Setelah sepedaku kembali baik, aku segera bangkit dari
tempat dudukku. Aku keluarkan selembar uang lima ribu rupiah dan aku serahkan
ke penyelamat ban sepedaku itu.
“Ambil saja kembaliannya, pak”
Kutuntun sepedaku sampai keluar menuju mulut gang, bersama
Cinta aku berjalan bersamanya dan percakapan kembali terjadi di antara kami.
“Sekali lagi terima kasih Cinta, kalau tidak ada kamu wah…
entah apa yang terjadi sama aku,” kataku.
“Ya sama-sama, Hanif. Semoga kita bisa berjumpa lagi. Dan
jangan lupa, panggil aku, ya. Aku kan tidak tahu wajah kamu. Hanya suara kamu
saja aku sudah hafal. Oke..”
Sambil aku cubit pipi kanannya yang tembam, aku jawab,
“iya….”
Cinta tertawa, mungkin ia geli dengan sikapku kepdanya.
Setelah berpamitan, aku naiki sepedaku dan kukayuh meninggalkannya. Tak terasa,
tanganku melambai ke arahnya berdiri. Aku makin tak percaya, selain
pendengarannya yang begitu tajam, instingnya pun cukup peka. Seperti layaknya
orang normal, Cinta membalas lambaian tanganku. Tangan kanannya yang tidak
membawa tongkat melambai ke arahku berlalu.
Di sepanjang perjalanan, di dalam otaku hanya ada Cinta. Aku
begitu salut kepadanya, ia bisa lebih tahu banyak tentang kehidupan daripada
aku. Aku tidak bisa membayangkan, jika apa yang dialami Cinta terjadi pula
kepadaku. Aku yang emnderita minus pada mata baru beberapa tahun saja sudah
sering tersiksa dengan penglihatan. Tapi Cinta tidak. Cinta bahkan tidak bisa
melihat apapun. Sekali lagi, apapun, seumur hidupnya.
Sesampainya di rumah, aku langsung duduk dan menghadap
kanvas. Ku torehkan warna-warna indah di kanvasku. Aku lukis seseorang
perempuan cantik dengan tongkat di tangan yang duduk bersama seorang pria
dengan sepeda tergeletak di depan mereka.
“Suatu saat nanti, kamu akan melihat bagaimana awal
pertemuan kita..”
Mungkin benar, cinta berawal dari mata. Dan aku sudah
merasakannya. Tapi ini berbeda, aku memang sedang jatuh cinta. Cinta kepada
mata itu. Jatuh cinta kepada Cinta.
Bersambug…
No comments:
Post a Comment