Masih saja ia pandangi tulisan di layar telepon genggamnya itu. Batinnya galau.
Ibu
masih ngotot berkurban, Mbak. Tapi uang sudah habis semua untuk beli obat Ibu. Begitulah
rangkaian kata yang dikirimkan Surya melalui pesan singkat tadi pagi. Terbayang
jelas wajah sang Ibu, dengan penampilannya yang lemah di atas kursi roda.
Sebelah anggota badannya layu karena strok sejak lima tahun yang lalu. Rasanya,
baru kemarin Suri mendapatkan pesan dengan topik yang sama dari Surya. Tentang
kurban.
Suri mengira, sikap Ibunya yang
selalu meminta hal-hal aneh itu hanyalah efek dari penyakit stroknya. Mungkin syaraf Ibu sedang terganggu lagi,
itu yang sering Suri katakan setiap membaca pesan Surya. Namun, kali ini
permintaan Ibu tidak berubah. Terhitung dari pesan yang ia terima sejak tiga
hari lalu. Inti pesan itu semua sama. Ibu ingin ikut berkurban tahun ini.
Tidak. Surya tidak mungkin
mengada-ada jika menyangkut tentang Ibu. Kembali benda mengkilat di tangannya
bergetar. Satu pesan baru. Ibu pingsan.
Cepat pulang, Mbak! Bayangan wanita tua sedang tergeletak tak berdaya
sekelebat menghantui pandangannya.
“Saya minta ijin waktu pulang
sekarang, Pak. Ibu saya sakit,” dalam deru suara seratus lebih mesin jahit yang
bekerja bersamaan, Suri meminta kesediaan sang manager konfeksi untuk
membolehkannya pulang lebih awal. Hanya dengan sekali anggukan, Suri akhirnya
bergegas berlari keluar dari pabrik. Langkahnya sedikit berat. Berat karena
memikirkan, bagaimana Ibu sekarang?
Benarkah yang ia minta itu? Berguraukah? Apa hanya sekedar halusinasi? Saat
itu yang Suri yakini.. Ibunya sedang membutuhkannya. Segera.
****
Rumah
mungil dari anyaman bambu itu tidak berubah sejak sang Ayah meninggal dunia
tujuh tahun silam. Alasannya klasik sekali, tidak ada yang mau merubah hasil
kerja keras Ayah. Sekalipun demi kenyamanan penghuninya. Kalau mau, robohkan
saja atau tidak sama sekali.
Pemuda empat belas tahun dengan
celana lima sentimeter di bawah lutut datang dari arah dapur sambil membawa
segelas air putih di tangannya. Itulah Surya, adik laki-laki Suri yang kini
menjadi babysitter Ibunya sendiri. Langkah
Surya pelan-pelan, berusaha untuk tidak mengeluarkan suara gesekan dari
sandalnya dengan ubin.
Kebiasaan
Surya menyeret kaki setiap berjalan, kini sudah mulai berkurang. Suri sering
memarahi Surya tiap kali ia menangkap basah adiknya itu berjalan seperti orang
tak punya daya. “Sendalmu itu murah. Dari karet. Ringannya bukan main. Angkat
kakimu itu, jangan macam orang tak punya cita-cita. Malu sama si Bandot. Tiap
jalan kakinya selalu diangkat,” ceramah Suri membandingkan adiknya dengan
kambing dagangan tetangga mereka yang paling besar. Bisa karena terbiasa. Itulah
Surya sekarang.
Sejak
Ibunya sudah tak lagi kuat berlama-lama duduk di kursi roda, Suri sering takut jika
tidak pulang sehari saja dalam satu minggu. Bagi Suri, batinya belum tenang
jika tidak melihat Ibunya dengan mata kepalanya sendiri. Walaupun setiap
tanggal pembagian gaji, ia tidak pernah lupa mengirim sebagian uang itu untuk
keperluan Ibu dan adiknya. Sudah kewajibannya sebagai tulang punggung keluarga.
Satu jam setengah perjalanan dari tempat kos
Suri hingga sampai ke rumah. Suri datang dengan tas ransel di punggung. Hanya
beberapa lembar baju yang ia bawa. Antisipasi jika ia harus menginap di rumah
untuk beberapa malam. “Ibu sudah siuman satu jam yang lalu, Mbak. Tapi sekarang
sudah tidur lagi,” kata Surya menyambut kedatagan Suri di teras rumah.
Mereka
berdua beriringan masuk. Melewati satu kamar kemudian belok ke kiri. Kamar Ibu.
Suri memperhatikan kamar Ibunya seksama. Ibu sedang duduk bersandar di kepala
ranjang. Kakinya diluruskan walaupun tetap terlihat bengkok. Di atas nakas kayu
samping ranjang Ibu berjajar beberapa botol obat dan plastik klip dengan
butir-butir kapsul di dalamnya. Sebegitu menderitakah Ibunya kini? Segera ia
tahan sebisanya untuk tidak menangis.
Syarafnya
memang sudah tidak berfungsi normal seperti dulu. Tapi, instingnya dalam
merasakan kehadiran seseorang di dekatnya masih sangatlah kuat, apalagi.. anaknya
sendiri.
“Ri,
tolong Ibu, ya. Ibu ingin cari angin di teras,” tanpa menunggu jawaban dari
Suri, Ibunya sudah berancang-ancang mengangkat sendiri kedua kakinya.
Tergopoh-gopoh Suri mendekat, memapah Ibunya turun ranjang dan mendudukannya di
kursi roda.
