Sumber: Google.com |
Ayahnya
bernama K.P.H. Suryaningrat dan ibu bernama Raden Ayu Sandiyah, yang diurutkan
dalam silsilah keturunan masih buyut dari seorang keturunan Sunan Kalijaga,
Nyai Ageng Serang.
Suwardi,
panggilan akrab semasa kecilnya, memulai pendidikannya berbasis agama di sebuah
pesantren asuhan K.H. Abdurrahman yaitu Pesantren Kalasan. Julukan khas dari
sang kyai “Jemblung Trunogati” atau seorang anak berperawakan kecil dengan
perut buncit namun memiliki pengetahuan yang luas.
Pada
masa pemerintahan kolonial Belanda, sebuah sekolah dasar terjuluk ELS (
Europeesche Lagere School) menjadi tempat Suwardi menempuh pendidikan dasar.
Sejak tahun 1903, sekolah ini dibuka untuk orang-orang pribumi yang terbilang
terpandang, mampu secara finansial dan warga Tionghoa. Karena sebelumnya hanya
diperuntukkan kepada orang-orang warga Belanda. Seiring berjalannya waktu,
pihak Belanda merasa ada dampak negativ dari masuknya orang pribumi, sehingga
ELS kembali dikhususkan bagi warga Belanda saja. Namun ditahun 1907, sekolah
khusus bagi pribumi dibuka.
Tamat
dari ELS, Suwardi melanjutkan pendidikannya ke sekolah guru Belanda
(Kweekschool). Setahun kemudian ia berpindah ke STOVIA (Sekolah Dokter
Bumiputera) berkat bantuan sang kakak, Surjopranoto dengan menerima beasiswa
berkat kecakapannya berbahasa Belanda dan kecerdasan yang luar biasa. Walaupun
secara finansial ia masih mampu bersekolah di STOVIA berkat warisan dari Sri
Paku Alam V.
Suwardi
hanya bersekolah di STOVIA selama lima tahun. Bukan karena lulus, namun
dikarenakan ia tidak naik kelas karena sakit selama empat bulan sehingga
beasiswanya dari STOVIA dicabut begitu saja. Banyak konflik mewarnai pencabutan
beasiswanya, mulai dari bebrbau politik hingga pemberontakan terhadap
pemerintahan kolonial Belanda.
Selepas
keluar dari STOVIA, Suwardi bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar
pada masa itu, semisal Sedyotomo, Midden
Java, De Express, Oetoesan Hindia, kaoem Moeda, Tjahaja Timur, dan Poesara.
Kemudian menerbitkan Koran sendiri Goentoer
Bergerak dan Hindia Bergerak.
Selain
aktif di dunia jurnalistik, Suwardi ikut bergerak juga dibidang organisasi
sosial-politik. Budi Utomolah tempatnya ikut berkiprah di seksi propaganda
untuk mensosialisasikan pentingnya persatuan dan kesatuan berbangsa dan
bernegara. Dilain pihak, 25 Desember 1912, Douwes Dekker (Dr. Danudirdja
Setyabudhi) dan Dr. Cipto Mangunkusumo diikuti pula oleh Suwardi mendirikan
partai politik pertama beraliran nasionalisme, Indische Partij. Karena
pemikiran ketiganya, dikenallah mereka dengan julukan “Tiga Serangkai”.
Namun
sayang, pendaftaran status badan hukum Indische Partij ditolak oleh Gubernur
Jendral Hindia-Belanda, Indenburg pada tanggal 11 Maret 1913. Tidak berhenti
disini saja, Suwardi ikut membentuk Komite Bumiputera di bulan November 1913
sebagai komite tanding kepada Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan
Belanda. Kritikannya yang begitu termasyur dimuat dalam surat kabar de Expres milik Douwes Dekker dalam
tulisan berjudul Als Ik Een Nederlander
Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor (Satu untuk Semua, tetapi Semua
untuk Satu Juga). Dan akibatnya, ia dikenakan hukuman internering (hukum buang)
ke Pulau Bangka.
Suwardi
mendapatkan pembelaan dari kedua sahabatnya, Douwes Dekker dan Dr. Cipto
Mangunkusumo dengan menerbitkan tulisan bernada pembelaan. Alhasil, keduanya
mendapat hukuman pula. Douwes Dekker dibuang di Kupang sedangkan Dr. Cipto
Mangunkusumo dibuang ke Pulau Banda. Namun, ketiganya menghendaki untuk dibuang
ke Negeri Belanda agar dapat belajar lebih banyak lagi.
Sebelum
menjalani pengasingannya Agustus tahun1913, Suwardi menikah dengan Raden Ayu
Sutartinah Sasraningrat yang merupakan sepupu Suwardi sendiri pada tahun 1907.
