Hai, semua. Kali ini Ifah mau bagi satu cerpen yang Ifah buat waktu lomba peringatan bulan bahasa tahun kemarin di kampus. Baru sekarang Ifah posting di blog karena beberapa alasan. Salah satunya pengumuman pemenangnya. Karena berhubung pemenangnya sudah ketahuan alias sudah diumumkan, Ifah udah berani posting di blog, yeyy... (Coba tebak siapa juaranya, kedip-kedip mata ^_^)
Ya, walaupun kemarin sudah Ifah posting juga di akun Kompasiana Ifah. Yang jadi teman Ifah di Kompasiana pasti sudah tahu. Untuk informasi saja tema cerpen ini baru diberitahukan saat lomba mau dimulai, yaitu Cinta dan Kekuasaan. 10 Ifah stress nggak ngelakuin apa-apa, alias bingung mau nulis cerita apa.Oh ya, Ifah mau terima kasih buat teman-teman yang sudah mendukung Ifah saat lomba tahun kemarin. Buat Aisyah, terima kasih sudah dipinjami namanya. Maaf banget kalau masih banyak typo. Ini hasil edit tahap pertama, hehehe ^_^ Semoga terhibur!
~~000~~
“Bapak sakit. Mbak
harus pulang sekarang juga. Bapak hanya butuh Mbak.”
Begitulah isi pesan
Arman untuk kakak perempuannya. Tangan Aisyah bergetar. Seolah sengatan listrik
satu gardu menyerang setiap ujung jemarinya hingga menjalar ke ulu hati.
Sakitnya luar biasa. Penyakit lamanya kambuh lagi. Ini kali kesekian Aisyah
menerima pesan singkat dari desa tempat kelahirannya.
Siapa lagi, kalau
bukan dari Arman.
Arman, satu-satunya
orang di desa Sendangrejo yang punya ponsel. Itupun yang paling murah. Aisyah
membelikannya atas perintah sang suami.
“Belikan saja yang
harga tiga ratusan. Ponsel ‘Cina’ sudah terlihat keren bagi orang desa.” Bayu,
suami Aisyah yang dikenal ketika melamar pekerjaan di sebuah kantor garmen
Jakarta Selatan. Ia pewaris tahta tunggal dan satu-satunya pemilik sah tujuh
cabang perusahan sejenis dan satu pabrik pengolahan kelapa sawit ditambah mini
galeri seni di pusat kebudayaan kota.
Cinta tidak pernah
mengenal kasta. Setiap hati tahu kepada siapa ia harus memilih. Coba lihat saja
Bayu. Ia sama sekali tak pernah meminta keluarganya membuat hajat dengan orang
desa. Apalagi pernikahan.
Tapi apa daya, Bayu
sudah kadung jatuh cinta, dengan Aisyah. Gadis sederhana yang nama desa tempat
tinggalnya saja tidak pernah ia ketahui. Kumpulan peta manapun tidak pernah
memasukkan nama Sendangrejo di dalamnya. Tidak penting juga.
Miris bikin
menangis.
Orang tua Bayu
bahkan harus membuat acara diam-diam ketika melamarkan Aisyah untuk Bayu. Saat
resepsi saja, butuh mengeluarkan banda khusus super fantastis untuk menyewa
para ‘aktor dan aktris’ demi menggantikan sosok keluarga Aisyah ketika di
pelaminan. Alasannya, pernikahan itu sakral. Apalagi untuk keluarga Parahardi.
Jangan sampai IQ ‘jongkok’ orang-orang desa itu ikut-ikutan mengatur perhelatan
akbar putra tunggal keluarga mereka. Keluarga Bayu tak mau ambil risiko. Papi
dan Mami Bayu sangatlah paham, Bapak dan keluarga besar Aisyah pastilah tak
tahu apa itu katering, dekorasi, pemotretan pre-wedding sampai para WO
yang bertanggung jawab atas semuanya.
