Assalamualaikum.. welcome to my blog, guys..!! ^_^

Adsense

Sunday, October 13, 2013

Cerpen Spesial Idul Adha - Sepuluh


Masih saja ia pandangi tulisan di layar telepon genggamnya itu. Batinnya galau.
            Ibu masih ngotot berkurban, Mbak. Tapi uang sudah habis semua untuk beli obat Ibu. Begitulah rangkaian kata yang dikirimkan Surya melalui pesan singkat tadi pagi. Terbayang jelas wajah sang Ibu, dengan penampilannya yang lemah di atas kursi roda. Sebelah anggota badannya layu karena strok sejak lima tahun yang lalu. Rasanya, baru kemarin Suri mendapatkan pesan dengan topik yang sama dari Surya. Tentang kurban.
            Suri mengira, sikap Ibunya yang selalu meminta hal-hal aneh itu hanyalah efek dari penyakit stroknya. Mungkin syaraf Ibu sedang terganggu lagi, itu yang sering Suri katakan setiap membaca pesan Surya. Namun, kali ini permintaan Ibu tidak berubah. Terhitung dari pesan yang ia terima sejak tiga hari lalu. Inti pesan itu semua sama. Ibu ingin ikut berkurban tahun ini.
            Tidak. Surya tidak mungkin mengada-ada jika menyangkut tentang Ibu. Kembali benda mengkilat di tangannya bergetar. Satu pesan baru. Ibu pingsan. Cepat pulang, Mbak! Bayangan wanita tua sedang tergeletak tak berdaya sekelebat menghantui pandangannya.
            “Saya minta ijin waktu pulang sekarang, Pak. Ibu saya sakit,” dalam deru suara seratus lebih mesin jahit yang bekerja bersamaan, Suri meminta kesediaan sang manager konfeksi untuk membolehkannya pulang lebih awal. Hanya dengan sekali anggukan, Suri akhirnya bergegas berlari keluar dari pabrik. Langkahnya sedikit berat. Berat karena memikirkan, bagaimana Ibu sekarang? Benarkah yang ia minta itu? Berguraukah? Apa hanya sekedar halusinasi? Saat itu yang Suri yakini.. Ibunya sedang membutuhkannya. Segera.

