Assalamualaikum.. welcome to my blog, guys..!! ^_^

Adsense

Thursday, April 25, 2013

Cerpen Spesial Hari Kartini: Saat Ibu Menjadi Kartini



                Saat Tuhan memanggil kita, akan terasa jauh lebih siap jika bisa mewujudkan pengharapan terakhir sebelum benar-benar pergi. Seperti aku.. dan Ibuku.
                Namanya Karti, lengkapnya Kartini Nurjanah. Ia adalah Ibuku. Seorang Wonder Women terhebat di seluruh dunia. Bukan rekaan ataupun akting sekalipun. Ia milikku.
                Kami hidup berdua di sebuah kontarakan kecil dekat pangkalan angkot milik seorang pengusaha kaya keturunan Cina. Ini dikarenakan ibuku kerja di sana. Bukan sebagai pedagang minuman untuk para supir angkot kebanyakan, tapi Ibukulah supir angkot itu.
                Ibuku memang hebat. Bekerja sebagai supir memamang bukan pilihannya. Ibuku hanya meneruskan pekerjaan Bapak yang meninggal tiga tahun lalu. Tujuh hari sepeninggal Bapak, kami pindah kontrakan. Alasannya karena jarak yang lebih dekat dengan pangkalan angkot. Ibu bisa leluasa menjagaku di rumah jika ada apa-apa. Setiap Ibu pergi kerja, ia selalu mewanti-wanti aku untuk tidak keluar rumah. Ibu takut dengan kondisiku yang sering turun tiap kali kelelahan.

