Saat
Tuhan memanggil kita, akan terasa jauh lebih siap jika bisa mewujudkan
pengharapan terakhir sebelum benar-benar pergi. Seperti aku.. dan Ibuku.
Namanya
Karti, lengkapnya Kartini Nurjanah. Ia adalah Ibuku. Seorang Wonder Women
terhebat di seluruh dunia. Bukan rekaan ataupun akting sekalipun. Ia milikku.
Kami
hidup berdua di sebuah kontarakan kecil dekat pangkalan angkot milik seorang
pengusaha kaya keturunan Cina. Ini dikarenakan ibuku kerja di sana. Bukan
sebagai pedagang minuman untuk para supir angkot kebanyakan, tapi Ibukulah
supir angkot itu.
Ibuku
memang hebat. Bekerja sebagai supir memamang bukan pilihannya. Ibuku hanya
meneruskan pekerjaan Bapak yang meninggal tiga tahun lalu. Tujuh hari
sepeninggal Bapak, kami pindah kontrakan. Alasannya karena jarak yang lebih
dekat dengan pangkalan angkot. Ibu bisa leluasa menjagaku di rumah jika ada
apa-apa. Setiap Ibu pergi kerja, ia selalu mewanti-wanti aku untuk tidak keluar
rumah. Ibu takut dengan kondisiku yang sering turun tiap kali kelelahan.
“Kamu
tunggu Ibu pulang. Kalau mau makan, Ibu sudah taruh semuanya di meja. Jangan
capek-capek, ya,” itu pesannya setiap ingin berangkat. Aku kini tidak
bersekolah lagi. Setelah Bapak meninggal, Ibu yang bekerja banting tulang untuk
menyambung hidup kami. Kata Ibu, biaya sekolah itu mahal. Apalagi dengan
kondisi kesehatanku yang makin memburuk, membuat Ibu ekstra keras mencari biaya
pengobatanku yang tidak sedikit. Ibu lebih mengesampingkan pendidikan daripada
kesehatanku, “Ibu bisa ajarin kamu setelah pulang kerja. Biarpun kamu lulusan
SD, kamu tidak boleh kalah dengan mereka yang lulusan SMA,” penyemangat dari
Ibu tiap kali ia berhasil menangkap basah aku menangis melihat anak-anak
seusiaku berangkat sekolah. Mungkin, kalau aku masih melanjutkan sekolahku, sekarang
aku sudah memakai seragam putih abu-abu setahun lalu.
Hari
sudah semakin sore, dan Ibu tidak kunjung pulang. Biasanya Ibu suda sampai
kontarkan sejak pukul tiga sore. Paling lama setengah empat. Tapi sekarang,
sudah pukul empat lebih, Ibu belum pulang juga. Akhirnya aku putuskan untuk
menyusulnya ke pangkalan angkot.
Di
sana, beberapa angkot sudah banyak yang datang. Biasanya setelah menepikan
angkutan pengap itu, para supirnya bergegas menyetor uang harian untuk mandor
sebelum pulang. Ada beberapa orang supir yang aku kenal sebagai teman “nyupir”
semasa hidup Bapak. Salah satunya pak Ridwan.
“Loh,
Santi. Baru saja bapak mau ke kontarkan kamu. Ibumu sempat berpesan, dia pulang
sedikit terlambat. Angkotnya dapat carteran dari ibu-ibu PKK perumahan,” kata
pak Ridwan sambil menyeka keringat di wajahnya. Setelah aku sampaikan
keinginanku menunggu Ibu di pangkalan, pak Ridwan akhirnya injin pulang
terlebih dulu dan tak lupa memperingatkanku untuk tidak kelelahan. ya, pak
ridwan tahu kondisiku.
Hingga
pukul setengah lima sore, Ibu tidak datang juga. Rasa bosan seketika
menyerangku. Sejenak, aku bingung mau melakukan apa. Pelan-pelan, tubuhku
terasa sakit. Mungkin aku terlalu kelelahan. Saat ingin memutuskan untuk pulang
saja, tidak sengaja aku melihat sebuah toko mainan baru saja di buka. Toko itu
kecil namun didesain begitu cantik. Temboknya berwarna-warni ceria sekali. Di
depannya dipasang kaca tembus pandang besar untuk memamerkan barang dagangan
mereka.
