Hi, everyone!
Assalamualaikum... Tahun 2017 akhirnya datang dengan postingan pertama soal DIARY (lagi). Terlambat banget! --masa bodo! Haha.. kadang merasa aneh kalau blog aku mulai sejak... I don't know--isinya malah keseringan curhat. Ups.. mungkin akan aku luruskan di postingan kali ini, bahwa aku akan berusaha untuk membuat curhatan aku ini sebagai bahan pembelajaran bagi siapapun. Siapapun itu. Terutama aku sendiri sebagai pemilik dan pelaku dalam kisah ini.
Seperti yang sering aku jadikan patokan tiap nulis apapun. Sefiksi atau nonfiksinya tulisan, haruslah ada yang namanya nilai pembelajaran di dalamnya (?). Sekalipun kali ini aku akan bahas lewat cerita sebuah perjalanan hidup --maaf terlalu lebay.
Oke, masih sama dengan diary-diary sebelumnya yang sudah pernah aku post, kali ini akan kembali mengulas perjalanan aku di sebuah kompetisi yang berjalan beberapa hari sebelum aku tulis postingan ini. Sebagaimana judulnya pasti sudah jelas. Nama evennya adalah PORSENASMA PGRI III yang diadakan di Palembang. Sejak terhitung tanggal 24 sampai 30 April--lebih dikit nggak masalahlah, ya. Masa-masa perang telah terjadi. :)
Berkisar tanggal itu, artinya tulisan ini aku kerjakan dengan keadaan masih seperempat badan melayang nggak jelas (kejadian pagi tadi--waktu beli es krim badan lemes sampai nabrak-nabrak). Jadi belum stabil untuk ukuran ketahanan tubuh aku. So, misal tulisan ini sedikit ngawur mohon dimaklumi. Dan.. mohon maaf juga misal nggak banyak foto atau dokumentasi apapun yang aku munculkan di sini. Serba dadakan. Mumpung lagi mood buka blog.
Mantap! Aku akan mulai sekarang.
Namanya adalah PORSENASMA PGRI atau kalau mau tahu kepanjangannya adalah Pekan Olahraga dan Seni Nasional Mahasiswa PGRI yang kali ini sudah masuk di perhelatan ke tiga. Kalau nggak salah, acara ini ada tiap tiga tahunan sekali. Nah, kebetulan tahun ini aku dapat kesempatan untuk ikut dalam kontingan kampus.
Hem, masih ada yang tanya tangkai lomba apa yang aku ikuti? Jawabannya masih sama seperti sebelum-sebelumnya.
Penulisan cerpen.
PORSENASMA pertama dulu diadakan di Surabaya, lalu tahun 2014 even ke dua ada di Semarang, dan tahun ini yang jadi tuan rumah adalah Palembang. Lohh, coba deh bayangkan.. Palembang! Alamat harus keluar Jawa lagi, kan? Kebayang bagaimana masalah tahun lalu pernah punya yang namanya pengalaman yang nggak enak di pulau orang. Dan sekarang harus kembali mengulang itu lagi. Untuk kedua kalinya.
Aku akan bahas lebih detail nanti. Kita akan mulai dengan bagaimana awal terbentuknya kontingan kampus aku. UNIROW Tuban.
Proses pemilihan calon peserta dari kontigen kampus aku dimulai jauh bahkan sebelum aku berangkat ke Kendari untuk PEKSIMINAS. Bahkan beberapa jadwal harus sering dirombak untuk masalah seleksi ini dan itu. Secara garis besar, peserta PORSENASMA ini datang dari mereka yang belum pernah menjuarai kompetisi yang sama di tingkat nasional. Kalau misal pernah ikut--sebut saja lomba nyanyi tingkat nasional--lalu menang atara juara 1, 2, atau 3, kalian nggak akan mungkin dibolehkan untuk ikut. Nah, ini kejadian sama aku.
Seperti yang sudah aku jelaskan di postingan Diary PEKSIMINAS Part 3 , pengalaman dengan hasil yang tidak memuaskan pernah aku dapat. Masih jelas di ingatan aku bagaimana kegagalan itu bisa aku terima. Lalu ditambah dengan kata-kata Alm. Pak Har soal.. masih ada kesempatan? Aku rasa.. ini dia.