                “Kamu tunggu Ibu pulang. Kalau mau makan, Ibu sudah taruh semuanya di meja. Jangan capek-capek, ya,” itu pesannya setiap ingin berangkat. Aku kini tidak bersekolah lagi. Setelah Bapak meninggal, Ibu yang bekerja banting tulang untuk menyambung hidup kami. Kata Ibu, biaya sekolah itu mahal. Apalagi dengan kondisi kesehatanku yang makin memburuk, membuat Ibu ekstra keras mencari biaya pengobatanku yang tidak sedikit. Ibu lebih mengesampingkan pendidikan daripada kesehatanku, “Ibu bisa ajarin kamu setelah pulang kerja. Biarpun kamu lulusan SD, kamu tidak boleh kalah dengan mereka yang lulusan SMA,” penyemangat dari Ibu tiap kali ia berhasil menangkap basah aku menangis melihat anak-anak seusiaku berangkat sekolah. Mungkin, kalau aku masih melanjutkan sekolahku, sekarang aku sudah memakai seragam putih abu-abu setahun lalu.
                Hari sudah semakin sore, dan Ibu tidak kunjung pulang. Biasanya Ibu suda sampai kontarkan sejak pukul tiga sore. Paling lama setengah empat. Tapi sekarang, sudah pukul empat lebih, Ibu belum pulang juga. Akhirnya aku putuskan untuk menyusulnya ke pangkalan angkot.
                Di sana, beberapa angkot sudah banyak yang datang. Biasanya setelah menepikan angkutan pengap itu, para supirnya bergegas menyetor uang harian untuk mandor sebelum pulang. Ada beberapa orang supir yang aku kenal sebagai teman “nyupir” semasa hidup Bapak. Salah satunya pak Ridwan.
                “Loh, Santi. Baru saja bapak mau ke kontarkan kamu. Ibumu sempat berpesan, dia pulang sedikit terlambat. Angkotnya dapat carteran dari ibu-ibu PKK perumahan,” kata pak Ridwan sambil menyeka keringat di wajahnya. Setelah aku sampaikan keinginanku menunggu Ibu di pangkalan, pak Ridwan akhirnya injin pulang terlebih dulu dan tak lupa memperingatkanku untuk tidak kelelahan. ya, pak ridwan tahu kondisiku.
                Hingga pukul setengah lima sore, Ibu tidak datang juga. Rasa bosan seketika menyerangku. Sejenak, aku bingung mau melakukan apa. Pelan-pelan, tubuhku terasa sakit. Mungkin aku terlalu kelelahan. Saat ingin memutuskan untuk pulang saja, tidak sengaja aku melihat sebuah toko mainan baru saja di buka. Toko itu kecil namun didesain begitu cantik. Temboknya berwarna-warni ceria sekali. Di depannya dipasang kaca tembus pandang besar untuk memamerkan barang dagangan mereka.
                Dan di sana, ada sebuah boneka beruang putih dengan hati berwarna merah di pelukannya. Baru kali ini aku melihatnya. Maklum, aku tak pernah melihat boneka sebesar dan sebagus itu. Melihat saja tidak pernah apalagi memiliki. Aku ingin sekali memilikinya, tapi.. angka 250.000 di bandrol untuk siapa saja yang ingin memilikinya. Sungguh tidak adil, haruskah orang berduit yang memilikiya? sedangkan aku ini? aku punya apa? Ku hibur diriku ini dengan menatapnya lebih lama, walaupun aku tahu, ini malah makin membuatku tak kuasa menahan derai air mata.
                Tidak aku tahu sebelumnya, Ibu mengamatiku dari belakang.. Aku terkejut bukan main. Kulihat Ibu pasti lelah. Banyak keringat membasahi wajahnya yang tak putih lagi. Kulitnya kini tampak lebih hitam kemerahan. Matahari membuatnya seperti ini.
                “Maafkan Ibu, ya, nak. Kamu pasti lelah menunggu ibu di sini. Sampai mata kamu berair begitu. Di sini banyak debu, ya. Sampai kelilipan begitu. Hiks.. Ibu juga,” aku tahu Ibu berbohong. Ibu selalu tahu perasaanku. Aku tahu Ibu menangis sepertiku. Bu, hidup ini kejam. Tapi percayalah, kita bisa menjalaninya. Aku percaya Ibu orang yang kuat. Aku percaya.
                Dua hari berturut-turut Ibu pulang larut. Angotnya kembali mendapat panggilan utuk mengantar ibu-ibu pengajian dari sebuah masjid dekat kontrakan lama kami. Kata Ibu, walaupun jaraknya jauh, ia mau menerimanya. Upah yang didapat kira-kira tiga kali lipat kesehariannya.
                Seperti kemarin, aku pergi ke toko itu lagi. Memastikan masih adakah boneka beruang putih itu di sana. Walaupun aku tidak bisa membelinya, aku ingin boneka itu tetap di sana. Agar aku bisa melihatnya setiap sore.
                Sempat aku ragu untuk keluar kontarkan dan memilih istirahat di kamar. Sejak pagi punggungku sakit. Cairan merah anyir sempat beberapa kali keluar dari lubang hidungku. Ibu memperingatkanku untuk tidak keluar kontarakan demi kondisiku. Tapi entah mengapa aku merasa ada yang mengganjal di pikiran ini. Aku ingin melihat boneka itu lagi. Harus.
                Sepanjang perjalanan, seperti ada setumpuk karung beras jatuh menghantam kepalaku berkali-kali. Dak.. dak.. dak.. . Kakiku kesemutan, tanganku kaku dan mataku berubah fokus ke sana- kemari. Sedikit lagi aku sampai, kali ini terasa seperti lima karung beras jatuh menimpa seluruh tubuhku.