Dalam masa pembuangan, Di Belanda Suwardi menggunakan kesempatannya untuk
mendalami masalah pendidikan dan pengajaran hingga mendapat sertifikat sebagai
pendidik dan berhasil menjalani masa pembuangan dengan baik hingga memperoleh
Europeesche Akte. Untuk memenuhi kebutuhannya, istri dan kedua anaknya, Ni
Sutapi Asti dan Ki Subroto Haryomataram, Suwardi bekerja sebagai jurnalis guru
Taman Kanak-Kanak (Frobel School) di Belanda
Di
Belanda, Suwardi perlahan membuka satu persatu gagasannya dalam hal kemerdekaan
Indonesia melalui bidang pendidikan nasional. Teori-teori tentang kontinuitas,
konvergensi dan konsentrisme telah ia praktikan sejak menempuh pendidikan di
Belanda. Tahun 1919, bersama istri dan putrinya, Ni Asti, berhasil kembali ke
tanah air.
Tanggal
3 Juli 1922, bersama rekan-rekan seperjuangannya, Suwardi mendirikan perguruan
bercorak nasional, yaitu Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa. Konsep
pendidikannya memadukan pendidikan gaya Eropa yang modern dengan nuansa seni
Jawa tradisonal lumayan kental.
Walaupun
Suwardi kini berkecimpung di dunia pendidikan, ia lantas tidak serta-merta
melupakan kegiatannya dikancah perpolitikan. Sang istri sempat membuat Suwardi
ingin membatalkan niatnya untuk melanjutkan berpolitik dan tetap di dunia
pendidikan yang ia geluti hingga di negeri Belanda.
Menurut
hitungan Tahun Caka ketika usianya menginjak genap 40 tahun, namanya berganti
menjadi Ki Hajar Dewantara pada 23 Februari 1928. Nama Ki Hajar sendiri diambil
dari hasil berbagai diskusi yang ia ikuti. Perubahan namanya itu diikuti pula
perubahan sikapnya yang lebih kooperatif. Ia meninggalkan garis radikal seperti
semasa mudanya dan kembali melihat lagi warisan kebudayaan Jawa.
Ki
Hajar akhirnya mewakafkan seluruh perguruan Tamansiswa pada 7 Agustus 1930.
Dalam masa-masa mengurus Tamansiswa, Ki Hajar tetap rajin menulis. Tulisannya
kini lebih bernafaskan pendidikan dan kebudayaan berkebangsaan. Semuanya
berhasil menata dasar-dasar pendidikan nasional bangi bangsa Indonesia
kedepannya.
Gelar
Doctor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ia terima pada
tahun 1957. Berselang dua tahu kemudian, tepatnya 26 April 1959, Ki Hajar
Dewantara sampai pada ujung usianya. Saat pemakaman Ki Hajar, Panglima Tetorium
IB Letkol Soehartolah yang melepas pemakamannya hingga ke Kompleks Wijayabrata.
Untuk
mengingat jasa-jasanya, satu-persatu penganugrahan diberikan. Mulai dari
pengangkatan sebagai Ketua (Anumerta) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) untuk mengingat
jasa-jasanya di dunia jurnalistik. Ada pula Surat Keputusan Presiden RI No. 305
tanggal 28 November 1959 yang menetapkan Ki Hajar Dewantara menjadi Bapak
Pendidikan Nasional. serta hari kelahirnya, 2 Mei ditetepkan sebagai Hari
Pendidikan Nasional. Selanjutnya, 17 Agustus 1960 Ki Hajar dianugerahi kembali
Bintang Mahaputra I. Dan dilanjutkan 20 Mei 1961 pemberian tanda kehormatan
Satya Lancana Kemerdekaan. Dan tidak lupa, namanya kembali diabadikan sebagai
salah satu nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara dan potret
dirinya diabadikan pula pada uang kertas pecahan Rp 20.000.
Pada
masa Orde Baru, Tamansiswa dibubarkan Nyi Hajar. Nyi Hajar seorang yang
pemberani dengan pembelaan atas nama suami untuk Tamansiswa dengan melaksanakan
konsep Tut Wuri Handayani. Ketika
diangkat sebagai Pemimpin Umum Persatuan Tamansiswa, ia sigap membenahi dengan Ing Madya Mangun Karsa. Namun saat
dibutuhkan, prinsip Ing Ngarso Sung
Tuladha ia terapkan. Ia telah menyelamatkan dengan semangat perjuangan
meluruskan tujuan organisasi Tamansiswa.
*Ifah ambil dari resume tulisan Ifah untuk lomba resume implementasi budaya baca prov. Jatim thn. 2013. Bukunya sendiri berjudul Biografi Singkat Ki Hajar Dewantara 1889 - 1959 karya Suparto Rahardjo*
No comments:
Post a Comment