Hi, everyone!
Lanjut dengan kisah
terakhir untuk diary.. ya begitulah—soal kegiatan PORSENASMA di Palembang April
lalu. Yang belum simak Part 1 DI SINI dan Part 2 DI SINI
Kita lanjut, ya!
Perlombaan di
mulai sejak tanggal 26 April 2017. Tepatnya hari Rabu setelah pembukaan di
Dinning Hall yang sama seperti setiap sarapan. Rame sekali dengan nyanyian,
tarian, sampai sambutan, dan defile tiap kontingen yang diwakili tiga orang. Di
sana, bu Dian— rektor UNIROW sempat datang dan menyemangati kami semua. Ahh
senangnya.
Pembukaan |
Nggak hapal Mars PGRI *jangan ditiru* |
Rabu itu sejak
pagi kami sudah siap dibagi beberapa orang untuk ikut ke beberapa cabang lomba
sebagai supporter (untuk yang belum dapat jatah lomba). Lomba yang pertama
kontingen kami ikuti ada atletik, bulu tangkis, pencak silat, catur, dan nyanyi
pop. Sebagian mulai disebar untuk ikut di lomba mana. Nah, saat itu sebenarnya
aku dan mbak Lusi (lomba film pendek) harusnya ikut bulu tangkis dan tetap
tinggal di wisma. Tapi karena kami penasaran dengan pencak silat –yang diwakili
oleh Santi, akhinya kami diperbolehkan untuk ikut jadi supporter pencak silat
dengan mas Kanang (pendamping karate), Winda (lomba karate), mbak Hesti (LO)
dan bu Ari sebagai pendamping/pembina pencak silat. Sampai ada istilah buat aku
dan mbak Lusi waktu itu.. ‘supporter slundupan’ (supporter gelap, sisipan) ya sudah lah..
semua pasti diharapkan ada hikmahnya.
Pak Menteri Olahraga |
Pembukaan cabor Pencak Silat |
Sejak pagi sampai
sampai sore, aku ikut mendampingi lomba pencak silat. Ya, baru kali itulah aku
lihat bagaimana cara kerja pencak silat dilombakan. Apa yang aku rasakan..
sakit semua. Setelah pembuakaan yang keren banget pakai acara teatrikal ala pencak silat segala. Bagus banget!
“Dua menit di
sana rasanya sudah seperti ajang kematian para peserta. Napas kayak siap mau diputus.”
Begitu penggambaran
bu Ari saat jelaskan bagaimana situasi peserta di gelanggang sana. Oh ya,
lokasi lombanya ada di SON Jakabaring. Agak jauh dari area Jakabaring Sport
Center (JSC) sekitar 20 menitan naik bus. Lumayan capek.
Kalau tidak
salah, kelas partai tanding Santi waktu itu ada di nomor belasan—lupa tepatnya
berapa. Lawannya dari Kediri. Dari pengamatan fisik yang aku lihat, ya.. memang
agak tidak seimbang dengan kondisi Santi saat itu. Tapi berharap besar memang
sangat dibutuhkan optimis.. itu penting. Sampai giliran Santi tanding, semuanya
campur aduk.
Takut. Takut
kalau saja Santi mengalami hal yang sama dengan peserta laki-laki yang banyak
cedira. Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana tangan salah satu
peserta patah, ketendang area sensitifnya sampai muka dan leher itu kena hantam
kepalan tangan lawan tandingnya. Tepat saat Santai mulai masuk cuma doa yang
terus aku ucap. Apalagi saat grup terus mengabarkan info peserta lain yang
berlomba hari itu belum ada yang mendapat kemenangan.
Satu persatu
pukulan dan bantingan Santi dapat. Di ronde ke 2, wasit benar-benar merasa
pertandingan tidak seimbang.. dan Santi kalah.
Tidak ada yang
bisa kami bicarakan banyak meski sempat bapak driver yang mengantar kami pulang
ke wisma memberi kami kesempatan keliling ke sebagian sudut kota Palembang. Cuma-cuma.
Menyenangkan sekali meski di saat hati benar-benar sedang down.