Hingga di tahun ke
tiga pernikahannya, Aisyah tak pernah lagi pulang ke desa. Sibuk? Tidak, ia tak
bekerja. Tidak ada kendaraan? Suaminya bahkan punya garasi khusus ‘mirip’ showroom
mobil berdiri megah di selatan rumahnya. Muat menampung segala jenis mobil dari
setir posisi kanan sampai kiri. Lantas, mengapa Aisyah harus tetap diam di
rumah suaminya?
“Kau harus paham,
Syah, siapa aku ini. Siapa keluargaku dan tentu saja kau. Apa kamu lupa dengan
acara pernikahan kita? Keluargaku bahkan harus rela membayar puluhan juta
mahasiswa seni peran demi menutupi jati diri Bapakmu yang KERE itu!”
“Cukup, Mas!”
Plak.. satu, dua,
tiga, sepuluh atau hampir lima belas kali menurut perhitungan Aisyah, tamparan
Bayu mendarat dengan mulus di pipi yang sama-sama mulusnya. Wajah Aisyah
memanas. Sakitnya sembilu meluluhlantakkan kenangan saat pertama mereka
bertemu. Jauh, jauh sekali.
Saat di balkon mini
kantornya, Bayu melihat Aisyah yang sedang kebingungan mencari pintu masuk
kantor. Cantik bak bidadari. Rambutnya hitam sehitam aspal baru jalanan. Wajah
ayunya seolah mampu menghentikan waktu saat itu juga. Guguran bunga warna merah
jambu pohon belimbing di samping kantor Bayu menambah euforia tersendiri bagi
Bayu yang sedang jatuh cinta. Itulah masa di mana ia akhirnya merasakan jadi
budak. Budak cinta.
Cinta itu datang
dan berlabuh kepada anak seorang pembuat anglo dari desa antah brantah.
Lain dulu lain
sekarang. Cinta rupanya punya efek samping. Aisyah tahu itu. Mungkin kata orang
di desanya cinta Aisyah sebuah anugerah. Ia bisa menikah dan hidup satu atap
dengan keluarga kaum ningrat. Tapi bagi keluarga Bayu.. ini sebuah kesalahan.
Bayu dipandang
manusia terbodoh di keluarganya. Semua sepupu bahkan rekan sejawatnya tidak ada
yang salah memilih hati. Mereka jatuh cinta dengan orang yang tepat dan
‘kantong’ yang tebal.
Tubuh Aisyah lemas.
Kakinya serasa hilang, rasanya sama seperti ketika ia menjalani operasi
melahirkan Amalia, putri pertamanya dengan Bayu. Ponsel metalik seharga satu
unit motor itu hampir saja luput dari genggamannya. Belum ia tutup, pesan
adiknya masih terbuka.
“Jadi ini,” Bayu
merampas ponsel istrinya kasar. Ada suara ‘aw’ saat kuku panjang Bayu
bersentuhan dengan kulit sawo matang Aisyah, “Syah, ini pasti gertakan adik
kamu supaya kamu pulang. Berapa kali, sih, aku katakan ini untuk kamu, Arman
bisa mengurus Bapakmu dengan baik. Aku akan perintahkan Joe untuk mengirim
beberapa juta lagi untuk Bapakmu ke desa.” Ucapnya enteng.
Aisyah mendelik
ketika mendengar Bayu mengatakan dengan jelas kata ‘bapakmu’ kepadanya.
Suaminya itu seolah tidak mengakui bahwa Bapak istrinya Bapaknya juga. Tidak
bisa dipungkiri, bagai langit dan bumi, Papi Bayu dan Bapak Aisyah memiliki
jarak yang sangat amat jauh. Perbedaan kasta sangat mencolok antara mereka.
“Tapi Bapak memang
butuh aku, Mas. Aku harus pulang.” Tangisnya makin kencang. Beberapa orang
asisten rumah tangga yang berkumpul di dapur menguping sambil sesekali mengelus
dada mereka bersamaan. Seorang tukang kebun malah ikut menangis melihat
penderitaan majikannya itu.