Dari hasil kekalahan aku di kompetisi besar macam PEKSIMINAS, PORSENASMA seolah siap melambaikan tangan dengan wajah berseri-seri. Langsung dengan tiba-tiba saja even ini berteriak, "ikut lagi, yok!"
Apa yang selanjutnya aku terima adalah surat edaran hasil akhir nama peserta dari kampus sudah keluar. Dan aku ada di antara mereka.
Enam mahasiswa terpilih mewakili cabang olahraga dan sembilan mahasiswa yang lain masuk sebagai wakil tangkai seni. Kami berlimabelas resmi jadi kontingen tertanggal 20 Oktober 2016 sesuai surat yang dikeluarkan kampus. Kami tidak hanya resmi jadi keluarga PORSENASMA 3 2017, tapi kami jadi saudara. Lebih dekat karena kami akan sama-sama berkompetisi atas nama kampus.
Mas Rico (pop putra), mbak Dahlia (pop putri), mbak Nida (dangdut putri), mbak Septi (keroncong putri), mbak Ina (baca puisi putri), aku, dan geng film pendek yang diwakili mbak Lusi, mas Abidin, dan mas Hadi siap jadi wakil tangkai seni. Bersama dengan mas Faris dan mas Awit (bulutangkis), mas Bambang (lari sprint), Daniel (catur), dan Santi (pencak silat) datang dari cabang olahraga.
Entah tepatnya sejak kapan, semua persiapan mulai dilakukan. Masing-masing punya 'urusan dapur' dengan pembinanya. Mulai dari latihan dilakukan dengan pendampingan masing-masing pembina yang dipilih kampus. Yang latihan nyanyi, baca puisi, atau olahraga cabor apapun bisa latihan di kampus atau di mana pun tempat yang memungkinkan untuk latihan. Tidak kalah pentingnya juga untuk persyaratan pendaftaran, persiapan kebutuhan untuk lomba seperti pendanaan segala macam proses latihan, sewa kostum, atau bisa juga keperluan shooting film pendek, salah satunya.
Dan ajaibnya.. kalau bisa dihitung-hitung, aku sendiri yang mulai dari proses latihan, sampai pendanaan macam apapun terbilang minim banget. Latihan biasanya aku atur dengan kemampuan. Cuma misal pak Antok (untuk kesekiankalinya beliau nongol lagi jadi pembinaku, hehehe.. mungkin beliau bosen ^_^) yang akan uber aku untuk latihan lagi, lagi, dan lagi. Itu pun santai. Seminggu bisa nulis serius untuk satu cerpen. Kadang juga nggak sama sekali. Beda dengan peserta lain yang kadang bisa latihan tiap hari.
Kalau ada waktu dan kesempatan, aku akan nulis. Terus disetor dan kalau ada kesempatan ketemu, kami ngobrol bareng. Tulisan aku dikoreksi untuk perbaikan di tulisan selanjutnya dan tantangan menulis sesuai tema yang sekiranya muncul saat lomba nanti.
Masalah dana? Em.. kalau aku bilang, ya.. bersyukurlah kalian yang mewakili perlombaan cerpen di even apapun. Kalian nggak akan berat di ongkos, kecuali yang nggak punya alat nulis semacam komputer atau laptop dan sebagainya.
Hanya modal mikir, imajinasi yang kerja, dan jari yang terus ngetik--tambahan juga untuk kekuatan pantat kalian saat duduk ngetik-- Selesai. Konsultasi pun aku bisa enak karena bisa lewat email atau sekadar chat lewat WA. Kostum?
Nggak ada lomba nulis yang dituntut untuk pakai kostum, kawan! -_-
Latihanmu nggak akan memberatkan siapapun--kecuali pembina yang capek baca tulisan kalian. Ini serius.