Bu Ari, mbak Lusi, Winda, mas Kanang, aku, Santi jalan-jalan tersembunyi ke Ampera |
Sampai satu
persatu teman-teman gugur dengan tanpa membawa medali apapun.
Kamis, di hari
kedua pertandingan, ada harapan besar ketika mbak Inna (puisi) masuk sebagai
peserta di babak final untuk merebutkan medali emas, perak, dan perunggu. Aku
sempat mendampingi mbak Inna di paginya. Tapi saat malam, aku tidak dibolehkan
ikut. Masalahnya karena Jumat esoknya giliran aku yang lomba.
Aksi mbak Inna di lomba baca puisi putri |
Juri puisi |
Foila.. malam di saat banyak teman-teman yang tidur kabar bahagia datang. Mbak Inna bawa pulang medali perak (juara dua) untuk kategori baca puisi putri dan menggemparkan kamar kami. Itu adalah medali pertama yang dibawa kampus kami setelah kekalahan demi kekalahan kami terima. Satu hal yang saat itu langsung menjadi beban adalah.. giliran aku.. bagaimana?
Jumat. Aku ulangi
lagi, Jumat. Hari Jumat. Sama seperti hari yang pernah aku lalui ketika lomba
PEKSIMINAS di Kendari tahun lalu. Entah kenapa, sejak kekalahan di Sulawesi
saat itu, aku jadi punya ketakutan dengan kompetisi apapun yang diadakan di hari
Jumat. Aku takut. Aku takut mengulang kesalahan ‘konyol’ seperti waktu itu.
Apalagi.. banyak
sekali harapan besar muncul sebelum aku berangkat. Bermodal pemahaman akhir
ketika konsultasi dengan pembina setelah TM lalu, bismillah masuklah ke ruangan
lomba dengan membawa nomor peserta 2. Semua pikiran, bayangan kegagalan, gugup,
campur aduk jadi satu.
Lomba cerpen
dimulai dengan tema yang diminta juri adalah kebersamaan dalam keberagaman
kebudayaan. Jatung serasa mau lepas. Tema kuat yang sudah terbilang umum itu
jadi terkesan mengerikan dan berat sekali. Tiga jam aku coba bagi untuk
memikirkan plot cerita, konflik, bagaimana aku menulisnya, sampai sesi terakhir
untuk mengedit. Sempat ada kendala saat itu. Komputer tempatku duduk ternyata
error. Untuk itu belum mulai jadi sempat minta tukar dengan komputer lain.
Banyak kejadian
lucu yang kalau dipikir.. bodo banget lu, Fah! Serius. Salah satunya
adalah ketika ngetik. Aku terbiasa ngetik dengan laptop tanpa mouse untuk menggerakkan
pointernya. Nah, kalau laptop biasa pakai touchpad, aku sering lupa kalau yang
aku buat mengetik saat itu adalah keybord komputer yang harus menggunakan mouse.
Alhasil, tombol space sering aku sentuh-sentuh seolah ada touchpadnya. Hahaha..
kalau inget jadi ketawa sendiri. Tangan getar bukan main takutnya. Tiga jam
tangan shaking so bad!
Karena durasi
yang nggak lama, tepat pukul 12 siang aku keluar. Langsung deh si bapak pembina aku yang
jangkung sekali *ampun, pak* datang dengan ekspresi tegang sambil tanya.
Selesai?
Selesai!
Ending?
Ending!
Sipp! Dan kami
langsung kembali ke lantai bawah untuk kembali ke wisma. Ya karena pengumuman
baru malamnya.
Nunggu pak Antok Jumatan di bus. Mau pulang setelah lomba |
Mbak Septi (nyanyi keroncong) lagi nyoba panggung. Efek datang duluan :) |
Sepanjang itu, di
wisma aku dan teman-teman sekamar saling bertukar cerita. Saling berbagi tentang
perasaan yang dirasa mereka ketika akhirnya.. mereka tidak bisa membawa
kemenangan. Ada raut-raut kekecewaan di tengah nada bercanda mereka saat
bercerita. Ada rasa iri dan malu bercampur jadi satu. Kekecewaan ketika PERLAKUAN
YANG MEREKA TERIMA TIDAK LAGI SAMA.. tanpa pernah menjaga persaan mereka sama
sekali. Ya, kalau boleh jujur apa yang pernah teman-teman aku ceritakan saat
itu pernah dan sama dengan yang aku alami sebelumnya.
