Juanda :) |
Hai, everyone!
Aku kembali lagi,
nih dengan part 2 untuk diary abal-abal tentang perjalanan ikut kompetisi
PORSENASMA 3 di Palembang akhir April lalu. Selesai dengan part 1 kali ini aku
sudah siap untuk membagi kisah di part 2nya. Bagi yang belum sempat baca
bagaimana awal kisah ini di mulai, bisa klik DI SINI.
Baiklah,
sebelumnya aku mau sampaikan salam terbaik untuk kalian semua para pembaca yang
budiman. Selamat Menjalankan Ibadah Puasa Ramadhan 1438 H. Karena berhubung
part 2 ini aku tulis tepat di bulan puasa. Agak lama, ya, dengan yang part 1.
Tapi semoga kalian bisa berkenan dengan kisah ini tetap aku lanjut.
Back to topic, ketika semua sudah jelas bagaimana perkara
pemilihan kontingen, perjalanan di mulai dari bandara Juanda Sidoarjo untuk antre
pesawat *astaga bahasanya*. Tidak ada yang delay untuk pesawat keberangkatan
kami kali ini. Sekitar siang take off buat transit ke bandara Soekarno-Hatta di
Cengkareng dulu. Ini yang paling empet tiap transit. Untuk pengalaman kemarin, ada sekitar tiga jam untuk
menunggu pesawat sampai dan kembali terbang lagi. Dalam kondisi lelah seperti itulah
butuh yang namanya kekompakan. Yang namanya capek pasti emosi bisa naik turun. Itulah yang sempat terjadi, khususnya untuk para peserta. Pembina aku tidak tahu.
Pada ribet sendiri waktu sebagian masuk ada yang masih di luar -_- |
Harus ada struktur yang tepat kalau berangkat
berkelompok dalam acara apapun. Ini penting. Pesan saja untuk siapapun itu, sebagai pelajaran jangan sampai
lepas dari rombongan dan saling menunggu, itu kuncinya. Jangan egois untuk berjalan sendirian, terlebih karena sudah pengalaman. Nope! Hanya itu yang sering aku sesalkan ketika
berangkat maupun kepulangan kemarin. Banyak yang tidak terurus. Pontang panting
kami harus mencari tempat sendiri. Di tinggal ketika di toilet, tidak
dipedulian di tengah kerumunan. Meski sudah dewasa, ini namanya rombongan. Satu dengan yang lain jadi satu. Tanggung jawab bersama-sama untuk saling jaga.
Ohh aku mohon dengan sangat!! Kalau sudah
hilang, baru repot dan saling menyalahkan.
Nyampe Palembang! |
Baru sekitar satu jam terbang, kami mendarat sempurna di Palembang sekitar jam enam malam.
Penuh banget
waktu sampai dengan rombongan lain yang juga datang tanggal 24 April malam itu.
Bahkan untuk memudahkan, panitia lomba menyediakan stan khusus di area kedatangan untuk laporan tiap kontingen yang sudah menginjakkan kaki di
tanah Palembang. Sampai ketemuan dengan LO untuk kontingen kami dari Tuban,
yaitu mbak Pebria *maaf kalau salah ketik. Seingatku namanya pakai ‘P’* dan mbak
Hesti.
Malam itu juga kami
diboyong semua naik bus ke Jakabaring. Semua kontingan—kecuali beberapa
kontingen yang kabarnya menginap di hotel lain—diinapkan di Wisma Atlet kawasan
Kampung Atlet di Jakabaring Sport Center. Kami sempat diperbolehkan
masuk untuk menunggu di loby latai bawah sebelum mendapat kamar untuk
istirahat.
Tiang listik depan Wisma Atlet |
Malam semakin
larut saat kami sampai. Jam sembilan bahkan lebih, kami belum dapat kepastian
untuk tidur di kamar mana. Untuk sekadar info saja, Wisma Atlet di Jakabaring
Palembang ada beberapa gedung. Disebut Apartemen A, B, C dan alfabet yang
lainnya. Setiap apartemen ada sekitar empat lantai dan beberapa kamar saling
bersebelahan.
Baru sampai. Nunggu pembagian kamar di lantai bawah |
Panita sempat
memberi arahan pada kami semua sebelum benar-benar mendapat kamar. Mulai dari
peraturan yang mereka terapkan di sana. Salah satunya adalah larangan merokok.
Setiap sudut gedung terpasang sensor asap yang bisa mendeteksi asap jenis
apapun. Cara ini dipakai dengan alasan menjaga kualitas udara di sekitar
gedung. Ya, maklum saja yang tinggal di sana adalah para atlet. Serius ya, baru
kali ini aku bisa dapat label spesial sebagai atlet. Kalau diingat status itu
bahkan nggak mungkin buat aku yang olahraga saja selalu peringkat kedua
terakhir sejak SD sampai SMA. Oke.. jangan dibahas -_-
Sampai satu persatu
kejelasan tentang kapan kita istirahat tiba. Makan malam dan snack kami datang.