Beberapa kesempatan kami semua, para peserta, dikumpulkan untuk rapat. Tepatnya di Lab bahasa dan sastra Indonesia. Pemimpin kontingen kampus, pak Miftah (atau bisa juga dipanggil pak Munir--suka bolak-balik ngomongnya) akan menanyakan kesiapan kami sepanjang proses latihan. Ujung-ujungnya, ada juga sesi paling nggak enaknya. Pada kesempatan ini, ada sesi pengaduan para pembina pada ketua kontingan.
Kami malas latihanlah, latihan kami becanda, nggak sungguh-sungguh, sering telat datang latihan, hasilnya belum bagus, nulisnya kurang, semuaaaa diadukan. Karena pada tiap-tiap rapat akan dijadikan evalusi seberapa jauh kami siap dan memantapkan emosi kami untuk ikut kompetisi. Bagus, kan?
Ada sekitar 3 kali rapat (atau lebih), langsung dilanjutkan dengan rapat pelepasan kontingen dengan ibu rektor sebelum hari H keberangkat. Tanggal 22 April, bertepat dengan hari Sabtu waktu itu. Sebagai hari puncak sebelum kami resmi berangkat kami dikumpulkan di rektorat. Mendengar sambutan dan akhirnya kami benar-benar dilepas untuk berangkat. Aku sendiri sempat datang terlambat karena Kung Bandri (salah satu keluarga aku) meninggal dunia.
Wah, di titik itu rasanya emosiku kacau. Nggak konsen apa-apa. Kebayang dengan mendiang pak Har yang kenyataannya beliau tidak akan ikut dalam kontingen sebab harus terlebih dulu pergi meninggalkan kami semua. Untuk selamanya, (mohon doanya, semua)
Semua ingatan itu berputar kembali. Nyesek. Sampai akhirnya.. dengan seragam putih motif batik dan topi merah yang jadi identitas kontingen.. kami pakai. Lengkap.
Kami siap untuk berangkat ke Palembang.
Tapi.. sebelumnya, beberapa hal memang harus kami persiapkan. Salah satunya adalah hari Minggu--sebelum berangkat, kami diwajibkan untuk menginap di kampus. Alasannya karena untuk jaga-jaga kalau ada yang terlambat atau hal-hal lain yang tidak diinginkan. Nah, untuk yang satu ini aku nggak datang. Banyak sekali alasan Bapak nggak memperbolehkan aku ikut menginap waktu itu. Selain kesehatan yang nggak memungkinkan, dari pengalaman ikut lomba sebelumnya.. perjalanan jauh butuh banget yang namanya stamina.
Dari Jawa ke pulau lain yang mana kali ini ke Sumatera Selatan. Itu nggak sebentar. Banyak kemungkian jika tidur atau menginap di kampus.
1.) yang namanya kumpul bareng teman-teman, pasti ramai sendiri. Nggak bakalan bisa yang namanya tidur nyenyak.
2.) nggak ada tempat nyaman untuk tidur. Kalau tidur di lantai, sangat disarankan untuk cari tempat yang nyaman untuk tidur. Jangan sampai badan sakit semua sebelum ikut perjalanan jauh.
Ingat kesehatan, ya! Ikut lomba nggak cuma modal otak atau fisik, sehat juga penting. Dan mental!
Jadilah, aku tidur di rumah dan pagi subuh sekitar jam 5 pagi aku berangkat ke kampus sambil bawa keperluan yang tersisa--koper sudah dikumpulkan hari minggu siang.
Perjalanan menuju Palembang dimulai Senin pagi, tanggal 24 April 2017. Banyak kisah yang sebenarnya ingin aku lanjut tulis. Tapi untuk kebutuhan postingan, cukup di sini dulu, ya. Hanya sekadar pembuka, tentang persiapan kami sebelum berangkat,
Sometimes.. second chances lead to great things. Mendiang pak Har pernah membisikan banyak untuk aku tentang banyak kesempatan besar di usia muda kalau ingin berusaha. Berdoanya memang seperti itu. Tapi siapa yang tahu tentang masa depan. Kalau mau trauma, aku menyebutnya sebagai kesempatan kedua yang menakutkan. Kompetisi ini.. jujur saja, jadi tekanan berat untuk aku secara pribadi. Belum lagi prosesnya yang sangat berat. Lahiriah dan batiniah.
