Assalamualaikum.. welcome to my blog, guys..!! ^_^

Adsense

Sunday, June 04, 2017

Diary PORSENASMA PGRI III 2017 Palembang (Part 3) : Scared to be Lonely? Yeah!

Hi, everyone!

Lanjut dengan kisah terakhir untuk diary.. ya begitulah—soal kegiatan PORSENASMA di Palembang April lalu. Yang belum simak Part 1 DI SINI dan Part 2 DI SINI
Kita lanjut, ya!

Perlombaan di mulai sejak tanggal 26 April 2017. Tepatnya hari Rabu setelah pembukaan di Dinning Hall yang sama seperti setiap sarapan. Rame sekali dengan nyanyian, tarian, sampai sambutan, dan defile tiap kontingen yang diwakili tiga orang. Di sana, bu Dian— rektor UNIROW sempat datang dan menyemangati kami semua. Ahh senangnya.

Pembukaan

Nggak hapal Mars PGRI *jangan ditiru*
Rabu itu sejak pagi kami sudah siap dibagi beberapa orang untuk ikut ke beberapa cabang lomba sebagai supporter (untuk yang belum dapat jatah lomba). Lomba yang pertama kontingen kami ikuti ada atletik, bulu tangkis, pencak silat, catur, dan nyanyi pop. Sebagian mulai disebar untuk ikut di lomba mana. Nah, saat itu sebenarnya aku dan mbak Lusi (lomba film pendek) harusnya ikut bulu tangkis dan tetap tinggal di wisma. Tapi karena kami penasaran dengan pencak silat –yang diwakili oleh Santi, akhinya kami diperbolehkan untuk ikut jadi supporter pencak silat dengan mas Kanang (pendamping karate), Winda (lomba karate), mbak Hesti (LO) dan bu Ari sebagai pendamping/pembina pencak silat. Sampai ada istilah buat aku dan mbak Lusi waktu itu.. ‘supporter slundupan’  (supporter gelap, sisipan) ya sudah lah.. semua pasti diharapkan ada hikmahnya.

Pak Menteri Olahraga

Pembukaan cabor Pencak Silat



Sejak pagi sampai sampai sore, aku ikut mendampingi lomba pencak silat. Ya, baru kali itulah aku lihat bagaimana cara kerja pencak silat dilombakan. Apa yang aku rasakan.. sakit semua. Setelah pembuakaan yang keren banget pakai acara teatrikal ala pencak silat segala. Bagus banget!

“Dua menit di sana rasanya sudah seperti ajang kematian para peserta. Napas kayak siap mau diputus.”

Begitu penggambaran bu Ari saat jelaskan bagaimana situasi peserta di gelanggang sana. Oh ya, lokasi lombanya ada di SON Jakabaring. Agak jauh dari area Jakabaring Sport Center (JSC) sekitar 20 menitan naik bus. Lumayan capek.
Kalau tidak salah, kelas partai tanding Santi waktu itu ada di nomor belasan—lupa tepatnya berapa. Lawannya dari Kediri. Dari pengamatan fisik yang aku lihat, ya.. memang agak tidak seimbang dengan kondisi Santi saat itu. Tapi berharap besar memang sangat dibutuhkan optimis.. itu penting. Sampai giliran Santi tanding, semuanya campur aduk.

Takut. Takut kalau saja Santi mengalami hal yang sama dengan peserta laki-laki yang banyak cedira. Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana tangan salah satu peserta patah, ketendang area sensitifnya sampai muka dan leher itu kena hantam kepalan tangan lawan tandingnya. Tepat saat Santai mulai masuk cuma doa yang terus aku ucap. Apalagi saat grup terus mengabarkan info peserta lain yang berlomba hari itu belum ada yang mendapat kemenangan.

Satu persatu pukulan dan bantingan Santi dapat. Di ronde ke 2, wasit benar-benar merasa pertandingan tidak seimbang.. dan Santi kalah.

Tidak ada yang bisa kami bicarakan banyak meski sempat bapak driver yang mengantar kami pulang ke wisma memberi kami kesempatan keliling ke sebagian sudut kota Palembang. Cuma-cuma. Menyenangkan sekali meski di saat hati benar-benar sedang down.