Bayu mencoba memapah
Aisyah kembali duduk di sofa. Menggenggam tangan wanita yang telah mengisi
hari-harinya hampir tiga tahun itu. Rasa peduli coba ia tunjukkan dengan
menggenggam tangan Aisyah. Berusaha menyalurkan apa yang sebenarnya ia lakukan
untuk istrinya.
Sekali lagi ia coba
menyadarkan diri, ia tidak salah jatuh cinta dengan Aisyah.
“Kekuasaanku memang
segalanya. Aku punya orang tua. Begitupula kau. Sejatinya, kita sama-sama punya
tanggung jawab untuk membahagiakan mereka, sampai kapanpun.”
Paduan suara
“aaaaaww” terdengar lirih dari arah dapur. Kumpulan asisten rumah tangga tadi
seketika terenyuh dengan perkataan ‘big boss’ mereka. Jarang sekali ada kalimat
sinetron seperti itu yang mereka dengar keluar dari mulut Bayu, lebih
spesifiknya ketika kedua majikannya bertengkar hebat karena masalah sms dari
desa.
Perang dingin Bayu
dan Aisyah perlahan mereda. Sosok pria pecinta beberapa tahun lalu kembali
muncul, “selama ini, aku merasa sikapku salah, Aisyah.” Aisyah. Bayu menyebut
lengkap namanya dengan jelas. Pertanda bahwa ini memang serius keluar dari
lubuk hatinya. “Aku ingin selalu jadi anak yang patuh. Untuk orang tuaku.
Sampai akhirnya, aku pun harus melawan mereka ketika aku.. bertemu denganmu.”
“Aku?” Aisyah
tercengang. Mengapa ada dirinya di masalah intim antara suaminya dengan
keluarga besarnya.
“Maaf. Tapi ini
memang kenyataannya. Papi dan Mami sudah cukup malu menerima kau di keluarga
ini. Mereka sudah berbesar hati dan melupakan siapa jati diri keluargamu
sebenarnya. Aku sendiri tak masalah, kau anak seorang pembuat anglo atau
pemulung sekalipun. Karena aku yakin, kamu istri yang tepat untuk aku dan
anak-anakku kelak.”
Inilah Bayu Putra
Parahardi yang sebenarnya. Sejak awal, Aisyah sudah paham dengan posisinya di
keluarga ini. Menantu miskin yang hanya jadi benalu di keluarga suaminya.
“Aku diperbuda oleh
seluruh ego orang tuaku untuk menguasai dirimu seutuhnya dengan hartaku. Aku
kalah, Syah. Aku kalah memperjuangkan hakmu sebagai istri dan tulang punggung
keluargamu. Maafkan aku, Aisyah. Maaf.”
Bentuk wajah
menentukan seperti apa kepribadian orang tersebut. Seperti itu kalimat yang
pernah Aisyah baca. Sempat tak percaya namun kini ia jadi saksi kebenaran riset
itu, dari suaminya sendiri.
Garis-garis tegas
menghiasi lekuk tulang pipinya yang sedikit tersembunyi. Pipinya sedikit tembam
jika dibandingkan dengan para lelaki dewasa seumurannya. Kwalitas juga
menentukan hasil. Perawatan wajah sederhana untuk pria rupanya memberikan efek
maksimal untuk Bayu. Meski pekerjaannya membutuhkan waktu 25 jam sehari
sekalipun, kerutan rupanya ‘ogah’ berkarya di wajah Bayu. Oh, dasar orang kaya.
Keduanya kini
sama-sama menangis. Pria tegar dihadapan Aisyah itu kini sudah menggenggam
secarik surat putih berkop nama perusahaan di Bandung.
“Aku akan pergi ke
Bandung selama satu minggu untuk mengurus pameran karya seni di akhir bulan
nanti. Dan selama Papi dan Mami berada di London, kamu bisa pergi ke rumah
Bapak. Kamu habiskan waktu satu minggu itu dengan keluargamu di sana.” Roman
muka Bayu mirip sekali dengan Bapak Aisyah. Ya, Bayu dan Bapak memang beda,
sekilas Aisyah sering menemukan wajah Bapaknya ketika Bayu tersenyum. Itu salah
satu alasan mengapa ia bisa jatuh cinta dengan suaminya sekarang.