Lalu, tindakan yang paling tepat untuk ini adalah.. ambil saja. Lakukan.
Memangnya ada apa, sih? Aku lanjut di part 2 nanti, ya!
Thanks, x
Rapat kontingen |
Seperti yang sering aku jadikan patokan tiap nulis apapun. Sefiksi atau nonfiksinya tulisan, haruslah ada yang namanya nilai pembelajaran di dalamnya (?). Sekalipun kali ini aku akan bahas lewat cerita sebuah perjalanan hidup --maaf terlalu lebay.
Oke, masih sama dengan diary-diary sebelumnya yang sudah pernah aku post, kali ini akan kembali mengulas perjalanan aku di sebuah kompetisi yang berjalan beberapa hari sebelum aku tulis postingan ini. Sebagaimana judulnya pasti sudah jelas. Nama evennya adalah PORSENASMA PGRI III yang diadakan di Palembang. Sejak terhitung tanggal 24 sampai 30 April--lebih dikit nggak masalahlah, ya. Masa-masa perang telah terjadi. :)
Berkisar tanggal itu, artinya tulisan ini aku kerjakan dengan keadaan masih seperempat badan melayang nggak jelas (kejadian pagi tadi--waktu beli es krim badan lemes sampai nabrak-nabrak). Jadi belum stabil untuk ukuran ketahanan tubuh aku. So, misal tulisan ini sedikit ngawur mohon dimaklumi. Dan.. mohon maaf juga misal nggak banyak foto atau dokumentasi apapun yang aku munculkan di sini. Serba dadakan. Mumpung lagi mood buka blog.
Mantap! Aku akan mulai sekarang.
Namanya adalah PORSENASMA PGRI atau kalau mau tahu kepanjangannya adalah Pekan Olahraga dan Seni Nasional Mahasiswa PGRI yang kali ini sudah masuk di perhelatan ke tiga. Kalau nggak salah, acara ini ada tiap tiga tahunan sekali. Nah, kebetulan tahun ini aku dapat kesempatan untuk ikut dalam kontingan kampus.
Hem, masih ada yang tanya tangkai lomba apa yang aku ikuti? Jawabannya masih sama seperti sebelum-sebelumnya.
Penulisan cerpen.
PORSENASMA pertama dulu diadakan di Surabaya, lalu tahun 2014 even ke dua ada di Semarang, dan tahun ini yang jadi tuan rumah adalah Palembang. Lohh, coba deh bayangkan.. Palembang! Alamat harus keluar Jawa lagi, kan? Kebayang bagaimana masalah tahun lalu pernah punya yang namanya pengalaman yang nggak enak di pulau orang. Dan sekarang harus kembali mengulang itu lagi. Untuk kedua kalinya.
Aku akan bahas lebih detail nanti. Kita akan mulai dengan bagaimana awal terbentuknya kontingan kampus aku. UNIROW Tuban.
Proses pemilihan calon peserta dari kontigen kampus aku dimulai jauh bahkan sebelum aku berangkat ke Kendari untuk PEKSIMINAS. Bahkan beberapa jadwal harus sering dirombak untuk masalah seleksi ini dan itu. Secara garis besar, peserta PORSENASMA ini datang dari mereka yang belum pernah menjuarai kompetisi yang sama di tingkat nasional. Kalau misal pernah ikut--sebut saja lomba nyanyi tingkat nasional--lalu menang atara juara 1, 2, atau 3, kalian nggak akan mungkin dibolehkan untuk ikut. Nah, ini kejadian sama aku.
Seperti yang sudah aku jelaskan di postingan Diary PEKSIMINAS Part 3 , pengalaman dengan hasil yang tidak memuaskan pernah aku dapat. Masih jelas di ingatan aku bagaimana kegagalan itu bisa aku terima. Lalu ditambah dengan kata-kata Alm. Pak Har soal.. masih ada kesempatan? Aku rasa.. ini dia.
Dari hasil kekalahan aku di kompetisi besar macam PEKSIMINAS, PORSENASMA seolah siap melambaikan tangan dengan wajah berseri-seri. Langsung dengan tiba-tiba saja even ini berteriak, "ikut lagi, yok!"
