Setiap pagi aku selalu bersepeda
di kawasan itu, tempat pertama kalinya aku berjumpa dengan Cinta. Tapi,
berkali-kali aku melewati jalan itu, tidak ku temukan keberadaan Cinta di sana.
hari demi hari terus aku lalui
denagn pencarian Cintaku,
aku hanya ingin mengatakan padanya bahwa aku telah
jatuh cinta padanya. Aku terus menyusuri setiap jalan itu. berkali-kali aku
mengelilingi daerah itu, tapi tetap tidak kutemukan Cinta. Aku hampir putus
asa, ku cari cara lain.
“Ah.. apa aku Tanya saja dengan
tukang tambal ban yang dulu menambal ban sepedaku. Kelihatannya ia cukup akrab
dengan Cinta. Pasti bapak itu tahu”
Segera aku datangi tempat tambal
ban itu. Aku bertemu langsung dengan bapak-bapak yang pernah membantuku.
“Cinta? oh.. mbak Cinta. Katnaya
sih mau ke luar negeri, katanya mau operasi. Udah dapat cangkok matanya. Hari
ini berangkatnya,” jawabnya.
“Wah, jam berapa berangkatnya,
pak?”
“Saya tidak tahu tepatnya, mas
datanga saja ke rumahnya”
Aku bingung karena aku tidak tahu
di mana rumahnya. Bertemupun di jalan, tidak sengaja lagi. Dengan senang hati,
bapak itu memberikan alamat Cinta kepadaku. Setelah mengucapkan terima kasih,
ku kayuh sepedaku menuju rumah Cinta.
Dari jarak lima meter, sudah
terlihat rumah Cinta di seberang jalan. Ternyata Cinta sudah akan berangkat.
Aku melihat cinta memakai baju merah muda dengan cardigan putih serta rok warna
senada dengan bajunya tampak anggun aku pandang. Saat aku mulai mengajar, mobil
yang membawa Cinta sudah berlalu lebih cepat dari pada aku. Aku sempat berheti
di tengah jalan saat akan menyusul cinta, itu adalah kala terakhirku melihat
Cinta sebelum semuanya menjadi gelap.
………..
Dua bulan telah berlalu setelah
pertemuan terakhirku ketika melihat Cinta pergi untuk operasi matanya. Sudah
begitu lama. Masih kupandang lukisan yang sempat kubuat untuknya.
Bagaimana keadaannya sekarang?
sudah bisakah ia melihat? pertanyaan itu sering sekali hadir dalam pikiranku.
Tapi dengan keadaanku sekarang? Bisakah aku menemuinya lagi?
Setelah sebuah truk menabrakku
disaat aku ingin mengatakan perasaanku kepada Cinta mulai memupuskan harapanku.
Aku memang masih bisa mengayuh
sepeda untuk datang ke rumahnya. Akupun masih bisa memandang wajah cantiknya
ketika aku bertemu dengannya kelak. Aku juga masih sanggup mendengar ocehannya
tentang keadaan yang terjadi saat ini. Serta aku masih bisa mencium wanginya
parfum yang ia pakai dulu saat aku baru bertemu dengannya.
Tapi tidak untuk suaraku.
Kecelakaan itu telah memutuskan
pita suaraku. Mengapa? mengapa harus suaraku? suaraku ini yang sangat penting
untuk Cinta mengenaliku.
Aku sempat tidak menerima dengan
kedaannku ini. Tapi, kembali aku teringat perjuangan Cinta. Kenapa harus aku
berputus asa saat suaraku harus hilang. Toh aku masih punya yang lain. Mengapa
aku harus menangis jika dulu aku sempat menasehati Cinta untuk selalu
bersyukur. Dengan tekat yang masih kuat, aku bawa lukisanku. Aku ambil sepedaku
baruku, karena sepeda lamaku telah hancur bersamaan dengan hancurnya suaraku.
Dengan membawa lukisan itu aku pergi menuju tempat saat aku pertama bertemu
dengan Cinta.
Di sana, aku sempat sangat lelah.
Tenagaku tak sekuat dulu. Saat ini aku hanya kuat bersepeda beberapa km saja.
Tidak seperti dulu sebelum kecelakaan itu terjadi.
Ketika aku mulai akan
beristirahat di bawah sebuah pohon rindang, seorang wanita tengah berlari ketakutan
ke arahku dan memelukku dengan erat.
“Tolong… tolong saya, ada anjing
yang lepas di sana,”
Oh.. astaga, suara itu.
Rasaya, ia sungkan telah
memelukku tiba-tiba. Dengan perlahan dilepaskan dilepasnya tangan itu dari
tubuhku. Aku sebenarnya masih ingin merasakannya, tapi ia terburu melepas
pelukannya.
Cinta.. itu kau.
“Maaf, saya terlalu takut tadi”
Cinta.. ini aku, Hanif. Tapi..
aku tidak bisa mengatakannya. Kenapa suaraku tidak bisa keluar? Oh.. Tuhan
turunkan keajaibanmu. Tetapi.. tetap tidak bisa. Aku hanya tersenyum
melihatnya. Cinta sudah bisa melihat, aku hanya bisa bersyukur melihatnya
bahagia. Aku cubit pipinya seperti dulu pernah ku lakukan padanya. Responnya
sama, ia seperti menahan geli. Tanpa pikir panjang, ku ambil lukisanku dan kuberikan
padanya.
“Untukku?” tanyanya.
Aku mengangguk. Saat ia mulai
memahami makna lukisanku, aku pergi dengan sepedaku dan meninggalkannya.
Sebenarnya, aku tahu Cinta sempat memanggilku, tapi jarakku dengannya sudah
cukup jauh. Biarlah.
Aku merasa sudah cukup melihatnya
bahagia kembali. Cukup dengan tatapan matanya saja, aku telah jatuh cinta
kepadanya.
(cerita ini pernah dimuat di
majalah sekolah “Solid” dalam bentuk singkatnya)
No comments:
Post a Comment