“Tapi.. Papi dan
Mami beberapa hari lagi mereka pulang. Aku takut mereka marah saat aku tak ada
di rumah.”
Ada kekhawatiran di
benar Aisyah. Ia tak mau kalau saja mertuanya itu datang dan tidak melihatnya
di rumah, bisa-bisa ia harus berurusan dengan para algojo suruhan mertuanya.
Aisyah tak mau mati konyol.
“Tenang, Papi dan
Mami akan melanjutkan kunjungan bisnisnya ke Dublin. Jadi paling tidak saat kau
pulangpun, mereka juga belum di Indonesia.. aku yang jamin. Mungkin ini saatnya
aku memberikan apa yang seharusnya aku berikan untuk istriku.. dan Bapak
mertuaku.”
Ya, hidayah bisa
datang kapan saja. Ada kalanya, manusia harus sadar, hidupnya hanya numpang di
dunia. Lewat sebentar terus kembali lagi. Dan Bayu kembali disadarkan dengan
cinta.
****
Aisyah sudah
menolak tawaran Bayu untuk mengantarkannya ke desa dengan mobil dan sopir
pribadi mereka. Diberikan waktu untuk pulang saja rasanya seperti diberikan
napas. Lega sekali.
Untuk menuju ke
desa Sendangrejo, memang lumayan jauh. Tapi, medan yang harus ditempuh cukup
melelahkan. Tidak ada angkutan umum yang lewat di desa itu. Pemerintah setempat
mungkin merasa desa ini tidak begitu penting untuk dikunjungi. Listrik tidak
merata, dan penduduknya itu... mayoritas tidak berpendidikan dan lebih parahnya
lagi, banyak yang buta huruf. Mayoritas mata pencarian utama mereka adalah
petani. Itu saja buruhnya. Tanah yang gersang membuat hasil panen mereka tak
jauh dari palawija dan tanaman di tanah kering. Benar-benar miris dan bikin
nangis.
Hiburan, hanya
sebatas hiburan warga desa. Melihat TV di balai warga adalah salah satu hiburan
mewah yang pernah mereka dapat. Si pengurus balai warga adalah ibu-ibu, acara
TV yang mereka saksikanpun hanya sebatas infotainment dan sinetron saja. Betapa
tidak majunya pemikiran mereka jika yang mereka tahu dari dunia luar hanya
berisi artis tenar yang hobi kawin-cerai sampai sinetron yang menayangkan
cerita anak-anak muda yang cantik dan ganteng disekolah-sekolah elit, seragam
serba ‘aneh’ dengan rok mini dan rambut warna-warni.
Lebih parahnya
lagi, saat warga desa Sendangrejo tahu ada salah satu warga mereka yang jadi
mantu orang Jakarta, hebohnya setengah mati. Jakarta yang mereka tahu adalah
kota besar tempatnya para artis. Kota yang jadi tempat siaran televisi dari manapun.
Meski dalam sinetron tidak jarang menampilkan gambaran kerasnya hidup di
Jakarta, bagi warga Sendangrejo tetap, Jakarta itu hebat. Karena sebelum mereka
melihat kenyataan pahit hidup di Jakarta itu dari TV, mereka sudah terlebih
dulu tersihir dengan keindahan dan kegagahan si kota metropolitan. Ya, mungkin
benar juga istilah ‘IQ jongkok’ yang dimaksudkan oleh keluarga Parahardi.
Aisyah harus naik
kereta. Turun di stasiun dan melanjutkan perjalanannya dengan naik bis menuju
salah satu desa. Bukan desa Sendangrejo, tapi desa Kalimati. Hanya desa itu
yang dilewati oleh angkutan umum seperti bis.
