Bagian 2: Suatu Saat Nanti
Setelah perjalanan
selama kurang lebih lima jam dari Semarang, akhirnya aku menginjakkan kakiku di
tanah Jogja. Udara di sini terasa beda sekali. Tidak seperti di Semarang yang
sudah seperti Jakarta yang sering aku lihat di TV selalu macet tiap harinya.
Aku berdiri di depan
pekarangan luas dengan hamparan taman bunga di sekitar bagunan modern dengan
sedikit aksen kuno di sekitar pintu dan jendela. Sebuah rumah minimalis begitu
tampak indah ku pandang. Tak besar, pas untuk keluarga kami yang hanya empat
orang (tambah mbak Ajeng, ya satu). Jika di lihat, villa kami terletak lumayan
jauh dari pemukiman warga sekitar. Tapi jangan salah, villa kami sudah sangat
di kenal orang di sekitar sini. Karena ayah sering memberikan bantuan untuk para
warga yang sering menjaga villa kami jika ayah tidak ada.
Villa ini sebenarnya
milik ayah. Ayah membelinya saat akan menikahi bunda. Tepatnya satu bulan
sebelum pernikahan mereka. Dulu, ayah sering menggunakannya untuk melakukan
pekerjaannya sebagai editor buku di sebuah penerbit di Jogja yang sekarang
telah pindah ke kota kami, Semarang. Ayah memilih villa ini karena suasananya
yang begitu tenang dan memiliki pemandangan yang begitu sedap dipandang,
sehingga bisa membuat ayah nyaman mengerjakan pekerjaannya yang membutuhkan
ketenangan. Selain menjadi tempat kerja ayah, di sini pula begitu menyimpan
banyak kenangan. Salah satunya, adalah villa ini tempat ayah melamar bunda
untuk menjadi pendamping hidupnya.
“Oh, so sweet..” kata
bang Erde mendengar cerita ayah setelah memasukkan barang-barang bawaan kami
masuk.
“Bagus, kan. Kalian
senang tidak di sini?”
“Oh, senang sekali,
ayah. Ayah tahu tempat-tempat yang bagus di sekitar sini tidak?” tanyaku
bersemangat.
“Tentu, ayah akan
tunjukkan kekalian tempat-tempat yang bagus di sekitar sini. Tapi besok, ya”
“Ya.. ayah. Kok besok
sih? Sekarang, yah!!” aku peluk ayahku erat-erat. Dengan pasang mimik wajah
memelas khas para pemain di film-film, ku rayu ayah.
“Ayolah,
yah”
Dan ternyata, jurusku
tak mempan. Ayah tetap bersihkeras untuk berjalan-jalan besok. Oke, aku tunggu.
***
Malam pertama di villa,
kami lewati dengan penuh suka cita. Jika di Semarang aku dan bang Erde selalu
bertengkar, dan ada saja masalah yang membuat kami jadi rebut. Tapi tidak di
sini. Entah apa masalahnya, kami menjadi lebih karab tinggal di villa ini. Bang
Erde tidak mencari masalah-masalah yang bias memancing peperangan kami.
Di ruang tamu kami
bermain monopoli bersama. Kalau urusan permainan, aku jagonya. Kecil-kecil
begini, otak bisnisku sudah bekerja dengan baik. Tabunganku di rumah maupun di
bank sudah seperti tabungan para karyawan kantoran.
“Bangkrut kamu, bang”
ejekku melihat uang mainan bang Erde yang makin menipis.
“Aduh, salah strategi,
nih” pikirnya denagn menggaruk kepala.
Dari arah taman
belakang, ayah dan bunda sedang membicarakan sesuatu yang belum saatnya aku
maupun bang Erde mengetahuinya.
“Aku
ngak bisa mengatakan itu pada mereka, mas. Aku ngak bisa”
“Aku mohon, dengarkan
aku. Mereka sudah besar, cepat atau lambat mereka akan tahu” kata ayah coba
menenangkan bunda yang mulai menitikkan air matanya.
“Tapi, mereka begitu
sayang dengan kita. Kita orang tua mereka. Apalagi Imel,dia tidak akan bisa
tidur nyenyak jika tidak aku bacakan cerita sebelum dia tertidur.”
“Percayalah, Imel sudah
besar. Tidak mungkin dia akan seperti itu sampai dewasa. Kita akan cari cara
untuk mengatakan itu. Suatu saat nanti, entah kapan, cepat atau lambat, mereka
akan tahu”
Bunda menagis dalam
pelukan ayah. Dan aku percaya, bang Erde percaya. Kami akan tahu sebab musabab
bunda kami menangis. Walaupun kami tahu, suatu saat nanti, kami tak akan pernah
mau itu terjadi.
Bersambung...
No comments:
Post a Comment