Apa yang selanjutnya aku terima adalah surat edaran hasil akhir nama peserta dari kampus sudah keluar. Dan aku ada di antara mereka.
Nunggu rapat |
Enam mahasiswa terpilih mewakili cabang olahraga dan sembilan mahasiswa yang lain masuk sebagai wakil tangkai seni. Kami berlimabelas resmi jadi kontingen tertanggal 20 Oktober 2016 sesuai surat yang dikeluarkan kampus. Kami tidak hanya resmi jadi keluarga PORSENASMA 3 2017, tapi kami jadi saudara. Lebih dekat karena kami akan sama-sama berkompetisi atas nama kampus.
Mas Rico (pop putra), mbak Dahlia (pop putri), mbak Nida (dangdut putri), mbak Septi (keroncong putri), mbak Ina (baca puisi putri), aku, dan geng film pendek yang diwakili mbak Lusi, mas Abidin, dan mas Hadi siap jadi wakil tangkai seni. Bersama dengan mas Faris dan mas Awit (bulutangkis), mas Bambang (lari sprint), Daniel (catur), dan Santi (pencak silat) datang dari cabang olahraga.
Entah tepatnya sejak kapan, semua persiapan mulai dilakukan. Masing-masing punya 'urusan dapur' dengan pembinanya. Mulai dari latihan dilakukan dengan pendampingan masing-masing pembina yang dipilih kampus. Yang latihan nyanyi, baca puisi, atau olahraga cabor apapun bisa latihan di kampus atau di mana pun tempat yang memungkinkan untuk latihan. Tidak kalah pentingnya juga untuk persyaratan pendaftaran, persiapan kebutuhan untuk lomba seperti pendanaan segala macam proses latihan, sewa kostum, atau bisa juga keperluan shooting film pendek, salah satunya.
Dan ajaibnya.. kalau bisa dihitung-hitung, aku sendiri yang mulai dari proses latihan, sampai pendanaan macam apapun terbilang minim banget. Latihan biasanya aku atur dengan kemampuan. Cuma misal pak Antok (untuk kesekiankalinya beliau nongol lagi jadi pembinaku, hehehe.. mungkin beliau bosen ^_^) yang akan uber aku untuk latihan lagi, lagi, dan lagi. Itu pun santai. Seminggu bisa nulis serius untuk satu cerpen. Kadang juga nggak sama sekali. Beda dengan peserta lain yang kadang bisa latihan tiap hari.
Kalau ada waktu dan kesempatan, aku akan nulis. Terus disetor dan kalau ada kesempatan ketemu, kami ngobrol bareng. Tulisan aku dikoreksi untuk perbaikan di tulisan selanjutnya dan tantangan menulis sesuai tema yang sekiranya muncul saat lomba nanti.
Masalah dana? Em.. kalau aku bilang, ya.. bersyukurlah kalian yang mewakili perlombaan cerpen di even apapun. Kalian nggak akan berat di ongkos, kecuali yang nggak punya alat nulis semacam komputer atau laptop dan sebagainya.
Hanya modal mikir, imajinasi yang kerja, dan jari yang terus ngetik--tambahan juga untuk kekuatan pantat kalian saat duduk ngetik-- Selesai. Konsultasi pun aku bisa enak karena bisa lewat email atau sekadar chat lewat WA. Kostum?
Nggak ada lomba nulis yang dituntut untuk pakai kostum, kawan! -_-
Latihanmu nggak akan memberatkan siapapun--kecuali pembina yang capek baca tulisan kalian. Ini serius.
Beberapa kesempatan kami semua, para peserta, dikumpulkan untuk rapat. Tepatnya di Lab bahasa dan sastra Indonesia. Pemimpin kontingen kampus, pak Miftah (atau bisa juga dipanggil pak Munir--suka bolak-balik ngomongnya) akan menanyakan kesiapan kami sepanjang proses latihan. Ujung-ujungnya, ada juga sesi paling nggak enaknya. Pada kesempatan ini, ada sesi pengaduan para pembina pada ketua kontingan.
