Assalamualaikum.. welcome to my blog, guys..!! ^_^

Adsense

Wednesday, August 01, 2012

Cerber: Kepada Mata Itu, Bag. 3


 Setiap pagi aku selalu bersepeda di kawasan itu, tempat pertama kalinya aku berjumpa dengan Cinta. Tapi, berkali-kali aku melewati jalan itu, tidak ku temukan keberadaan Cinta di sana.
hari demi hari terus aku lalui denagn pencarian Cintaku,
aku hanya ingin mengatakan padanya bahwa aku telah jatuh cinta padanya. Aku terus menyusuri setiap jalan itu. berkali-kali aku mengelilingi daerah itu, tapi tetap tidak kutemukan Cinta. Aku hampir putus asa, ku cari cara lain.
“Ah.. apa aku Tanya saja dengan tukang tambal ban yang dulu menambal ban sepedaku. Kelihatannya ia cukup akrab dengan Cinta. Pasti bapak itu tahu”
Segera aku datangi tempat tambal ban itu. Aku bertemu langsung dengan bapak-bapak yang pernah membantuku.
“Cinta? oh.. mbak Cinta. Katnaya sih mau ke luar negeri, katanya mau operasi. Udah dapat cangkok matanya. Hari ini berangkatnya,” jawabnya.
“Wah, jam berapa berangkatnya, pak?”
“Saya tidak tahu tepatnya, mas datanga saja ke rumahnya”
Aku bingung karena aku tidak tahu di mana rumahnya. Bertemupun di jalan, tidak sengaja lagi. Dengan senang hati, bapak itu memberikan alamat Cinta kepadaku. Setelah mengucapkan terima kasih, ku kayuh sepedaku menuju rumah Cinta.
Dari jarak lima meter, sudah terlihat rumah Cinta di seberang jalan. Ternyata Cinta sudah akan berangkat. Aku melihat cinta memakai baju merah muda dengan cardigan putih serta rok warna senada dengan bajunya tampak anggun aku pandang. Saat aku mulai mengajar, mobil yang membawa Cinta sudah berlalu lebih cepat dari pada aku. Aku sempat berheti di tengah jalan saat akan menyusul cinta, itu adalah kala terakhirku melihat Cinta sebelum semuanya menjadi gelap.
………..
Dua bulan telah berlalu setelah pertemuan terakhirku ketika melihat Cinta pergi untuk operasi matanya. Sudah begitu lama. Masih kupandang lukisan yang sempat kubuat untuknya.
Bagaimana keadaannya sekarang? sudah bisakah ia melihat? pertanyaan itu sering sekali hadir dalam pikiranku. Tapi dengan keadaanku sekarang? Bisakah aku menemuinya lagi?
Setelah sebuah truk menabrakku disaat aku ingin mengatakan perasaanku kepada Cinta mulai memupuskan harapanku.
Aku memang masih bisa mengayuh sepeda untuk datang ke rumahnya. Akupun masih bisa memandang wajah cantiknya ketika aku bertemu dengannya kelak. Aku juga masih sanggup mendengar ocehannya tentang keadaan yang terjadi saat ini. Serta aku masih bisa mencium wanginya parfum yang ia pakai dulu saat aku baru bertemu dengannya.
Tapi tidak untuk suaraku.
Kecelakaan itu telah memutuskan pita suaraku. Mengapa? mengapa harus suaraku? suaraku ini yang sangat penting untuk Cinta mengenaliku.
Aku sempat tidak menerima dengan kedaannku ini. Tapi, kembali aku teringat perjuangan Cinta. Kenapa harus aku berputus asa saat suaraku harus hilang. Toh aku masih punya yang lain. Mengapa aku harus menangis jika dulu aku sempat menasehati Cinta untuk selalu bersyukur. Dengan tekat yang masih kuat, aku bawa lukisanku. Aku ambil sepedaku baruku, karena sepeda lamaku telah hancur bersamaan dengan hancurnya suaraku. Dengan membawa lukisan itu aku pergi menuju tempat saat aku pertama bertemu dengan Cinta.
Di sana, aku sempat sangat lelah. Tenagaku tak sekuat dulu. Saat ini aku hanya kuat bersepeda beberapa km saja. Tidak seperti dulu sebelum kecelakaan itu terjadi.
Ketika aku mulai akan beristirahat di bawah sebuah pohon rindang, seorang wanita tengah berlari ketakutan ke arahku dan memelukku dengan erat.
“Tolong… tolong saya, ada anjing yang lepas di sana,”
Oh.. astaga, suara itu.
Rasaya, ia sungkan telah memelukku tiba-tiba. Dengan perlahan dilepaskan dilepasnya tangan itu dari tubuhku. Aku sebenarnya masih ingin merasakannya, tapi ia terburu melepas pelukannya.
Cinta.. itu kau.
“Maaf, saya terlalu takut tadi”
Cinta.. ini aku, Hanif. Tapi.. aku tidak bisa mengatakannya. Kenapa suaraku tidak bisa keluar? Oh.. Tuhan turunkan keajaibanmu. Tetapi.. tetap tidak bisa. Aku hanya tersenyum melihatnya. Cinta sudah bisa melihat, aku hanya bisa bersyukur melihatnya bahagia. Aku cubit pipinya seperti dulu pernah ku lakukan padanya. Responnya sama, ia seperti menahan geli. Tanpa pikir panjang, ku ambil lukisanku dan kuberikan padanya.
“Untukku?” tanyanya.
Aku mengangguk. Saat ia mulai memahami makna lukisanku, aku pergi dengan sepedaku dan meninggalkannya. Sebenarnya, aku tahu Cinta sempat memanggilku, tapi jarakku dengannya sudah cukup jauh. Biarlah.
Aku merasa sudah cukup melihatnya bahagia kembali. Cukup dengan tatapan matanya saja, aku telah jatuh cinta kepadanya.

(cerita ini pernah dimuat di majalah sekolah “Solid” dalam bentuk singkatnya)

No comments:

Post a Comment