Dari desa Kalimati,
ia masih harus naik becak ke perbatasan antara desa Kalimati dan desa
Sendangrejo. Dan sesampainya diperbatasan itulah, Aisyah harus jalan kaki
karena jalanan yang menanjak.
Rumah tua itu.
Masih sama seperti dulu. Beralaskan tanah dan berdinding anyaman bambu. Satu
hal yang saat itu juga ada dipikirannya, untuk apa saja uang yang dikirimkan
suaminya untuk keluarga ini?
“Mbak?” seorang
pemuda tujuh belas tahun keluar dengan celana tiga perempat yang kotor karena
tanah. Noda merah tanah itu seperti sudah menyatu di bandannya. Terutama
telapak tangan dan kaki yang menjadi semakin merah kecoklatan.
“Maafkan Mbak,
Arman. Mbak nggak bisa melawan keluarga di sana.”
Pertemuan kakak
beradik itupun menjadi momen mengharukan di siang itu. Bertahun-tahun Arman
hanya bisa mendengar suara kakaknya saja. Tapi kini, kakak perempuan
satu-satunya itu kini ada di hadapannya.
Aisyah sudah
semakin berubah. Yang paling terlihat adalah penampilannya. Sejak dulu Arman
memang melihat kakaknya itu lebih pantas jadi orang kaya. Wajahnya yang cantik
dengan kulit bersih sama sekali tidak memperlihatkannya seperti orang desa yang
miskin.
“Maafkan, Mbak.
Mbak har..,”
“Sudah, Mbak. Aku
ngerti. Aku paham dengan posisi Mbak di keluarga Mas Bayu. Yang penting
sekarang Mbak sudah pulang dan.. bisa bertemu Bapak.”
Ya, Aisyah pulang
untuk Bapak. Pria renta yang menangis saat terakhir kali ia tinggalkan untuk
bekerja di kota.
“Pak..,” Aisyah
melangkah menuju sebuah ruangan kecil minim ventilasi. Dinding anyaman bambunya
tampak menghitam karena bekas pembakaran anglo, kompor tradisional dari tanah
liat yang menjadi sumber penghasilan keluarga Bapaknya sejak dulu. Hanya ada
satu jendela kecil di sana. Suasana yang panas membuat Bapak sendiri malas
untuk membersihkan sarang laba-laba yang menggantung menghiasi sudut-sudut
ruang kerjanya itu.
Bapak adalah
generasi ke tiga sejak kakek dan kakek buyut Aisyah. Hingga kini dari kesekian
banyak keluarga dari Bapak, hanya Bapak Aisyahlah yang masih bertahan menjadi
pengerajin anglo.
“Sekarang orang
kota lebih banyak pakai kompor minyak, Pak. Bahkan ada yang pakai tabung gas.
Yang listrik juga ada. Tapi itu untuk orang kaya. Bapak buat yang lain saja.
Takutnya sudah tidak laku.” Pinta Aisyah saat ia masih kecil.
Hanya dengan
senyuman kecil, Bapak menjawab, “anglo ini tradisi keluarga. Indonesia dulu
kenal kompor, ya, ini. Masakan tambah enak kalau masaknya pakai kompor tanah
liat buatan Bapak. Nak, selagi Bapak masih mampu, Bapak akan berusaha membuatnya. Ini tanggung jawab
Bapak.”
Keras kepala Bapak
sejak dulu tidak bisa hilang. Sudah jadi watak yang dikenal oleh anak-anaknya.
Tidak hanya urusan pekerjaan, kesehatannya sendiri sering dianggap enteng. Ia
yakin masih kuat, ya sudah. Bapak yang bilang.
“Uang yang aku
kirim kurang ya, Pak? Kok tempat kerja Bapak masih tidak ada jendela yang
besar?” kata Aisyah mengawali. Ia sempat berpesan kepada Arman bahwa adiknya itu
harus membangun kembali tempat kerja Bapaknya jadi lebih baik. Ia takut
penyakit TBC Bapak semakin parah karena sering menghirup asap pembakaran
anglo-anglonya yang dilakukan sendiri di ruangan itu.