                “Ini tidak mungkin,” pekikku. Aku tidak percaya dengan apa yang sedang kulihat. Beruangku, dibawa keluar toko dengan seorang anak perempuan dan dua orang pria dan wanita dewasa. “Jangan.. jangan ambil bonekaku,”
                “Santi..,”
                Dan detik itu juga, mataku gelap. Semuanya kosong. Hilang sudah semua dayaku. Alam bawah sadarku sudah berkuasa. Memerintah untuk melupakan dunia, boneka beruang itu, tapi tidak untuk.. Ibuku.
                Wonder women terhebat di seluruh dunia. Ibuku Kartini. kartiniku ini tidak dikenang dalam sejarah. Namun telah lama menorehkan sejarah tersendiri dalam hidupku. Ibu begitu mengidolakan R.A. Kartini. Pahlawa para kaum wanita. Ia pernah bermimpi ingin seperti R.A. Kartini. Membangun sekolah sendiri dan memberdayakan kesejahteraan wanita. Namun benar, kenyataan tak seindah mimpi. sebelum ia benar-benar ingin mensejahterakan orang lain, hidupnya sendiri harus terlebih dulu ia sejahterakan. Hidup sebagai janda dengan anak sakit-sakitan sepertiku, membuatnya harus punya jiwa yang besar. Lengkap sudah semua penderitaannya.
                Ibu tetaplah wanita yang berhati lembut. Saat ia ringkih, ia bisa menangis. Pernah aku temukan ia bersimpuh di tengah malam. Berdoa dalam sujudnya. Mengadu pada Tuhan akan nasib yang ia terima. Sedih, tapi tidak mengutuk dirinya lemah. Ia hidup untukku, anaknya yang hampir mati ini.
                Ku dapati diriku berada di ruang serba putih dan bau pekat obat-obatan. Dalam posisiku seperti ini, hanya tampak langit-langit putih dengan sarang laba-laba disudut-sudutnya. Satu lagi, cairan bening dalam kantung plastik dengan selang panjang yang berujug di tangan kiriku.
                Ibu.. Ibu.. Ibu di mana? aku butuh Ibu. Aku hanya butuh Ibu. “Aggghhh…,” kepalaku sakit sekali. Aku rasa inilah penghujung hidupku. Aku mohon tunggu sebentar. Aku harus cari Ibu. Jangan sekarang.
                Aku terus berlari tanpa kupedulikan darah mengucur deras dari tangan kiriku. Ini ulahku sembarangan menarik infus yang menancap dalam di kulitku.  Yang ku inginkan sekarang, bisa sampai taman di dekat rumah sakit. Secepatnya.
                Semuanya akan selesai. Tapi sebelumnya, aku ingin.. “Santi.. lihat ini, nak,” aku rasa langkah Ibu makin mendekat di belakang sana. Aku tidak mau melihatku seperti ini. Aku sudah sangat buruk untuk ia lihat. Ibu memaksaku melihatnya. Bukan melihatnya, tapia boneka beruang milik toko itu. Ah.. bukan, kini itu milikku.
                “Ibu dapat ini setelah bekerja dengan bu Mira. Pemilik toko mainan itu, ternyata dia masih punya satu lagi. Ini sekarang punyamu, nak,”
                “Ibu..,” panggilku makin lemah. Tuhan, aku mohon, aku tidak mau kehilangannya. ruak.. kakiku sudah lelah menopang tubuhku sendiri. Kupeluk bonekaku erat-erat. Ini milikku, Ibu yang memberinya.
                Bulu-bulu bonekaku lembut seklai, nyaman menyentuh wajahku. “Maaf, bu. Jadi kotor,” aku mimisan. Kini sebagian wajah boneka beruang putihku sedikit ternodai dengan darahku yang terserap cepat ke bulu-bulunya. Ibu hanya menggeleng lemah dalam tangisnya. Tidak apa-apa.
                Apa yang telah aku perbuat, aku mengotori hasil kerja keras Ibuku. “Aku anak yang jahat, Bu,” ku gosok-gosok noda merah yang telah menyerap sempurna ke bonekaku. Pekerjaan sia-sia.
                Ibu menatapku yang makin pucat mengerikan. Aku malu, “buat Ibu tersenyum, kamu terlalu baik unuk ibu miliki. Ibu takut Tuhan marah, Ibu gagal merawat kamu,”
                “Tidak, Bu, Tuhan akan bangga dengan Ibu. Jika waktuku berakhir sekarang, aku ingin kelak Tuhan bisa mempertemukan kita lagi, di.. surga,”
Brakk..!! Boneka beruang putihku kini telah sempurna berwarna merah. Kami: Ibu dan aku telah mengotorinya bersama. setelah benda besar bercahaya itu datang dan menghantam tubuh kami.
****
Di sini, aku sekarang. Aku tidak tahu ini di mana. Tidak ada yang bisa aku jelaskan. Di sini, tubuhku ringan sekali, tidak sakit sedikitpun. Tuhan, terima kasih, aku senang sekali. Kau telah sembuhkan aku. Aku harus memberitahu  wanita di sisiku ini. Bu, terima kasih. Aku sudah bahagia. Apalagi ada engkau di sini. Tenanglah, kita akan bersama. Terima kasih, ibu Kartiniku.[]
(*Kutulis kisah ini untuk seluruh wanita di dunia. Tidak perlu jauh-jauh mencari siapa sosok Kartini terdekat di hidup kita. Lihatlah, pemilik tempat singgah sementara kita sebelum datang ke dunia. Pemilik rahim ternyaman yang kita tempati dulu. Ibu terhebat di seluruh dunia. Terima kasih R.A. Kartini. Terima kasih Ibu. Selamat Hari Kartini..!!*)
Peluk cium dari kami, Anak-anakmu.. ^_^
Author: Ifah, 21 April 2013 17:13 PM

No comments:

Post a Comment