Assalamualaikum.. welcome to my blog, guys..!! ^_^

Adsense

Sunday, June 04, 2017

Diary PORSENASMA PGRI III 2017 Palembang (Part 2) : Bersahabatlah Denganku

Juanda :)
Hai, everyone!
Aku kembali lagi, nih dengan part 2 untuk diary abal-abal tentang perjalanan ikut kompetisi PORSENASMA 3 di Palembang akhir April lalu. Selesai dengan part 1 kali ini aku sudah siap untuk membagi kisah di part 2nya. Bagi yang belum sempat baca bagaimana awal kisah ini di mulai, bisa klik DI SINI.

Baiklah, sebelumnya aku mau sampaikan salam terbaik untuk kalian semua para pembaca yang budiman. Selamat Menjalankan Ibadah Puasa Ramadhan 1438 H. Karena berhubung part 2 ini aku tulis tepat di bulan puasa. Agak lama, ya, dengan yang part 1. Tapi semoga kalian bisa berkenan dengan kisah ini tetap aku lanjut.

Back to topic, ketika semua sudah jelas bagaimana perkara pemilihan kontingen, perjalanan di mulai dari bandara Juanda Sidoarjo untuk antre pesawat *astaga bahasanya*. Tidak ada yang delay untuk pesawat keberangkatan kami kali ini. Sekitar siang take off buat transit ke bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng dulu. Ini yang paling empet tiap transit. Untuk pengalaman kemarin, ada sekitar tiga jam untuk menunggu pesawat sampai dan kembali terbang lagi. Dalam kondisi lelah seperti itulah butuh yang namanya kekompakan. Yang namanya capek pasti emosi bisa naik turun. Itulah yang sempat terjadi, khususnya untuk para peserta. Pembina aku tidak tahu. 

Pada ribet sendiri waktu sebagian masuk ada yang masih di luar -_-


Harus ada struktur yang tepat kalau berangkat berkelompok dalam acara apapun. Ini penting. Pesan saja untuk siapapun itu, sebagai pelajaran jangan sampai lepas dari rombongan dan saling menunggu, itu kuncinya. Jangan egois untuk berjalan sendirian, terlebih karena sudah pengalaman. Nope! Hanya itu yang sering aku sesalkan ketika berangkat maupun kepulangan kemarin. Banyak yang tidak terurus. Pontang panting kami harus mencari tempat sendiri. Di tinggal ketika di toilet, tidak dipedulian di tengah kerumunan. Meski sudah dewasa, ini namanya rombongan. Satu dengan yang lain jadi satu. Tanggung jawab bersama-sama untuk saling jaga.

Ohh aku mohon dengan sangat!! Kalau sudah hilang, baru repot dan saling menyalahkan.

Nyampe Palembang!

Baru sekitar satu jam terbang, kami mendarat sempurna di Palembang sekitar jam enam malam.
Penuh banget waktu sampai dengan rombongan lain yang juga datang tanggal 24 April malam itu. Bahkan untuk memudahkan, panitia lomba menyediakan stan khusus di area kedatangan untuk laporan tiap kontingen yang sudah menginjakkan kaki di tanah Palembang. Sampai ketemuan dengan LO untuk kontingen kami dari Tuban, yaitu mbak Pebria *maaf kalau salah ketik. Seingatku namanya pakai ‘P’* dan mbak Hesti.

Malam itu juga kami diboyong semua naik bus ke Jakabaring. Semua kontingan—kecuali beberapa kontingen yang kabarnya menginap di hotel lain—diinapkan di Wisma Atlet kawasan Kampung Atlet di Jakabaring Sport Center. Kami sempat diperbolehkan masuk untuk menunggu di loby latai bawah sebelum mendapat kamar untuk istirahat.

Tiang listik depan Wisma Atlet

Malam semakin larut saat kami sampai. Jam sembilan bahkan lebih, kami belum dapat kepastian untuk tidur di kamar mana. Untuk sekadar info saja, Wisma Atlet di Jakabaring Palembang ada beberapa gedung. Disebut Apartemen A, B, C dan alfabet yang lainnya. Setiap apartemen ada sekitar empat lantai dan beberapa kamar saling bersebelahan.


Baru sampai. Nunggu pembagian kamar di lantai bawah

Panita sempat memberi arahan pada kami semua sebelum benar-benar mendapat kamar. Mulai dari peraturan yang mereka terapkan di sana. Salah satunya adalah larangan merokok. Setiap sudut gedung terpasang sensor asap yang bisa mendeteksi asap jenis apapun. Cara ini dipakai dengan alasan menjaga kualitas udara di sekitar gedung. Ya, maklum saja yang tinggal di sana adalah para atlet. Serius ya, baru kali ini aku bisa dapat label spesial sebagai atlet. Kalau diingat status itu bahkan nggak mungkin buat aku yang olahraga saja selalu peringkat kedua terakhir sejak SD sampai SMA. Oke.. jangan dibahas -_-

Sampai satu persatu kejelasan tentang kapan kita istirahat tiba. Makan malam dan snack kami datang. Ini adalah hal paling pahit selama aku tinggal di Palembang. Makan. Puncak penderitaan aku ada di makanan. Makanan pertama yang aku dapat nggak kesentuh. Nasinya kering dan masakan yang.. nggak cocoklah. Cuma snack yang lumayan bisa isi perut.  Setelah selesai... akhirnya pembagian kamar sudah ditentukan.