Ini adalah hal paling pahit selama aku tinggal di Palembang. Makan. Puncak
penderitaan aku ada di makanan. Makanan pertama yang aku dapat nggak kesentuh. Nasinya kering dan masakan yang.. nggak cocoklah. Cuma snack yang lumayan bisa isi perut.
Setelah selesai... akhirnya pembagian kamar sudah ditentukan.
Ada perubahan
dari pembagian di awal ketika para pembina merancang
siapa-akan-tidur-dengan-siapa. Masih dengan ketetapan awal kalau aku akan tidur
berlima dengan para perempuan peserta lain. Hanya saja ada perubahan nama. Ada
yang dipindah ruang dan jadilah... aku, mbak Inna, mbak Septi, mbak Nida, dan
mbak Lusi menjadi tuan putri di kamar B233. Letaknya ada di lantai dua pinggir--nggak pinggir juga, sih. *bersyukurnya minta ampun nggak tinggi-tinggi*
Kamar para ciwi-ciwi—begitu
orang-orang menyebut kami berlima yang heboh sendiri.
Untuk kejelasan
kamar seperti yang dipaparkan panitia, kamar disediakan enam ranjang. Pada
masing-masing kamar dibagi enam ruang dengan pendingin ruangan (AC). Ruang tamu
mini (meja kecil, dua sofa tunggal, bantal besar, lemari pendingin, telepon,
lemari sepatu) +2 ranjang + 1 nakas dan 2 loker, disekat dengan dinding dan
pintu untuk kamar privat yang terdiri dari 4 ranjang, 4 loker. Di bagian
samping ada mini kitchen. Kaca besar, sink, dan lemari penyimpanan.
Bersebelahan dengan toilet dengan berbatas partisi gantung yang langsung
dipisah dengan kamar mandi shower + segala
perlengkapan mandi yang lengkap.
Sayangnya semua
itu sisa perlengkapan mandi yang belum sempat digunakan ketika SEA Games tahun
2011 lalu. Bayangkan sabun-sabun yang putih menjadi kuning keemasan saking
lamanya -_- *6 tahun, guys! untung bawa sendiri*. Dan
salah satu tempat lumayan untuk cari pemandangan adalah balkon kecil yang
langsung berhadapan ke Apartemen C—tempat menginapnya pemain Sriwijaya FC. Ya,
kecil. Nggak seluas balkonnya Beyonce di video klip 7/11 *wkwkwkw.. apaan sih*
Lepas dari itu,
kami bisa lumayan beristirahat untuk malam itu. Alhamdulillah.
Seberang itu kamar pemain Sriwijaya FC. Tapi aku gk paham :) |
Besoknya adalah full
untuk Technical Meeting (TM) semua cabor dan seni *kalo tidak salah
kecuali karate*. Ada satu kegiatan rutin untuk kontingen kampusku. Yaitu olahraga pagi *tapi pada males dan banyak nggak jadinya*.
Kembali ke TM, TM ini di pusatkan di beberapa
tempat wilayah kampus Universitas PGRI Palembang selaku tuan rumah. Kami pakai
atribut kontingen selama mengikuti apapun di sana. Tapi sebelum berangkat, kami
sempat jalan-jalan pagi dulu keliling Jakabaring sebelum antre sarapan di
Dinning Hall karena memang nggak jadi olahraga bareng.
Pintu samping stadion Gelora Sriwijaya |
Gerbang Stadion Gelora Sriwijaya |
Antre sarapan mahasiswaPGRI se-Indonesia ^_^ |
Tempat ini
luasnya minta ampun. Saat kami sarapan pertama saja, antrenya perlu sabar-sabar.
Mahasiswa PGRI se-Indonesia. Dan makanannya.. selalu ayam -_- Cukup, lagi
puasa. Nanti saja bahas makanan.
Akomodasi keberangkatan adalah belasan bahkan puluhan bus yang siap antar masing-masing kontingen.
Untuk TM ini kami disebar. Setelah ada penyambutan resmi dari para petinggi...
Idk siapa saja bapak-bapak itu—mereka mengenalkan nama, para penanggungjawab
lomba masing-masing cabor/seni, sampai segala tetek bengek adanya PORSENASMA.
Datang duluan. Panggung penyambutan dibuat foto-foto dulu :) |
Sempat hujan
deras. Bahkan beberapa kali hari-hari di sana hujan.Tapi untung sama sekali
tidak terasa karena kami di dalam gedung. Dari lantai 4 untuk penyambutan itu,
kami siap disebar ke masing-masing ruangan di gedung itu untuk melakukan TM.
Mestinya, masing-masing peserta akan didampingi official/pembinanya. Tapi untuk
kesempatan ini.. dengan lapang dada saya menerima dilepas sendirian.
“Nanti sendiri
ndak apa ya, Fah! Saya dampingi mbak Inna.”
