitanya yang bisa memilih, mau percaya atau tidak, semua itu sejarah. Perlu kita apresiasi. Lalu, bagaimana jika kita megalami hal serupa. INGAT, jodoh itu di tangan Tuhan. Tuhan yang ngatur kita berjodoh dengan siapa, tapi walaupun Tuhan yang mengatur, kita perlu ikut andil untuk meraih jodoh yang benar-benar kita inginkan. Amin. Selalu ada jalan untuk meraih yang kita inginkan, tapi yang baik, ya. Jangan karena ini kita orang Jawa bisa berantem sama orang Sunda. Kita semua bersaudara. Sampai jumpa..!! ^_^ 

No comments:

Post a Comment