Ada perubahan dari pembagian di awal ketika para pembina merancang siapa-akan-tidur-dengan-siapa. Masih dengan ketetapan awal kalau aku akan tidur berlima dengan para perempuan peserta lain. Hanya saja ada perubahan nama. Ada yang dipindah ruang dan jadilah... aku, mbak Inna, mbak Septi, mbak Nida, dan mbak Lusi menjadi tuan putri di kamar B233. Letaknya ada di lantai dua pinggir--nggak pinggir juga, sih. *bersyukurnya minta ampun nggak tinggi-tinggi* 







Kamar para ciwi-ciwi—begitu orang-orang menyebut kami berlima yang heboh sendiri.
Untuk kejelasan kamar seperti yang dipaparkan panitia, kamar disediakan enam ranjang. Pada masing-masing kamar dibagi enam ruang dengan pendingin ruangan (AC). Ruang tamu mini (meja kecil, dua sofa tunggal, bantal besar, lemari pendingin, telepon, lemari sepatu) +2 ranjang + 1 nakas dan 2 loker, disekat dengan dinding dan pintu untuk kamar privat yang terdiri dari 4 ranjang, 4 loker. Di bagian samping ada mini kitchen. Kaca besar, sink, dan lemari penyimpanan. Bersebelahan dengan toilet dengan berbatas partisi gantung yang langsung dipisah dengan  kamar mandi shower + segala perlengkapan mandi yang lengkap.

Sayangnya semua itu sisa perlengkapan mandi yang belum sempat digunakan ketika SEA Games tahun 2011 lalu. Bayangkan sabun-sabun yang putih menjadi kuning keemasan saking lamanya -_-  *6 tahun, guys! untung bawa sendiri*. Dan salah satu tempat lumayan untuk cari pemandangan adalah balkon kecil yang langsung berhadapan ke Apartemen C—tempat menginapnya pemain Sriwijaya FC. Ya, kecil. Nggak seluas balkonnya Beyonce di video klip 7/11 *wkwkwkw.. apaan sih*
Lepas dari itu, kami bisa lumayan beristirahat untuk malam itu. Alhamdulillah.

Seberang itu kamar pemain Sriwijaya FC. Tapi aku gk paham :)


Besoknya adalah full untuk Technical Meeting (TM) semua cabor dan seni *kalo tidak salah kecuali karate*.  Ada satu kegiatan rutin untuk kontingen kampusku. Yaitu olahraga pagi *tapi pada males dan banyak nggak jadinya*. 

Kembali ke TM, TM ini di pusatkan di beberapa tempat wilayah kampus Universitas PGRI Palembang selaku tuan rumah. Kami pakai atribut kontingen selama mengikuti apapun di sana. Tapi sebelum berangkat, kami sempat jalan-jalan pagi dulu keliling Jakabaring sebelum antre sarapan di Dinning Hall karena memang nggak jadi olahraga bareng.

Pintu samping stadion Gelora Sriwijaya

Gerbang Stadion Gelora Sriwijaya


Antre sarapan mahasiswaPGRI se-Indonesia ^_^


Tempat ini luasnya minta ampun. Saat kami sarapan pertama saja, antrenya perlu sabar-sabar. Mahasiswa PGRI se-Indonesia. Dan makanannya.. selalu ayam -_- Cukup, lagi puasa. Nanti saja bahas makanan.

Akomodasi keberangkatan adalah belasan bahkan puluhan bus yang siap antar masing-masing kontingen. Untuk TM ini kami disebar. Setelah ada penyambutan resmi dari para petinggi... Idk siapa saja bapak-bapak itu—mereka mengenalkan nama, para penanggungjawab lomba masing-masing cabor/seni, sampai segala tetek bengek adanya PORSENASMA.

Datang duluan. Panggung penyambutan dibuat foto-foto dulu :)


Sempat hujan deras. Bahkan beberapa kali hari-hari di sana hujan.Tapi untung sama sekali tidak terasa karena kami di dalam gedung. Dari lantai 4 untuk penyambutan itu, kami siap disebar ke masing-masing ruangan di gedung itu untuk melakukan TM. Mestinya, masing-masing peserta akan didampingi official/pembinanya. Tapi untuk kesempatan ini.. dengan lapang dada saya menerima dilepas sendirian.

“Nanti sendiri ndak apa ya, Fah! Saya dampingi mbak Inna.”