Pak Antok jadi
pendamping/pembina/official untuk aku dan mbak Inna sekaligus (cerpen dan pembacaan
puisi). Sempat dilihat banyak masalah di bagian puisi, alhasil pak Antok merasa
perlu untuk mendampingi tangkai lomba puisi dan melepas aku.. sendirian. So,
dengan segala keberanian yang ada.. lepaslah aku masuk ruangan TM dengan
peserta lain yang didampingi pembina masing-masing. Aku sangat memklumi itu dan
pasrah sebagaimana adanya. *takut juga, sih*
Seperti TM yang
sering-sering jadi momok menakutkan sebelum lomba, aku merasa memang tidak
hanya puisi yang bermasalah. Cerpen pun bermasalah. Dan.. Benar kataku. Masalah.. masalah.. belum lagi peserta lain kesannya jadi musuh. Serius. Auranya beda banget.
Dari juknis
(petunjuk teknis) yang disebar jauh-jauh hari lewat buku pedoman ternyata berubah
jauh dari bayangan aku selama ini. Jadi begini, kawan, satu diantara peraturan
yang tertulis adalah peserta diharap membawa laptop—paling tidak begitu isinya.
Tapi nyatanya, menurut panitia yang-berasal-dari-keputusan-dewan-juri
mengatakan kalau peserta tidak diperbolehkan membawa laptop. Bahkan flasdisk,
catatan kecil, dan barang-barang lain pun tidak boleh. Kami di tempatkan di lab
bahasa Inggris yang full dengan komputer. Jadi barang elektronik apapun seperti
ponsel jadi barang ‘haram’ di ruangan lomba nanti. Dan yang paling mematikannya
adalah.. durasi hanya 3 jam langsung berpikir dan nulis di tempat tanpa amunisi
apapun.
What the
hell!!
Aku setuju sebenarnya untuk tanpa catatan
kecil, tapi dengan masalah tanpa data dan riset sebelum nulis, aku rasa itu
membunuh sekali. Belum selesai terkejut dengan peraturan yang diubah, panitia
menyebut satu persatu nama juri yang akan menilai. Ada nama-nama seperti Imas
Sobaria dari teater Satu Lampung, Dian Susi L. dari peneliti pusat bahasa
Sumsel, sampai Pipit Herlina cerpenis nasional... Hem.. sebagaimana yang
diajarkan di lomba-lomba sebelumnya, juri jadi poin ke sekian untuk dipikirkan.
Karena yang penting adalah aspek-aspek penilaian yang harus dipenuhi setiap
lomba menulis cerpen.
Seperti.. judul,
unsur intrinsip dengan poin relevan dengan judul, keberadaan dimensi cerita,
kebahasaan, gaya bahasa, cara penulisan, kepaduan plot, dimensi tokoh, latar,
kesesuaian bahasa sampai EYD yang sempat jadi perdebatan. Meski ujung-ujungnya
tidak ada perubahan meski sempat banyak yang protes -_-
Ya, menurut
pengalaman lomba di mana pun itu, cara panitia seperti ini sebenarnya agak ketat—memang
ketat—sekali. Biasanya, untuk standart nasional durasi bisa sampai 8 jam,
kemudian ruangan lomba yang fleksibel dengan kebebasan mencari data. Maksudnya
seperti ini, dengan cara apapun peserta yang semuanya adalah bekerja dengan
menulis dan imajinasi tidak ada yang namanya kekangan. Aku ingat sekali ketika
ikut PEKSIMINAS, Putu Fajar yang menjadi juri mengatakan pekerjaan penulis itu
tidak bisa dikekang bahkan untuk urusan lomba pun. Tulisan seseorang bisa
dengan mudah dinilai dari hasil kerjanya. Kalau memang takut untuk curang, juri
pasti tahu semua itu.
Aku tidak
menyalah siapapun dengan peraturan seperti itu. Hanya saja aku sangat berharap
panitia dan dewan juri bisa sedikit memahami cara kerja peserta—khususnya menulis,
di tengah tekanan besar membuat tulisan yang baik dengan durasi waktu yang
sangat terbatas.
Jadi, semoga bagi
siapapun yang akan atau biasa ikut lomba menulis cerpen, bisa mengambil
persiapan besar jauh sebelum lomba. Ya, untuk antisipasi saja. Karena
ditakutkan dengan ketentuan lomba yang terkadang terasa sangat mengerikan
seperti contohnya lomba ini. Jauh mengerikan dari Voldemort. Ini serius.
Begitulah yang
namanya TM. Tidak ada yang bisa menebak pikiran orang selain orang itu sendiri.
Peserta cuma pion yang harus jalan terus di barisan paling depan. Hidup mati
jalani saja. Karena semua nasib ada di tangan Tuhan lewat perantara dewan juri, tentu saja.
Sama seperti
ketika pembina aku selesai dan coba mencari tahu kondisi TM aku yang belum
selesai. Ruangan yang kedap suara membuat kami hanya main istilah. Dari luar,
pak Antok hanya sempat menggerakkan bibir bertanya.. “bagaimana?” tanpa suara
yang bisa aku dengar.
Dengan singkat
mewakili segalanya.. aku gerakan isyarat satu jari telunjuk melintang memotong
leher.
*maaf foto pas TM nggak ada. Entah kehapus atau kenapa*
Oh, Palembang.. bersahabatlah
denganku!
Sifah out!
Sampai jumpa di
part 3
No comments:
Post a Comment