Mungkin bagi yang
sudah membaca kisah diary PEKSIMINAS part 3 (bisa dibaca DI SINI) tahu
bagaimana perasaan aku ketika mengalami kegagalan. Itulah yang sama dilami oleh teman-teman
ketika mereka harus gagal dengan usaha mereka.
Mereka merasa
sudah menjadi berbeda ketika tidak bisa membawa nama baik kampus kami. Aku tahu
rasanya. Aku tahu.
Ya.. aku sendiri
tidak tahu harus bersikap seperti apa. Bahkan ketika mereka takut akan
mengalami perlakuan yang sama seandainya aku mendapat kemenangan yang tidak
mereka dapatkan untuk kesekian kalinya. Aku tidak mau mereka harus bersedih
ketika aku senang. Rasanya kemenangan itu hanya hal kecil ketika melihat kesedihan
mereka jauh lebih besar.
Apapun itu, pada
posisi seperti itu adalah saat yang paling tidak enak dalam sebuah kompetisi. Secara
pribadi, aku sudah sering mendapati kondisi semacam itu. Berada di posisi yang sama.
Bagaimana pun kekalahan membuat semuanya berubah. Pasti. Jangan munafik untuk
mengakuinya. Segala macam upaya coba aku lakukan untuk membuat hati teman-teman
yang belum mendapat kemenangan lebih tenang. Bukan hanya Santi saja. semuanya.
Untuk teman-teman
sekalian, lihatlah dari sisi terbesar yang pertama bisa kamu lihat. Jika
kekalahan itu jauh lebih menyakitkan, lihatlah. Angkat mereka yang jatuh dan
jangan pernah membuang mata pada mereka. Bersikaplah seolah merekalah
pemenangnya. Bukan saya, mbak Inna atau pemenang yang lain yang harus
dibanggakan. Mereka juga telah berusaha membanggakan.
Banggalah ketika
mereka yang kalah masih memiliki langkah besar untuk menang. Nanti. Bukan
mengacuhkannya seperti layaknya mereka bukan siapa-siapa. Menakutkan loh
sendirian tanpa ada yang peduli.
Will you catch
me if I fall?
Pertanyaan itu
pernah terlontar sebagai perenungan untuk diri aku pribadi. Mungkinkah, ketika aku
gagal dan tidak mendapat apa yang harusnya aku dapat, harus jatuh tanpa ada
penopang yang siap menguatkan kembali.
Siapa yang mau
menguatkan seseorang yang telah mengecewakan?
Alhamdulillah, tangisan
yang pecah ketika nomor pesertaku disebut sebagai pemenang ke dua terbayar
sudah. Aku takut terlalu berlebihan kalau aku ceritakan di sini. Emosional. Kesempatan kemenangan yang aku dapat ini menjawab segalanya. Tentang
kesempatan itu. Peringkat kedua ini menjadi obat untuk segala sakit yang aku
alami selama kompetisi.. dan kemenangan untuk semua kegagalan yang pernah aku
alami sebelumnya. Yang pernah teman-teman alami sebelunnya pula. Dan semuanya
yang pernah aku kecewakan dulu.
Untuk kesempatan
ini, teman-teman siapapun kalian.. percayalah jika kegagalan hanya cara untuk
bisa berhasil. Tidak ada yang dinaikkan kalau tidak ada yang jatuh terlebih
dulu.
Terima kasih
untuk pelajaran dan pengalaman hidup yang luar biasa ini. Aku sudah kehabisan
topik untuk dibahas.. hehehe.. Biar
beberapa kisah yang tidak sempat aku tulis akan jadi kenangan di kepala saja.
Cukup aku dan Tuhan yang tahu.
Untuk semua yang
merindukan perjuangan. Kemenangan datang bersama kesempatan yang terbuka di
depan sana. Mumpung masih muda, ambil resiko terbesar dan jangan siakan
kesempatan. Selamat untuk kita semua!
Terima kasih,
Sifah 03/06/2017
setuju, kegagalan adalah awal dari keberhasilan, jangan menyerah
ReplyDelete