Pak Antok jadi pendamping/pembina/official untuk aku dan mbak Inna sekaligus (cerpen dan pembacaan puisi). Sempat dilihat banyak masalah di bagian puisi, alhasil pak Antok merasa perlu untuk mendampingi tangkai lomba puisi dan melepas aku.. sendirian. So, dengan segala keberanian yang ada.. lepaslah aku masuk ruangan TM dengan peserta lain yang didampingi pembina masing-masing. Aku sangat memklumi itu dan pasrah sebagaimana adanya. *takut juga, sih*

Seperti TM yang sering-sering jadi momok menakutkan sebelum lomba, aku merasa memang tidak hanya puisi yang bermasalah. Cerpen pun bermasalah. Dan.. Benar kataku. Masalah.. masalah.. belum lagi peserta lain kesannya jadi musuh. Serius. Auranya beda banget.

Dari juknis (petunjuk teknis) yang disebar jauh-jauh hari lewat buku pedoman ternyata berubah jauh dari bayangan aku selama ini. Jadi begini, kawan, satu diantara peraturan yang tertulis adalah peserta diharap membawa laptop—paling tidak begitu isinya. Tapi nyatanya, menurut panitia yang-berasal-dari-keputusan-dewan-juri mengatakan kalau peserta tidak diperbolehkan membawa laptop. Bahkan flasdisk, catatan kecil, dan barang-barang lain pun tidak boleh. Kami di tempatkan di lab bahasa Inggris yang full dengan komputer. Jadi barang elektronik apapun seperti ponsel jadi barang ‘haram’ di ruangan lomba nanti. Dan yang paling mematikannya adalah.. durasi hanya 3 jam langsung berpikir dan nulis di tempat tanpa amunisi apapun.

What the hell!!

Aku setuju sebenarnya untuk tanpa catatan kecil, tapi dengan masalah tanpa data dan riset sebelum nulis, aku rasa itu membunuh sekali. Belum selesai terkejut dengan peraturan yang diubah, panitia menyebut satu persatu nama juri yang akan menilai. Ada nama-nama seperti Imas Sobaria dari teater Satu Lampung, Dian Susi L. dari peneliti pusat bahasa Sumsel, sampai Pipit Herlina cerpenis nasional... Hem.. sebagaimana yang diajarkan di lomba-lomba sebelumnya, juri jadi poin ke sekian untuk dipikirkan. Karena yang penting adalah aspek-aspek penilaian yang harus dipenuhi setiap lomba menulis cerpen.

Seperti.. judul, unsur intrinsip dengan poin relevan dengan judul, keberadaan dimensi cerita, kebahasaan, gaya bahasa, cara penulisan, kepaduan plot, dimensi tokoh, latar, kesesuaian bahasa sampai EYD yang sempat jadi perdebatan. Meski ujung-ujungnya tidak ada perubahan meski sempat banyak yang protes -_-

Ya, menurut pengalaman lomba di mana pun itu, cara panitia seperti ini sebenarnya agak ketat—memang ketat—sekali. Biasanya, untuk standart nasional durasi bisa sampai 8 jam, kemudian ruangan lomba yang fleksibel dengan kebebasan mencari data. Maksudnya seperti ini, dengan cara apapun peserta yang semuanya adalah bekerja dengan menulis dan imajinasi tidak ada yang namanya kekangan. Aku ingat sekali ketika ikut PEKSIMINAS, Putu Fajar yang menjadi juri mengatakan pekerjaan penulis itu tidak bisa dikekang bahkan untuk urusan lomba pun. Tulisan seseorang bisa dengan mudah dinilai dari hasil kerjanya. Kalau memang takut untuk curang, juri pasti tahu semua itu.

Aku tidak menyalah siapapun dengan peraturan seperti itu. Hanya saja aku sangat berharap panitia dan dewan juri bisa sedikit memahami cara kerja peserta—khususnya menulis, di tengah tekanan besar membuat tulisan yang baik dengan durasi waktu yang sangat terbatas.
Jadi, semoga bagi siapapun yang akan atau biasa ikut lomba menulis cerpen, bisa mengambil persiapan besar jauh sebelum lomba. Ya, untuk antisipasi saja. Karena ditakutkan dengan ketentuan lomba yang terkadang terasa sangat mengerikan seperti contohnya lomba ini. Jauh mengerikan dari Voldemort. Ini serius.

Begitulah yang namanya TM. Tidak ada yang bisa menebak pikiran orang selain orang itu sendiri. Peserta cuma pion yang harus jalan terus di barisan paling depan. Hidup mati jalani saja. Karena semua nasib ada di tangan Tuhan lewat perantara dewan juri, tentu saja.

Sama seperti ketika pembina aku selesai dan coba mencari tahu kondisi TM aku yang belum selesai. Ruangan yang kedap suara membuat kami hanya main istilah. Dari luar, pak Antok hanya sempat menggerakkan bibir bertanya.. “bagaimana?” tanpa suara yang bisa aku dengar.
Dengan singkat mewakili segalanya.. aku gerakan isyarat satu jari telunjuk melintang memotong leher.  

*maaf foto pas TM nggak ada. Entah kehapus atau kenapa*

Oh, Palembang.. bersahabatlah denganku!

Sifah out!


Sampai jumpa di part 3 

No comments:

Post a Comment