****
Rumah mungil dari anyaman bambu itu tidak berubah sejak sang Ayah meninggal dunia tujuh tahun silam. Alasannya klasik sekali, tidak ada yang mau merubah hasil kerja keras Ayah. Sekalipun demi kenyamanan penghuninya. Kalau mau, robohkan saja atau tidak sama sekali.
            Pemuda empat belas tahun dengan celana lima sentimeter di bawah lutut datang dari arah dapur sambil membawa segelas air putih di tangannya. Itulah Surya, adik laki-laki Suri yang kini menjadi babysitter Ibunya sendiri. Langkah Surya pelan-pelan, berusaha untuk tidak mengeluarkan suara gesekan dari sandalnya dengan ubin.
Kebiasaan Surya menyeret kaki setiap berjalan, kini sudah mulai berkurang. Suri sering memarahi Surya tiap kali ia menangkap basah adiknya itu berjalan seperti orang tak punya daya. “Sendalmu itu murah. Dari karet. Ringannya bukan main. Angkat kakimu itu, jangan macam orang tak punya cita-cita. Malu sama si Bandot. Tiap jalan kakinya selalu diangkat,” ceramah Suri membandingkan adiknya dengan kambing dagangan tetangga mereka yang paling besar. Bisa karena terbiasa. Itulah Surya sekarang.
Sejak Ibunya sudah tak lagi kuat berlama-lama duduk di kursi roda, Suri sering takut jika tidak pulang sehari saja dalam satu minggu. Bagi Suri, batinya belum tenang jika tidak melihat Ibunya dengan mata kepalanya sendiri. Walaupun setiap tanggal pembagian gaji, ia tidak pernah lupa mengirim sebagian uang itu untuk keperluan Ibu dan adiknya. Sudah kewajibannya sebagai tulang punggung keluarga.
  Satu jam setengah perjalanan dari tempat kos Suri hingga sampai ke rumah. Suri datang dengan tas ransel di punggung. Hanya beberapa lembar baju yang ia bawa. Antisipasi jika ia harus menginap di rumah untuk beberapa malam. “Ibu sudah siuman satu jam yang lalu, Mbak. Tapi sekarang sudah tidur lagi,” kata Surya menyambut kedatagan Suri di teras rumah.
Mereka berdua beriringan masuk. Melewati satu kamar kemudian belok ke kiri. Kamar Ibu. Suri memperhatikan kamar Ibunya seksama. Ibu sedang duduk bersandar di kepala ranjang. Kakinya diluruskan walaupun tetap terlihat bengkok. Di atas nakas kayu samping ranjang Ibu berjajar beberapa botol obat dan plastik klip dengan butir-butir kapsul di dalamnya. Sebegitu menderitakah Ibunya kini? Segera ia tahan sebisanya untuk tidak menangis.
Syarafnya memang sudah tidak berfungsi normal seperti dulu. Tapi, instingnya dalam merasakan kehadiran seseorang di dekatnya masih sangatlah kuat, apalagi.. anaknya sendiri.
“Ri, tolong Ibu, ya. Ibu ingin cari angin di teras,” tanpa menunggu jawaban dari Suri, Ibunya sudah berancang-ancang mengangkat sendiri kedua kakinya. Tergopoh-gopoh Suri mendekat, memapah Ibunya turun ranjang dan mendudukannya di kursi roda.
Matahari sudah mulai turun. Sebentar lagi akan menghilang dari pandangan orang-orang negeri timur. Hanya tinggal menghitung menit saja, akan ada suara-suara bersautan meminta kaum muslim segera menggelar sajadahnya.
“Ya, ambilkan kotak yang Ibu taruh di bawah ranjang Ibu, Nak,” Surya segera masuk ke kamar Ibunya, kemudian keluar sambil membawa sebuah kotak kayu berlapis kain seperti bekas tempat perhiasan. Surya tidak memberikannya kepada Ibu, tapi langsung memberikannya kepada Suri. Seperti sudah direncanakan.
Suri binggung dengan kotak yang kini di tangannya. Isyarat mata Ibu meminta Suri untuk membuka kotak itu. Sepersekian menit kemudian, Suri tercengang menatap isi dalam kotak itu. Uang.
“Untuk apa, Bu? Ini uang siapa?” kata Suri meminta klarifikasi.
“Itu uang Ibu, lah. Kamu sendiri yang kasih setiap bulan, kan? Lupa?” kata Ibu tampak seperti orang yang sehat bugar. Suri merendahkan posisinya dengan berlutut di depan kursi roda Ibunya.
“Kurban, Ri. Ibu ingin berkurban,”
“Jangan, Bu. Masih banyak yang Ibu butuhkan. Uang ini Suri kirim lebih untuk kebutuhan Ibu dan Surya sehari-hari. Selain untuk obat. Bukan untuk kurban,” ujar Suri berusaha menolaknya.
Selama ini, setelah digunakan untuk membeli obat, sisa uang yang dikirim Suri disimpan Ibunya dalam kotak. Surya sudah tahu. Ibu berniat menyimpannya untuk mewujudkan keinginannya berkurban tahun ini.
“Urusan makan, Bude setiap hari mengantarkan makanan kemari, Mbak. Jadi, Surya setuju-setuju saja Ibu menyimpannya untuk niatan kurban,” Surya ikut bersuara membantu meyakinkan Suri perihal uang itu.
Selesai? Belum. Ibu kembali menatap Suri yang kini sudah berurai air mata. Ibu benar-benar ingin berkurban tahun ini, batinnya.
Ibu menarik napas panjang sebelum bersuara, “Kamu masih suka angka sepuluh?” tanya Ibu tiba-tiba. Suri sejenak diam dalam isakan tangisnya. Mengangguk membenarkan. “Ada hal serba sepuluh yang Rasulullah pernah janjikan. Akan ada 10 kebaikan dari sehelai bulu hewan kurban. Penghapusan 10 keburukan serta kenaikan 10 derajat bagi mereka yang sedang berkurban,” ada selaput basah menebal di area matanya.
“Suri.. walaupun rumah ini jauh dibandingkan gedung-gedung di kota, Ibu ingin punya gedung sendiri di sana, Nak. Di surga. Ibu juga butuh kendaraan di sana. Ibu sudah tidak butuh kursi roda ini lagi di surga nanti, Nak. Sudah tidak butuh,” akhirnya pertahanan Ibu melemah. Air matanya sudah tidak lagi berkumpul. Semunya tumpah. Pipinya basah.
“Sebelum waktunya tiba, Ibu ingin mendapatkan sepuluh itu. Sepuluh bulat dari janji Rasulullah.”
Ibu menunjuk lurus ke depan. Suri mengikuti telunjuk Ibunya. Pandangannya nanar, menatap sumber suara embikan yang sedari tadi ikut mengusik pendengarnnya. Kini, Suri sudah paham dengan apa itu nilai 10. Dalam arti sebenarnya, sesederhana apapun hidup, tetap harus berusaha dalam mencapai kesempurnaan walaupun tidak mungkin. Dipeluknya tubuh ringkih sang Ibu. Berucap lirih di telinganya, “nanti Suri serahkan uangnya ke Pak Burhan. Biar Bandot segera dicatat dalam daftar hewan kurban. Atas nama.. Ibu,” seiring dengan suara adzan Magrib berkumandang, Ibu pergi menjemput sepuluh haknya.. di Surga.[]

Cerita ini Ifah buat spesial menyambut hari raya Idul Adha 1434 H. Mengingatkan tentang bagaimana hikmah berkurban yang sebenarnya. Selamat Idul Adha, Semua..!!  ^.^ 

5 comments:

  1. Jika diizinkan tanpa kompensasi materi akan dimuat pada edisi cetak : www.facebook.com/kindohk . Buletin GRATIS untuk dibaca Mbak Mbak TKW di Hong Kong. dengan emncantumkan nama penulisnya @Si_ifah / Siti Nurchalifah. Terimakasih. (Mohon di jawab / Inbox di Fans page link di atas).

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ow.. tidak apa-apa. Jika bermanfaat, silakan. Asalkan tidak lupa mencantumkan saya sebagai pemilik hak cipta cerpen ini. Terima kasih atas apresiasinya, Kakak :D

      Delete
  2. Insya Allah, sesuai rencana, besok , nama anda diikutkan sebagai peserta yang menentukan beasiswa. .. INSYA ALLAH ,.. semoga dapat. :) .

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amin alhamdulillah.. oh ya tapi bagaimana tiga nama yang harus saya rekomendasikan untuk beasiswa yang dahulu? akun facebook KINDO mengapa nonaktif ya? :)

      Delete