Poster - Source: Falcon |
Salam merdeka ya. Tanggal 17 Agustus 2019, momen di mana upacara dan lomba-lombaan lagi ramai di daerah manapun. Gara-gara memang aku nggak ada ikatan dengan instansi yang mengadakan upacara bendera, kebetulan saja hari ini berasa tetep ikut euphoria 17an dengan datang ke bioskop.
Wohh, ya karena di bioskop pas lagi ada film bernuansa Indonesia banget. Apalagi di awal diajak berdiri buat nyanyi lagu Indonesia Raya. Mantap sekali kan membangun rasa nasionalisme walaupun niatnya nonton film di bioskop.
Wait, memangnya nonton film apaan? Ya, sudah tahulah ya, dari judulnya. Bumi Manusia. Akhirnya ketonton juga ini film. Entah ada angin apa, teman kuliah aku pasang story di WA soal film Bumi Manusia (Hikho, it's you, babe!). Bla bla bla.. kami masuk ke kolom saling kirim pesan. Sampai akhirnya chattingan kami berujung untuk nonton bareng dengan teman-teman yang lain. Sebenarnya, sempat mikir nggak mau untuk nonton film ini. Serius.. Kenapa, ya? Karena takut terlampau sadis ekspektasiku soal tokoh-tokoh dalam cerita setelah baca novelnya. Sayang banget kalau ternyata film ini tidak sesuper dari versi bacaan. Man, ini novel legend! Nggak mau kecewa lah intinya. Jadi ingat seperti kasus Dilan yang sampai sekarang aku belum pernah nonton filmnya tapi novel sudah kelar dari jaman entah kapan, hahaha..
Terdorong penasaran, finally aku mau ikutan nonton.
Seperti yang sudah aku jelaskan di awal, kita para penonton diminta nyanyi dulu Indonesia Raya (mirip sama film Soekarno yang pernah aku tonton dulu). Barulah masuk ke dalam cerita yang dibuka narasi dari Minke. Oh.. Iqbaal Ramadhan, dengan kumis tipis manisnya coba menjelaskan siapa dia di masa cerita itu dibangun. Sekompleks novelnya, film ini berusaha membangun suasana jaman londo dengan perbedaan strata sosialnya. Istilah pribumi, gundik, nigrat, Indo, darah campuran, muggle, mudblood, pureblood sejenis itu, hehe.. sorry.
Cerita yang kompleks pakai banget. Novelnya tidak perlu dibahas ya kalau sekelas Pram, mah. Alhasil, durasi filmnya jadi berasa Avengers gegara nuruti cerita yang sayang banget kalau ada yang dihilangkan. Aku sendiri bingung waktu film jalan setengah kok cerita masih di situ-situ saja (FYI, aku nggak ikutin kabar soal film ini jadi nggak ngerti apa-apa). Sampai akhirnya teman sebelah nyeletuk, "filmnya kan 3 jam, Fah!"
OK, sebuah kesalahan besar barusan aku lakukan. Ketika kebanyakan minum saat nonton film durasi lama adalah kuncinya, khususnya film ini. Akibatnya, baru satu jam jalan sudah nahan kencing mampus. Jangan ditiru!
Secara keseluruhan, aku suka banget sama garapan film ini. Peralihan novel ke film porsinya pas. Tidak terlalu banyak perubahan dan adaptasi setiap aspek konfliknya banyak yang masuk. Bukan diubah-ubah untuk cari yang pas. Ya, maklum saja kalau memang film akan berasa berbeda energinya dengan saat kita baca bukunya. Lumrah.
Ambillah contoh, penokohannya.
Minke dan segala karismanya, I say. Pakpuh Pram menurut aku mencipta karakter Minke dengan perawakan anak muda brilliant jaman dulu. Ada bar-barnya tapi masih cool. Suka ngedumel dan ngoceh soal dunia. Sedikit berbau cowok-cowok ganjen tiap ketemu cewek Eropa. Secara karakter Minke ini berat sekali untuk diwujudkan dalam ranah imajinasi para pembaca. Kadar kesempurnaannya cukup tinggi. Jelas, Minke ini orang unik. Tapi babang Iqbaal maju dan menawarkan rasa yang sekadar dia mampu untuk ditampilkan.