Dan
di sana, ada sebuah boneka beruang putih dengan hati berwarna merah di
pelukannya. Baru kali ini aku melihatnya. Maklum, aku tak pernah melihat boneka
sebesar dan sebagus itu. Melihat saja tidak pernah apalagi memiliki. Aku ingin
sekali memilikinya, tapi.. angka 250.000 di bandrol untuk siapa saja yang ingin
memilikinya. Sungguh tidak adil, haruskah orang berduit yang memilikiya?
sedangkan aku ini? aku punya apa? Ku hibur diriku ini dengan menatapnya lebih
lama, walaupun aku tahu, ini malah makin membuatku tak kuasa menahan derai air
mata.
Tidak
aku tahu sebelumnya, Ibu mengamatiku dari belakang.. Aku terkejut bukan main.
Kulihat Ibu pasti lelah. Banyak keringat membasahi wajahnya yang tak putih
lagi. Kulitnya kini tampak lebih hitam kemerahan. Matahari membuatnya seperti
ini.
“Maafkan
Ibu, ya, nak. Kamu pasti lelah menunggu ibu di sini. Sampai mata kamu berair
begitu. Di sini banyak debu, ya. Sampai kelilipan begitu. Hiks.. Ibu juga,” aku
tahu Ibu berbohong. Ibu selalu tahu perasaanku. Aku tahu Ibu menangis
sepertiku. Bu, hidup ini kejam. Tapi percayalah, kita bisa menjalaninya. Aku
percaya Ibu orang yang kuat. Aku percaya.
Dua
hari berturut-turut Ibu pulang larut. Angotnya kembali mendapat panggilan utuk
mengantar ibu-ibu pengajian dari sebuah masjid dekat kontrakan lama kami. Kata
Ibu, walaupun jaraknya jauh, ia mau menerimanya. Upah yang didapat kira-kira
tiga kali lipat kesehariannya.
Seperti
kemarin, aku pergi ke toko itu lagi. Memastikan masih adakah boneka beruang
putih itu di sana. Walaupun aku tidak bisa membelinya, aku ingin boneka itu
tetap di sana. Agar aku bisa melihatnya setiap sore.
Sempat
aku ragu untuk keluar kontarkan dan memilih istirahat di kamar. Sejak pagi
punggungku sakit. Cairan merah anyir sempat beberapa kali keluar dari lubang
hidungku. Ibu memperingatkanku untuk tidak keluar kontarakan demi kondisiku.
Tapi entah mengapa aku merasa ada yang mengganjal di pikiran ini. Aku ingin
melihat boneka itu lagi. Harus.
Sepanjang
perjalanan, seperti ada setumpuk karung beras jatuh menghantam kepalaku
berkali-kali. Dak.. dak.. dak.. . Kakiku kesemutan, tanganku kaku dan mataku
berubah fokus ke sana- kemari. Sedikit lagi aku sampai, kali ini terasa seperti
lima karung beras jatuh menimpa seluruh tubuhku.
“Ini
tidak mungkin,” pekikku. Aku tidak percaya dengan apa yang sedang kulihat.
Beruangku, dibawa keluar toko dengan seorang anak perempuan dan dua orang pria
dan wanita dewasa. “Jangan.. jangan ambil bonekaku,”
“Santi..,”
Dan
detik itu juga, mataku gelap. Semuanya kosong. Hilang sudah semua dayaku. Alam
bawah sadarku sudah berkuasa. Memerintah untuk melupakan dunia, boneka beruang
itu, tapi tidak untuk.. Ibuku.
Wonder
women terhebat di seluruh dunia. Ibuku Kartini. kartiniku ini tidak dikenang
dalam sejarah. Namun telah lama menorehkan sejarah tersendiri dalam hidupku.
Ibu begitu mengidolakan R.A. Kartini. Pahlawa para kaum wanita. Ia pernah
bermimpi ingin seperti R.A. Kartini. Membangun sekolah sendiri dan
memberdayakan kesejahteraan wanita. Namun benar, kenyataan tak seindah mimpi.
sebelum ia benar-benar ingin mensejahterakan orang lain, hidupnya sendiri harus
terlebih dulu ia sejahterakan. Hidup sebagai janda dengan anak sakit-sakitan
sepertiku, membuatnya harus punya jiwa yang besar. Lengkap sudah semua
penderitaannya.
Ibu
tetaplah wanita yang berhati lembut. Saat ia ringkih, ia bisa menangis. Pernah
aku temukan ia bersimpuh di tengah malam. Berdoa dalam sujudnya. Mengadu pada
Tuhan akan nasib yang ia terima. Sedih, tapi tidak mengutuk dirinya lemah. Ia
hidup untukku, anaknya yang hampir mati ini.