Matahari
sudah mulai turun. Sebentar lagi akan menghilang dari pandangan orang-orang
negeri timur. Hanya tinggal menghitung menit saja, akan ada suara-suara
bersautan meminta kaum muslim segera menggelar sajadahnya.
“Ya,
ambilkan kotak yang Ibu taruh di bawah ranjang Ibu, Nak,” Surya segera masuk ke
kamar Ibunya, kemudian keluar sambil membawa sebuah kotak kayu berlapis kain
seperti bekas tempat perhiasan. Surya tidak memberikannya kepada Ibu, tapi
langsung memberikannya kepada Suri. Seperti sudah direncanakan.
Suri
binggung dengan kotak yang kini di tangannya. Isyarat mata Ibu meminta Suri
untuk membuka kotak itu. Sepersekian menit kemudian, Suri tercengang menatap
isi dalam kotak itu. Uang.
“Untuk
apa, Bu? Ini uang siapa?” kata Suri meminta klarifikasi.
“Itu
uang Ibu, lah. Kamu sendiri yang kasih setiap bulan, kan? Lupa?” kata Ibu
tampak seperti orang yang sehat bugar. Suri merendahkan posisinya dengan
berlutut di depan kursi roda Ibunya.
“Kurban,
Ri. Ibu ingin berkurban,”
“Jangan,
Bu. Masih banyak yang Ibu butuhkan. Uang ini Suri kirim lebih untuk kebutuhan
Ibu dan Surya sehari-hari. Selain untuk obat. Bukan untuk kurban,” ujar Suri
berusaha menolaknya.
Selama
ini, setelah digunakan untuk membeli obat, sisa uang yang dikirim Suri disimpan
Ibunya dalam kotak. Surya sudah tahu. Ibu berniat menyimpannya untuk mewujudkan
keinginannya berkurban tahun ini.
“Urusan
makan, Bude setiap hari mengantarkan makanan kemari, Mbak. Jadi, Surya
setuju-setuju saja Ibu menyimpannya untuk niatan kurban,” Surya ikut bersuara
membantu meyakinkan Suri perihal uang itu.
Selesai?
Belum. Ibu kembali menatap Suri yang kini sudah berurai air mata. Ibu benar-benar ingin berkurban tahun ini,
batinnya.
Ibu
menarik napas panjang sebelum bersuara, “Kamu masih suka angka sepuluh?” tanya
Ibu tiba-tiba. Suri sejenak diam dalam isakan tangisnya. Mengangguk
membenarkan. “Ada hal serba sepuluh yang Rasulullah pernah janjikan. Akan ada
10 kebaikan dari sehelai bulu hewan kurban. Penghapusan 10 keburukan serta kenaikan
10 derajat bagi mereka yang sedang berkurban,” ada selaput basah menebal di
area matanya.
“Suri..
walaupun rumah ini jauh dibandingkan gedung-gedung di kota, Ibu ingin punya
gedung sendiri di sana, Nak. Di surga. Ibu juga butuh kendaraan di sana. Ibu
sudah tidak butuh kursi roda ini lagi di surga nanti, Nak. Sudah tidak butuh,”
akhirnya pertahanan Ibu melemah. Air matanya sudah tidak lagi berkumpul.
Semunya tumpah. Pipinya basah.
“Sebelum
waktunya tiba, Ibu ingin mendapatkan sepuluh itu. Sepuluh bulat dari janji
Rasulullah.”
Ibu
menunjuk lurus ke depan. Suri mengikuti telunjuk Ibunya. Pandangannya nanar,
menatap sumber suara embikan yang sedari tadi ikut mengusik pendengarnnya.
Kini, Suri sudah paham dengan apa itu nilai 10. Dalam arti sebenarnya,
sesederhana apapun hidup, tetap harus berusaha dalam mencapai kesempurnaan
walaupun tidak mungkin. Dipeluknya tubuh ringkih sang Ibu. Berucap lirih di
telinganya, “nanti Suri serahkan uangnya ke Pak Burhan. Biar Bandot segera
dicatat dalam daftar hewan kurban. Atas nama.. Ibu,” seiring dengan suara adzan
Magrib berkumandang, Ibu pergi menjemput sepuluh haknya.. di Surga.[]
Cerita ini Ifah buat spesial menyambut hari raya Idul Adha 1434 H. Mengingatkan tentang bagaimana hikmah berkurban yang sebenarnya. Selamat Idul Adha, Semua..!! ^.^
Good Reading.
ReplyDeleteJika diizinkan tanpa kompensasi materi akan dimuat pada edisi cetak : www.facebook.com/kindohk . Buletin GRATIS untuk dibaca Mbak Mbak TKW di Hong Kong. dengan emncantumkan nama penulisnya @Si_ifah / Siti Nurchalifah. Terimakasih. (Mohon di jawab / Inbox di Fans page link di atas).
ReplyDeleteOw.. tidak apa-apa. Jika bermanfaat, silakan. Asalkan tidak lupa mencantumkan saya sebagai pemilik hak cipta cerpen ini. Terima kasih atas apresiasinya, Kakak :D
DeleteInsya Allah, sesuai rencana, besok , nama anda diikutkan sebagai peserta yang menentukan beasiswa. .. INSYA ALLAH ,.. semoga dapat. :) .
ReplyDeleteAmin alhamdulillah.. oh ya tapi bagaimana tiga nama yang harus saya rekomendasikan untuk beasiswa yang dahulu? akun facebook KINDO mengapa nonaktif ya? :)
Delete