Bapak melirik
Aisyah sejenak, tersenyum lantas kembali bekerja kembali. Ia senang anak
perempuannya itu kembali lagi.
“Warga lebih butuh
uang kamu daripada Bapak. Bapak lebih nyaman seperti ini.” tangan rentanya
masih terus memutar plat pembentuk anglonya. Sesekali tangannya dibasahi untuk
memberi sudut lengkungan dan memotong area samping untuk membuat lubang.
Cekatan sekali dan sudah sangat hapal.
“Tapi..”
“Nak, uang itu
carinya mudah. Tapi kebahagiaan itu sulit didapat. Melihat orang-orang desa
bahagia seperti menemukan air kelapa di tengah gurun. Kamu tahukan, bagaimana
bahagianya?”
Sejak kakinya
melangkah masuk di desa Sendangrejo, Aisyah memang melihat beberapa perubahan
di desanya itu. Pembangunan semakin baik. Jalanan juga lebih nyaman dilewati
warga. Banyak anak-anak kecil yang senang hilir mudik di sebuah bangunan baru,
perpustakaan desa.
“Bapak yang
membangun perpustakaan itu untuk desa, Mbak. Bapak sedih desa ini dipandang
sebagai desa yang mayoritas penduduknya bodoh. Bapak mau anak-anak di sini bisa
membaca dengan adanya perpustakaan itu.”
Begitulah Bapak.
Hobinya membantu orang lain. Lebih ekstrimnya, sering kali Bapak melupakan
kepentingan dirinya untuk mendahulukan kebutuhan warga sekitar.
“Tapi Mbak jangan
khawatir, Bapak tetap mendapatkan obatnya. Aku sudah siapkan sendiri untuk
biaya pengobatan Bapak.”
Arman terus
menjelaskan kondisi Bapak dan tanah kelahirannya itu di bahwa pohon randu tua.
Pohon itu tempat favorit Aisyah sejak kecil jika menyendiri. Udaranya sejuk
sekali. Angin yang berhembus seperti sudah langganan dan tidak sungkan lagi
menjatuhkan lembar demi lembar daun randu kering yang langsung menghambur
menjatuhi tubuhnya. Bak confeti alam yang indah, memberikan selamat untuk
anugerah terindah yang diberikan oleh Tuhan untuk makhluk hidup di bumi.
Hari demi hari di
desa, Aisyah melihat Bapak terus bekerja keras membuat anglo dengan jumlah
besar. Tidak seperti biasanya, dalam sehari Bapak memberi target untuk dirinya
mampu membuat anglo dengan jumlah yang tidak sedikit mengingat ia melakukannya
sendiri.
Berjajar
anglo-anglo cantik yang sudah jadi di pinggiran ruang kerja Bapak. Tak jauh
dari itu, ada juga anglo-anglo pecah yang memang sengaja dipecahkan Bapak
karena hasil pembakaran yang tidak sempurna. Kebiasaan Bapak adalah mengecek
semua anglo buatannya terlebih dahulu sebelum menjajakannya. Karena ia tidak
mau jika anglo rusak harus diterima pelanggannya. Pelanggannya tidak boleh kecewa.
Itu prinsipnya.
Baru Aisyah tahu
bahwa anglo-anglo sebanyak itu adalah pesanan dari sebuah perusahaan besar.
Jadi Bapak tidak mau membuang kesempatan emas itu begitu saja. Ini rejeki.
“Pak, istirahat
dulu. Dari tadi Bapak batuk terus. Bapak pasti kecapekan membuat sebanyak itu.”
Aisyah semakin
khawatir dengan kondisi Bapak yang tidak kunjung baik. Setiap hari, Aisyah akan
mendengar Bapak terbatuk-batuk bahkan sampai mengeluarkan suara seperti orang
muntah. Kata Arman, itu tanda penyakit Bapak sedang kumat. Kalau sudah seperti
itu, biasanya Bapak sampai lemas, dan tidak jarang Bapak bisa sampai muntah
darah.
