Assalamualaikum.. welcome to my blog, guys..!! ^_^

Adsense

Wednesday, August 01, 2012

Cerber: Kepada Mata Itu, Bag. 1


Mimpi apa aku semalam, ban sepeda bocor tepat di jalan yang super duper rame ini. Selama aku jalani hobby goes ku yang baru dua bulan rutin aku jalani, baru kali ini ban sepedaku tiba-tiba minta pension.
“Ngomonglah, kalo kamu udah capek. Kan aku bisa ganti kamu sama ban yang baru,” gilanya aku memaki ban yang jelas-jelas benda mati. Ya, mungkin ini efek dari ke-labilan pikirannku akibat ban standart depan sepedaku yang udah almarhum ini.
“Di sana ada tambal ban, mas..”

Suara seorang wanita tiba-tiba mengagetkanku. Sebuah tongkat metal berkilau ku lihat senantiasa menyatu dengan tangan kanannya. Dari ujung kaki sampai ujung kepala aku lihat ia lekat-lekat, tidak ada refleks yang siknifikan. Biasa saja, tapi satu hal yang membuatku bingung. Ia bicara kepadaku, tapi sikapnya tidak selayaknya menunjukkan orang yang sedang mengajak berbicara. Ia tidak memandangku. Aku jelas melihat matanya mengarah ke sebelah kiriku yang ternyata ada penjual es cendol dengan gerobak khas warna hijau.
“Ni cewek lagi pengen banget es cendol, ya?” kataku dalam hati. Kembali kuperhatikan ia. Astaga… ia buta.
“Mas.. mas.. dengar saya ngomong ngak, sih?” panggilnya sambil memukul-mukulkan tongkatnya.
“A… iya iya, kok tahu ban sepeda saya bocor, mbak? mata mbak kan..,” tak kuasa aku mengatakannya, “saya buta? emang saya buta, mas. Tapi ingat, Tuhan itu maha adil, mas. Walaupun mata saya ngak berfungsi, tapi telinga saya peka sekali. Saya sebenarnya sudah dengar ban sepeda mas sudah kempis saat mas beli siomay di perempatan sana,” sambil tongkatnya di arahkan ke arah yang ia maksud.
“E.. mbak salah denger mungkin?,” aku sedikit ragu.
“Ngak, mas. Suara ban bocor yang saya dengar tadi sama seperti suara ban milik mas itu. Tuh… masih kedengaran desisannya. Aduh, si mas ini, masak baru beberapa menit saja sudah lupa habis makan siomay? iya, kan?”
Aku hanya menganggukkan kepala tanda membenarkan perkataannya itu, tapi ia malah mendekatkan telinganya ke arahku. Kembali lagi, aku lupa bahwa ia buta.
“Ya, sih,” ujarku.
“Nah, iya kan. Ngak salah lagi. Kalau  begitu saya antar mask e tempat tambal ban dekat sini. Kalau menurut pendengaran saya, mas bukan orang sini. Takutnya situ nyasar lagi.”
Bahkan asalku saja ia tahu. Tapi kalau ini aku masih memakluminya, mungkin ia mendengar logat khas bicaraku. Ia kemudian mengajakku menuju sebuah gang kecil di dekat tempat kami bertemu. Pantas saja, jika aku tak bersamanya, pasti aku tak akan pernah bisa pulang. Jalannya begitu rumit. Lokasinya yang berbeda di dalam gang makin membuatku pusing.
Setelah sampai di tempat tambal ban, aku serahkan sepedaku yang telah kehilangan nafasnya. Sambil mununggu tindakan pembedahan dari tukang tambal ban, kamipun duduk sambil bertukar cerita.
Aku bercerita tentang kepindahanku dari kota bersama orang tuaku yang harus aku ikuti karena konsekuensi pekerjaan orang tuaku. panjang lebar ku ceritakan padanya. Hingga akhirnya, ia pun menceritakan tentang dirinya.
Namanya cinta. Ia sudah buta sejak ia lahir. Ibunya meninggal tak lama setelah ia lahir.
“Seumur hidupku aku belum pernah melihat dunia tempatku hidup. Kata orang, dunia ini indah, ya?”
“Iya, indah sekali,” jawabku sedikit ragu.
“Alah… bohong,” aku terperanjat mendengar sanggahannya.
Bagaimana ia bisa tahu, sedangkan ia belum pernah sama sekali melihat apa yang sedang terjadi.
“Orang-orang bilang dunia ini indah, tapi apa? banyak isu-isu buruk yang telah terjadi di muka bumi ini. Mungkin yang aku lihat hanya gelap. Dan hanya satu warna yang aku tahu. Tapi aku bisa merasakannya, Nif. Udara yang aku rasakan semakin tak karuan, panas.. dingin. Ah.. apa itu. Apalagi tingkah manusia-manusia yang semakin tak tahu adat..”
Ia makin bicara panjang lebar, ia menjelaskan semua yang sedang terjadi dikalangan petinggi negeri ini, bahkan ia tahu apa yang sedang menjadi headline news di kalangan para remaja.
“Tapi satu yang perlu kamu ketahui Hanif,”
“Apa?,” tanyaku makin penasaran.
“Aku masih mencari-cari apa itu cinta,”
Aku pandang wajah lembutnya. aku tidak peduli apakah ia memnadangkau atau tidak. Rasa bahagia tiba-tiba singgah di dalam diriku.
“Aku mendengar bahwa sekian banyak cinta itu datang berawal dari mata. Berawal dari mata, Nif. Mata itu kunci datangnya cinta. Mata mengisyaratkan lekuk indah tubuh cinta. Mata memancarkan cahaya ketulusan cinta yang abadi. Tapi mungkin itu tidak berlaku untukku,” ujarnya sedih.
Otot-otot wajahnya mengendur, Cinta tampak sedih. Untuk menghiburnya, aku katakana padanya.
“Bukan hanya mata, tidakkah kamu menyadari ada empat indra lain pada tubuhmu. Kamu bisa merasakan kehadiran cinta dengan tanganmu, kamu bisa mencium harumnya bunga-bunga cinta dengan hidungmu, kamu bisa merasakan manisnya madu cinta dengan lidahmu, bahkan dengan telingamu kamu biasa mendengar kata-kata cinta yang akan terucap dari seseorang yang mencintaimu tulus, apa adanya..”
Cinta hanya diam mendengarkan aku berbicara. Aku ingin ia bisa sadar, tidak akan ada yang hancur jika salah satu dariya tidak seperti yang ia harapkan Cintapun tersenyum.
“Kamu benar, Hanif. Terima kasih kamu sudah membuka mata hatiku. Aku berharap, suatu saat nanti aku bisa melihat wajahmu secara langsung,” katanya dengan nada bergetar.
“Semoga..”
Bersambung…

No comments:

Post a Comment