Ku
dapati diriku berada di ruang serba putih dan bau pekat obat-obatan. Dalam
posisiku seperti ini, hanya tampak langit-langit putih dengan sarang laba-laba
disudut-sudutnya. Satu lagi, cairan bening dalam kantung plastik dengan selang
panjang yang berujug di tangan kiriku.
Ibu..
Ibu.. Ibu di mana? aku butuh Ibu. Aku hanya butuh Ibu. “Aggghhh…,” kepalaku
sakit sekali. Aku rasa inilah penghujung hidupku. Aku mohon tunggu sebentar.
Aku harus cari Ibu. Jangan sekarang.
Aku
terus berlari tanpa kupedulikan darah mengucur deras dari tangan kiriku. Ini
ulahku sembarangan menarik infus yang menancap dalam di kulitku. Yang ku inginkan sekarang, bisa sampai taman
di dekat rumah sakit. Secepatnya.
Semuanya
akan selesai. Tapi sebelumnya, aku ingin.. “Santi.. lihat ini, nak,” aku rasa
langkah Ibu makin mendekat di belakang sana. Aku tidak mau melihatku seperti
ini. Aku sudah sangat buruk untuk ia lihat. Ibu memaksaku melihatnya. Bukan
melihatnya, tapia boneka beruang milik toko itu. Ah.. bukan, kini itu milikku.
“Ibu
dapat ini setelah bekerja dengan bu Mira. Pemilik toko mainan itu, ternyata dia
masih punya satu lagi. Ini sekarang punyamu, nak,”
“Ibu..,”
panggilku makin lemah. Tuhan, aku mohon, aku tidak mau kehilangannya. ruak..
kakiku sudah lelah menopang tubuhku sendiri. Kupeluk bonekaku erat-erat. Ini
milikku, Ibu yang memberinya.
Bulu-bulu
bonekaku lembut seklai, nyaman menyentuh wajahku. “Maaf, bu. Jadi kotor,” aku
mimisan. Kini sebagian wajah boneka beruang putihku sedikit ternodai dengan
darahku yang terserap cepat ke bulu-bulunya. Ibu hanya menggeleng lemah dalam
tangisnya. Tidak apa-apa.
Apa
yang telah aku perbuat, aku mengotori hasil kerja keras Ibuku. “Aku anak yang
jahat, Bu,” ku gosok-gosok noda merah yang telah menyerap sempurna ke bonekaku.
Pekerjaan sia-sia.
Ibu
menatapku yang makin pucat mengerikan. Aku malu, “buat Ibu tersenyum, kamu
terlalu baik unuk ibu miliki. Ibu takut Tuhan marah, Ibu gagal merawat kamu,”
“Tidak,
Bu, Tuhan akan bangga dengan Ibu. Jika waktuku berakhir sekarang, aku ingin
kelak Tuhan bisa mempertemukan kita lagi, di.. surga,”
Brakk..!! Boneka beruang putihku
kini telah sempurna berwarna merah. Kami: Ibu dan aku telah mengotorinya
bersama. setelah benda besar bercahaya itu datang dan menghantam tubuh kami.
****
Di sini, aku sekarang. Aku tidak
tahu ini di mana. Tidak ada yang bisa aku jelaskan. Di sini, tubuhku ringan
sekali, tidak sakit sedikitpun. Tuhan, terima kasih, aku senang sekali. Kau
telah sembuhkan aku. Aku harus memberitahu
wanita di sisiku ini. Bu, terima kasih. Aku sudah bahagia. Apalagi ada
engkau di sini. Tenanglah, kita akan bersama. Terima kasih, ibu Kartiniku.[]
(*Kutulis kisah ini untuk seluruh wanita di dunia. Tidak perlu
jauh-jauh mencari siapa sosok Kartini terdekat di hidup kita. Lihatlah, pemilik
tempat singgah sementara kita sebelum datang ke dunia. Pemilik rahim ternyaman
yang kita tempati dulu. Ibu terhebat di seluruh dunia. Terima kasih R.A.
Kartini. Terima kasih Ibu. Selamat Hari Kartini..!!*)
Peluk cium dari kami, Anak-anakmu.. ^_^
Author: Ifah, 21 April 2013 17:13 PM
No comments:
Post a Comment