Nope? Menurutku Iqbaal serius mati-matian membangun karakter Minke pada dirinya. Aksen Belandanya lumayan menggoda penonton untuk ikut menirukan cara ngomongnya meski jatuhnya orang-orang satu bioskop kayak mau buang dahak. Keren sih, walaupun aku sendiri nggak jago betul bahasa Belanda, tapi lumayan terbiasa dengar dari hobby nonton video-video vlognya MeisjeDjamila (dan pas saja sebelum nonton Bumi Manusia, di rumah aku nonton film Oeroeg yang tayang di channel Sinema Indonesia. Ini film 80% pakai bahasa Belanda asli).
Jawanya keren. Mulus meski kadang kaku di beberapa adegan simple ketika dia bercanda. Contohnya saat ngomong, iyo? (benarkah?), itu sedikit luput tapi beruntung tawa penonton bikin orang nggak ngeh. Beruntungnya Iqbaal sudah fasih ya kalau soal sorot mata yang suka julit saat lihat Annelies dan mengumbar kata-kata mesra (ala Dilan). Belajar dari film sebelumnya, nih...
Cuma ya... Iqbaal lempeng waktu membangun sisi diri Minke yang manly. Dia belum nyampek kadar kerennya pria yang berani dan gagah menawan di depan perempuan. Kayak ada yang hilang gitu. Apa mungkin masih muda, ya, jadi satu sisi manisnya sampai, tapi waktu menjadi 'dewasa' dia keburu malu-malu. Waktu mau ajak bobok si Annelies, ambil contoh itu. Nggak ada yang sadar kalau bakal mau adegan seperti itu. Sorot
Like Iqbaal like Dilan? Masih kebawa gitu? (nggak bisa nilai karena nggak nonton Dilan)
Belum lagi pas marah-marahnya. Lumayan tapi aku (sedikit) kecewa saat masuk klimaks. Endingnya itu.. sorry, aku ndak nangis, mas. Gimana, ya. Aku tipe orang yang gampang banget buat terharu tapi kemarin kesannya gagal sampainya. Bagaimana emosi suami yang harus dipisahkan sama istrinya itu, loh.. Ya Allah, sampai geregetan aku. Sampai aku marah-marah dalam hati, woy aku kok gak nangis, seh! di saat beberapa teman sudah meraung nangisi Minke. Ya, adegan itu kebantu saja sama soundtrack Ibu Pertiwi, music scorenya sekalian sama akting Ine Febriyanti. Sayang banget, sumpah.. uh, I hate say this.
Masih berharap bisa lebih baik dari ini untuk Iqbaal. Sekadar itu. Karena kesannya jadi terbalik, Iqbaal seolah cukup untuk jadi peran sampingan dari seorang Nyai Ontosoroh.
Sha Ine Febriyanti, nah ini. Speechless nontonnya. Mau dikoreksi apa, kita sebagai penonton digiring untuk standing ovation ke ibunya si Annelies ini. Postur tubuhnya main. Cara dia berbicara tertata dan punya dinamika yang sama sekali nggak ngebosenin. 3 jam bosen? Iya, sih.Tapi tenang! Ada karakter Nyai Ontosoroh, obat ampuh. Kalau nggak ada karakter ini, nggak tahu bakal jadi apa ini film. Ukuran orang pribumi yang cerdas, kelihatan banget. Sedikit saja rada kaku kalau bahasa Belandanya, sih. Kurang nendang dibanding Iqbaal menurut aku. Cuma kalo membahas akting, orang ini jagoannya. Bingung mau menjabarkannya. Intinya sih, karakter ini yang paling berpengaruh dalam cerita.
Ah, mungkin juga karakter satu lagi. Bukan Annelies ya, yang diperankan Mawar Eva de Jongh. So-so saja gitu untuk si Annelies ini. Lugunya sampai dan enak dipandang (cantik banget). Tapi tetap, masih butuh jam terbang juga buat mainin karakter yang unik macam ini (bahasanya kayak udah ahli saja, haha).
Lah, terus siapa?