Kami malas latihanlah, latihan kami becanda, nggak sungguh-sungguh, sering telat datang latihan, hasilnya belum bagus, nulisnya kurang, semuaaaa diadukan. Karena pada tiap-tiap rapat akan dijadikan evalusi seberapa jauh kami siap dan memantapkan emosi kami untuk ikut kompetisi. Bagus, kan?
Ada sekitar 3 kali rapat (atau lebih), langsung dilanjutkan dengan rapat pelepasan kontingen dengan ibu rektor sebelum hari H keberangkat. Tanggal 22 April, bertepat dengan hari Sabtu waktu itu. Sebagai hari puncak sebelum kami resmi berangkat kami dikumpulkan di rektorat. Mendengar sambutan dan akhirnya kami benar-benar dilepas untuk berangkat. Aku sendiri sempat datang terlambat karena Kung Bandri (salah satu keluarga aku) meninggal dunia.
Wah, di titik itu rasanya emosiku kacau. Nggak konsen apa-apa. Kebayang dengan mendiang pak Har yang kenyataannya beliau tidak akan ikut dalam kontingen sebab harus terlebih dulu pergi meninggalkan kami semua. Untuk selamanya, (mohon doanya, semua)
Semua ingatan itu berputar kembali. Nyesek. Sampai akhirnya.. dengan seragam putih motif batik dan topi merah yang jadi identitas kontingen.. kami pakai. Lengkap.
Kami siap untuk berangkat ke Palembang.
Tapi.. sebelumnya, beberapa hal memang harus kami persiapkan. Salah satunya adalah hari Minggu--sebelum berangkat, kami diwajibkan untuk menginap di kampus. Alasannya karena untuk jaga-jaga kalau ada yang terlambat atau hal-hal lain yang tidak diinginkan. Nah, untuk yang satu ini aku nggak datang. Banyak sekali alasan Bapak nggak memperbolehkan aku ikut menginap waktu itu. Selain kesehatan yang nggak memungkinkan, dari pengalaman ikut lomba sebelumnya.. perjalanan jauh butuh banget yang namanya stamina.
Dari Jawa ke pulau lain yang mana kali ini ke Sumatera Selatan. Itu nggak sebentar. Banyak kemungkian jika tidur atau menginap di kampus.
1.) yang namanya kumpul bareng teman-teman, pasti ramai sendiri. Nggak bakalan bisa yang namanya tidur nyenyak.
2.) nggak ada tempat nyaman untuk tidur. Kalau tidur di lantai, sangat disarankan untuk cari tempat yang nyaman untuk tidur. Jangan sampai badan sakit semua sebelum ikut perjalanan jauh.
Ingat kesehatan, ya! Ikut lomba nggak cuma modal otak atau fisik, sehat juga penting. Dan mental!
Jadilah, aku tidur di rumah dan pagi subuh sekitar jam 5 pagi aku berangkat ke kampus sambil bawa keperluan yang tersisa--koper sudah dikumpulkan hari minggu siang.
Bus untuk ke bandara Juanda |
Koper kumpul dulu H-1, udah mirip orang mau berangkat haji :) |
Perjalanan menuju Palembang dimulai Senin pagi, tanggal 24 April 2017. Banyak kisah yang sebenarnya ingin aku lanjut tulis. Tapi untuk kebutuhan postingan, cukup di sini dulu, ya. Hanya sekadar pembuka, tentang persiapan kami sebelum berangkat,
Sometimes.. second chances lead to great things. Mendiang pak Har pernah membisikan banyak untuk aku tentang banyak kesempatan besar di usia muda kalau ingin berusaha. Berdoanya memang seperti itu. Tapi siapa yang tahu tentang masa depan. Kalau mau trauma, aku menyebutnya sebagai kesempatan kedua yang menakutkan. Kompetisi ini.. jujur saja, jadi tekanan berat untuk aku secara pribadi. Belum lagi prosesnya yang sangat berat. Lahiriah dan batiniah.
Lalu, tindakan yang paling tepat untuk ini adalah.. ambil saja. Lakukan.
Memangnya ada apa, sih? Aku lanjut di part 2 nanti, ya!
Thanks, x
No comments:
Post a Comment