Assalamualaikum.. welcome to my blog, guys..!! ^_^

Adsense

Friday, July 27, 2012

Cerber: Ketika Kakiku Menginjak Langit Bag. 2

Bagian 2: Suatu Saat Nanti

Setelah perjalanan selama kurang lebih lima jam dari Semarang, akhirnya aku menginjakkan kakiku di tanah Jogja. Udara di sini terasa beda sekali. Tidak seperti di Semarang yang sudah seperti Jakarta yang sering aku lihat di TV selalu macet tiap harinya.
Aku berdiri di depan pekarangan luas dengan hamparan taman bunga di sekitar bagunan modern dengan sedikit aksen kuno di sekitar pintu dan jendela. Sebuah rumah minimalis begitu tampak indah ku pandang. Tak besar, pas untuk keluarga kami yang hanya empat orang (tambah mbak Ajeng, ya satu). Jika di lihat, villa kami terletak lumayan jauh dari pemukiman warga sekitar. Tapi jangan salah, villa kami sudah sangat di kenal orang di sekitar sini. Karena ayah sering memberikan bantuan untuk para warga yang sering menjaga villa kami jika ayah tidak ada.
Villa ini sebenarnya milik ayah. Ayah membelinya saat akan menikahi bunda. Tepatnya satu bulan sebelum pernikahan mereka. Dulu, ayah sering menggunakannya untuk melakukan pekerjaannya sebagai editor buku di sebuah penerbit di Jogja yang sekarang telah pindah ke kota kami, Semarang. Ayah memilih villa ini karena suasananya yang begitu tenang dan memiliki pemandangan yang begitu sedap dipandang, sehingga bisa membuat ayah nyaman mengerjakan pekerjaannya yang membutuhkan ketenangan. Selain menjadi tempat kerja ayah, di sini pula begitu menyimpan banyak kenangan. Salah satunya, adalah villa ini tempat ayah melamar bunda untuk menjadi pendamping hidupnya.
“Oh, so sweet..” kata bang Erde mendengar cerita ayah setelah memasukkan barang-barang bawaan kami masuk.
“Bagus, kan. Kalian senang tidak di sini?”
“Oh, senang sekali, ayah. Ayah tahu tempat-tempat yang bagus di sekitar sini tidak?” tanyaku bersemangat.
“Tentu, ayah akan tunjukkan kekalian tempat-tempat yang bagus di sekitar sini. Tapi besok, ya”
“Ya.. ayah. Kok besok sih? Sekarang, yah!!” aku peluk ayahku erat-erat. Dengan pasang mimik wajah memelas khas para pemain di film-film, ku rayu ayah.
“Ayolah, yah”
Dan ternyata, jurusku tak mempan. Ayah tetap bersihkeras untuk berjalan-jalan besok. Oke, aku tunggu.
***
Malam pertama di villa, kami lewati dengan penuh suka cita. Jika di Semarang aku dan bang Erde selalu bertengkar, dan ada saja masalah yang membuat kami jadi rebut. Tapi tidak di sini. Entah apa masalahnya, kami menjadi lebih karab tinggal di villa ini. Bang Erde tidak mencari masalah-masalah yang bias memancing peperangan kami.
Di ruang tamu kami bermain monopoli bersama. Kalau urusan permainan, aku jagonya. Kecil-kecil begini, otak bisnisku sudah bekerja dengan baik. Tabunganku di rumah maupun di bank sudah seperti tabungan para karyawan kantoran.
“Bangkrut kamu, bang” ejekku melihat uang mainan bang Erde yang makin menipis.
“Aduh, salah strategi, nih” pikirnya denagn menggaruk kepala.
Dari arah taman belakang, ayah dan bunda sedang membicarakan sesuatu yang belum saatnya aku maupun bang Erde mengetahuinya.
“Aku ngak bisa mengatakan itu pada mereka, mas. Aku ngak bisa”
“Aku mohon, dengarkan aku. Mereka sudah besar, cepat atau lambat mereka akan tahu” kata ayah coba menenangkan bunda yang mulai menitikkan air matanya.
“Tapi, mereka begitu sayang dengan kita. Kita orang tua mereka. Apalagi Imel,dia tidak akan bisa tidur nyenyak jika tidak aku bacakan cerita sebelum dia tertidur.”
“Percayalah, Imel sudah besar. Tidak mungkin dia akan seperti itu sampai dewasa. Kita akan cari cara untuk mengatakan itu. Suatu saat nanti, entah kapan, cepat atau lambat, mereka akan tahu”
Bunda menagis dalam pelukan ayah. Dan aku percaya, bang Erde percaya. Kami akan tahu sebab musabab bunda kami menangis. Walaupun kami tahu, suatu saat nanti, kami tak akan pernah mau itu terjadi. 

Bersambung...

No comments:

Post a Comment