Bapak akan diam
dulu menunggu bantuknya tenang dan melanjutkannya kembali saat dirasa sudah
membaik. Seperti saat ini, Aisyah melihat Bapak terbatuk-batuk sambil
membolak-balik anglo setengah jadi di tungku pembakaran. Saat batuk Bapak mulai
mereda, Aisyah melihat mulut Bapak bergerak. Seperti merapal mantra dan
diakhiri dengan menangkupkan telapak tangannya kemuka.
“Amin.” Kata itu
yang Aisyah tangkap dari pergerakan mulut Bapak. Bapak berdoa.
Lima puluh anglo
jadi dan siap kirim. Tugas Bapak selesai. Begitupula hidupnya. Diketahui
penyakit Bapak semakin parah dan tubuh tuanya sudah tak kuat lagi
menanggungnya. Bapak pasti sudah bahagia, ia sudah membuat anglo terakhirnya
dengan baik. Dengan jumlah banyak pula.
Aisyah menghubungi
Bayu untuk meminta izin tinggal lebih lama sampai tujuh hari Bapaknya. Dan
tepat di hari ke tujuh kematian Bapak, Bayu datang menjemput Aisyah. Meminta
maaf karena ia baru bisa datang ke desa karena mengurus acara di Bandung.
Bayu lega, meski
tak sempat meminta maaf kepada mertuanya, ia sudah bisa memberikan waktu untuk
istrinya menemani di sisa hari-hari Bapak tercinta.
****
ACHMAD RAHMADI
pengerajin anglo desa Sendangrejo.
Nama yang tercetak
jelas di stan pameran hasil seni kriya dari galeri milik Bayu.
“Aku juga tidak
tahu kalau anglo itu dipesan anak buahku dari Bapak, Aisyah. Yang aku tahu
mereka akan memesan alat masak tradisional dari tanah liat terbaik yang pernah ada
dari sebuah desa.”
Saat pameran
selesai, seorang panitia menemui Bayu. “Maaf, Pak. Salah satu stan pameran
hanya menyisakan dua karya yang tidak terjual. Semuanya habis dan hanya tertinggal
dua ini saja. Kata salah seorang pengunjung, anglo buatan Achmad Rahmadi luar
biasa kualitasnya, dan hanya dua ini saja yang hasilnya sedikit kasar. Seperti
ada batu-batu kecilnya.”
Aisyah sempat tak
percaya dengan penjelasan panitia tersebut. Bapak pasti menyortir semua
anglonya sebelum turun pasar. Anglo retak pasti akan langsung dipecahkannya
agar tidak ikut terjual. Sedangkan ini, hasil buatannya kasar. Apa Bapak
melewatkan dua anglo ini?
Sembari menunggu
Bayu menyelesaikan semua urusan pameran, Aisyah menunggu suaminya itu di dalam
sebuah ruangan tempat menyimpan hasil karya yang tidak terjual. Salah satunya
dua anglo itu.
Tangan halus Aisyah
meraih dua anglo itu dan memecahkannya ke lantai. Prangg!!
Kepingan tanah liat
itu berserakan. Terlihat sudah apa penyebab anglo buatan Bapak itu tidak laku.
Anglo kasar bukan karena batu atau kerikil sejenis, tapi itu adalah benda
berwarna putih dan merah muda. Baunya menyengat seperti bahan kimia.
Ya, Aisyah paham itu
obat Bapak. Selama ini obat Bapak habis tidak ia makan, tapi.. ikut dicampur
dalam anglo buatannya. Aisyah tak kuasa menahan tangisnya. Air mata itu lebih
kuat dibandingkan dengan pertahanan batinnya.
Salah siapa?
Yang pasti, Bapak
telah pergi dan pecahan anglo itulah saksinya.[]
Tuban, 18 Desember 2014 (12:15 WIB)
No comments:
Post a Comment