Mimpi apa aku semalam, ban sepeda
bocor tepat di jalan yang super duper rame ini. Selama aku jalani hobby goes ku yang baru dua bulan rutin
aku jalani, baru kali ini ban sepedaku tiba-tiba minta pension.
“Ngomonglah, kalo kamu udah
capek. Kan aku bisa ganti kamu sama ban yang baru,” gilanya aku memaki ban yang
jelas-jelas benda mati. Ya, mungkin ini efek dari ke-labilan pikirannku akibat
ban standart depan sepedaku yang udah almarhum ini.
“Di sana ada tambal ban, mas..”
Suara seorang wanita tiba-tiba
mengagetkanku. Sebuah tongkat metal berkilau ku lihat senantiasa menyatu dengan
tangan kanannya. Dari ujung kaki sampai ujung kepala aku lihat ia lekat-lekat,
tidak ada refleks yang siknifikan. Biasa saja, tapi satu hal yang membuatku
bingung. Ia bicara kepadaku, tapi sikapnya tidak selayaknya menunjukkan orang
yang sedang mengajak berbicara. Ia tidak memandangku. Aku jelas melihat matanya
mengarah ke sebelah kiriku yang ternyata ada penjual es cendol dengan gerobak
khas warna hijau.
“Ni cewek lagi pengen banget es
cendol, ya?” kataku dalam hati. Kembali kuperhatikan ia. Astaga… ia buta.
“Mas.. mas.. dengar saya ngomong
ngak, sih?” panggilnya sambil memukul-mukulkan tongkatnya.
“A… iya iya, kok tahu ban sepeda
saya bocor, mbak? mata mbak kan..,” tak kuasa aku mengatakannya, “saya buta?
emang saya buta, mas. Tapi ingat, Tuhan itu maha adil, mas. Walaupun mata saya
ngak berfungsi, tapi telinga saya peka sekali. Saya sebenarnya sudah dengar ban
sepeda mas sudah kempis saat mas beli siomay di perempatan sana,” sambil
tongkatnya di arahkan ke arah yang ia maksud.
“E.. mbak salah denger mungkin?,”
aku sedikit ragu.
“Ngak, mas. Suara ban bocor yang
saya dengar tadi sama seperti suara ban milik mas itu. Tuh… masih kedengaran
desisannya. Aduh, si mas ini, masak baru beberapa menit saja sudah lupa habis
makan siomay? iya, kan?”
Aku hanya menganggukkan kepala
tanda membenarkan perkataannya itu, tapi ia malah mendekatkan telinganya ke
arahku. Kembali lagi, aku lupa bahwa ia buta.
“Ya, sih,” ujarku.
“Nah, iya kan. Ngak salah lagi.
Kalau begitu saya antar mask e tempat
tambal ban dekat sini. Kalau menurut pendengaran saya, mas bukan orang sini.
Takutnya situ nyasar lagi.”
Bahkan asalku saja ia tahu. Tapi
kalau ini aku masih memakluminya, mungkin ia mendengar logat khas bicaraku. Ia
kemudian mengajakku menuju sebuah gang kecil di dekat tempat kami bertemu.
Pantas saja, jika aku tak bersamanya, pasti aku tak akan pernah bisa pulang.
Jalannya begitu rumit. Lokasinya yang berbeda di dalam gang makin membuatku
pusing.
Setelah sampai di tempat tambal
ban, aku serahkan sepedaku yang telah kehilangan nafasnya. Sambil mununggu
tindakan pembedahan dari tukang tambal ban, kamipun duduk sambil bertukar
cerita.
Aku bercerita tentang
kepindahanku dari kota bersama orang tuaku yang harus aku ikuti karena
konsekuensi pekerjaan orang tuaku. panjang lebar ku ceritakan padanya. Hingga
akhirnya, ia pun menceritakan tentang dirinya.
Namanya cinta. Ia sudah buta
sejak ia lahir. Ibunya meninggal tak lama setelah ia lahir.
“Seumur hidupku aku belum pernah
melihat dunia tempatku hidup. Kata orang, dunia ini indah, ya?”
“Iya, indah sekali,” jawabku
sedikit ragu.
“Alah… bohong,” aku terperanjat
mendengar sanggahannya.
Bagaimana ia bisa tahu, sedangkan
ia belum pernah sama sekali melihat apa yang sedang terjadi.
“Orang-orang bilang dunia ini
indah, tapi apa? banyak isu-isu buruk yang telah terjadi di muka bumi ini.
Mungkin yang aku lihat hanya gelap. Dan hanya satu warna yang aku tahu. Tapi
aku bisa merasakannya, Nif. Udara yang aku rasakan semakin tak karuan, panas..
dingin. Ah.. apa itu. Apalagi tingkah manusia-manusia yang semakin tak tahu
adat..”
Ia makin bicara panjang lebar, ia
menjelaskan semua yang sedang terjadi dikalangan petinggi negeri ini, bahkan ia
tahu apa yang sedang menjadi headline news di kalangan para remaja.
“Tapi satu yang perlu kamu
ketahui Hanif,”
“Apa?,” tanyaku makin penasaran.
“Aku masih mencari-cari apa itu
cinta,”
Aku pandang wajah lembutnya. aku
tidak peduli apakah ia memnadangkau atau tidak. Rasa bahagia tiba-tiba singgah
di dalam diriku.
“Aku mendengar bahwa sekian
banyak cinta itu datang berawal dari mata. Berawal dari mata, Nif. Mata itu
kunci datangnya cinta. Mata mengisyaratkan lekuk indah tubuh cinta. Mata
memancarkan cahaya ketulusan cinta yang abadi. Tapi mungkin itu tidak berlaku
untukku,” ujarnya sedih.
Otot-otot wajahnya mengendur,
Cinta tampak sedih. Untuk menghiburnya, aku katakana padanya.
“Bukan hanya mata, tidakkah kamu
menyadari ada empat indra lain pada tubuhmu. Kamu bisa merasakan kehadiran
cinta dengan tanganmu, kamu bisa mencium harumnya bunga-bunga cinta dengan
hidungmu, kamu bisa merasakan manisnya madu cinta dengan lidahmu, bahkan dengan
telingamu kamu biasa mendengar kata-kata cinta yang akan terucap dari seseorang
yang mencintaimu tulus, apa adanya..”
Cinta hanya diam mendengarkan aku
berbicara. Aku ingin ia bisa sadar, tidak akan ada yang hancur jika salah satu
dariya tidak seperti yang ia harapkan Cintapun tersenyum.
“Kamu benar, Hanif. Terima kasih
kamu sudah membuka mata hatiku. Aku berharap, suatu saat nanti aku bisa melihat
wajahmu secara langsung,” katanya dengan nada bergetar.
“Semoga..”
Bersambung…
No comments:
Post a Comment