Porsi penting yang untung saja aktornya pas adalah karakter Darsam. Kehadiran karakter ini di film anugrah banget kalau aku bilang. Aktor teater Whani Dharmawan 100% tidak salah dipilih. Ibarat tali, bapak Whani jadi simpulnya. Darsam dibangun karakternya seperti benar-benar dibutuhkan dalam cerita. Aku sempat nyeletuk apa kumis tebalnya bisa menutupi raut ekspresinya ya, tapi ternyata tidak, saudara-saudara. Begini, Darsam bisa buat kita penonton bangga padanya dari tingkah polahnya sebagai ajudan Ontosoroh yang taat. Di lain kesempatan, kita bisa tertawa bahkan cuma sebatas dia ngomong. Ketika out of frame saja, salah satu adegan ketika Darsam baru saja tertembak sama abangnya Annelies, dia cerita dengan lugasnya pakai aksen Madura yang medok. Dari momen inilah Darsam made it interesting and special. Cocok banget kalau porsi adu aktingnya bersama Nyai.
Yang aku suka dari para aktornya adalah betapa bapak sutradara ini melihat betul karakter-karakter yang masuk di setiap pengambilan gambarnya. Karakter lain yang mantap seperti Dony Damara waktu jadi bapaknya Minke (sayang banget keluar sebentar), terus bu Ayu Laksmi jadi ibunya Minke. Beda ketika waktu jadi hantu-hantuan di film sebelumnya, bu Laksmi epik banget jadi ndoro-ndoro yang angun elegannya orang Jawa. Suaranya ngebas porsi perempuan. Sepanjang beliau keluar nggak segan-segan aku salut sama beliau. Belum lagi extranya itu banyak banget. Kejutan juga waktu Christian Sugiono keluar dengan kumis tebalnya, aih.. terkejut terheran-heranlah. Hanya saja.. menurut aku minusnya adalah extras yang dari bule-bule, banyak sekali. Rada kaku ya aktingnya.. (apalagi yang jadi Maurits Mellema, maaf ya, mister. Pengen tak peluk, deh).
Dari segi gambar, sepanjang pengamatanku sebagai orang awam yang ingin melihat film serealistik mungkin jatuhnya down cuma di pulasan warna sama cahayanya. Sebut saja rumah keluarga Millema. Ada yang janggal dan kaku saja untuk sebuah rumah kuno jaman kolonial. Suasana lingkungan terkesan keren dan efek CGI buat perbukitan atau sungainya lumayan mulus dilihat di layar gede. Paling menarik adalah di sesi adegan ketika Annelies menceritakan tentang masa lalu Mamanya pada Minke. Continuity yang dipakai asik banget. Main looping dari masa kemasa dengan media pintu yang satu persatu dibuka sama tokoh Annelies yang lagi cerita. Tapi, semangat ini nggak dipakai untuk beberapa karakter yang dibuat tiba-tiba menghilang tanpa alasan. Seperti Robert Mellema dan si gendut mata-mata itu. Raib begitu saja.
Keseluruhan ini film keren banget. Film berani banget karena akan ada konsekuensi besar saat mau mengadaptasi dari cerita yang sudah besar dari sononya. Rekomen sekali untuk ditonton di masa-masa Agustusan. Sepanjang pengetahuanku, banyak juga penonton muda pakai seragam yang datang ke bioskop untuk nonton. Entah untuk pengen tahu ceritanya atau sekadar nonton Iqbaal Ramadhan yang sukses menggaet hati younger audiences kita. Tidak masalah, itu cara ampuh untuk bisa mengenalkan karya-karya sastra klasik Indonesia ke anak muda jaman sekarang. Good job!
Ngejempol dulu.. (aku kok pendek banget, yak) |
Aku kasih...
8/10
Wow. Gemes akutu
ReplyDeleteJangan dibully, ye. Cuma sedikit geregetan.. :)
DeleteKedepannya, Iqbaal ini pastilah menjadi aktor kenamaan tanah air yang perannya seambrek spt Reza Rahdian. Keren juga ya misalnya Iqbaal ntar meranin Jati Wesi kalau novel Aroma Karsa-nya Dee Lestari di-Film kan. Hmm.....
ReplyDeleteJadi Jati, ya? em... semoga kalo emang iya bisa belajar aktingnya ditingkatin lagi si Iqbaal :)
Delete