Bu Ari, mbak Lusi, Winda, mas Kanang, aku, Santi jalan-jalan tersembunyi ke Ampera

Sampai satu persatu teman-teman gugur dengan tanpa membawa medali apapun.
Kamis, di hari kedua pertandingan, ada harapan besar ketika mbak Inna (puisi) masuk sebagai peserta di babak final untuk merebutkan medali emas, perak, dan perunggu. Aku sempat mendampingi mbak Inna di paginya. Tapi saat malam, aku tidak dibolehkan ikut. Masalahnya karena Jumat esoknya giliran aku yang lomba.


Aksi mbak Inna di lomba baca puisi putri

Juri puisi

Foila.. malam di saat banyak teman-teman yang tidur kabar bahagia datang. Mbak Inna bawa pulang medali perak (juara dua) untuk kategori baca puisi putri dan menggemparkan kamar kami. Itu adalah medali pertama yang dibawa kampus kami setelah kekalahan demi kekalahan kami terima. Satu hal yang saat itu langsung menjadi beban adalah.. giliran aku.. bagaimana?

Jumat. Aku ulangi lagi, Jumat. Hari Jumat. Sama seperti hari yang pernah aku lalui ketika lomba PEKSIMINAS di Kendari tahun lalu. Entah kenapa, sejak kekalahan di Sulawesi saat itu, aku jadi punya ketakutan dengan kompetisi apapun yang diadakan di hari Jumat. Aku takut. Aku takut mengulang kesalahan ‘konyol’ seperti waktu itu.

Apalagi.. banyak sekali harapan besar muncul sebelum aku berangkat. Bermodal pemahaman akhir ketika konsultasi dengan pembina setelah TM lalu, bismillah masuklah ke ruangan lomba dengan membawa nomor peserta 2. Semua pikiran, bayangan kegagalan, gugup, campur aduk jadi satu.
Lomba cerpen dimulai dengan tema yang diminta juri adalah kebersamaan dalam keberagaman kebudayaan. Jatung serasa mau lepas. Tema kuat yang sudah terbilang umum itu jadi terkesan mengerikan dan berat sekali. Tiga jam aku coba bagi untuk memikirkan plot cerita, konflik, bagaimana aku menulisnya, sampai sesi terakhir untuk mengedit. Sempat ada kendala saat itu. Komputer tempatku duduk ternyata error. Untuk itu belum mulai jadi sempat minta tukar dengan komputer lain.

Banyak kejadian lucu yang kalau dipikir.. bodo banget lu, Fah! Serius. Salah satunya adalah ketika ngetik. Aku terbiasa ngetik dengan laptop tanpa mouse untuk menggerakkan pointernya. Nah, kalau laptop biasa pakai touchpad, aku sering lupa kalau yang aku buat mengetik saat itu adalah keybord komputer yang harus menggunakan mouse. Alhasil, tombol space sering aku sentuh-sentuh seolah ada touchpadnya. Hahaha.. kalau inget jadi ketawa sendiri. Tangan getar bukan main takutnya. Tiga jam tangan shaking so bad!

Karena durasi yang nggak lama, tepat pukul 12 siang aku keluar.  Langsung deh si bapak pembina aku yang jangkung sekali *ampun, pak* datang dengan ekspresi tegang sambil tanya.

Selesai?
Selesai!
Ending?
Ending!

Sipp! Dan kami langsung kembali ke lantai bawah untuk kembali ke wisma. Ya karena pengumuman baru malamnya.

Nunggu pak Antok Jumatan di bus. Mau pulang setelah lomba

Mbak Septi (nyanyi keroncong) lagi nyoba panggung. Efek datang duluan :)
Sepanjang itu, di wisma aku dan teman-teman sekamar saling bertukar cerita. Saling berbagi tentang perasaan yang dirasa mereka ketika akhirnya.. mereka tidak bisa membawa kemenangan. Ada raut-raut kekecewaan di tengah nada bercanda mereka saat bercerita. Ada rasa iri dan malu bercampur jadi satu. Kekecewaan ketika PERLAKUAN YANG MEREKA TERIMA TIDAK LAGI SAMA.. tanpa pernah menjaga persaan mereka sama sekali. Ya, kalau boleh jujur apa yang pernah teman-teman aku ceritakan saat itu pernah dan sama dengan yang aku alami sebelumnya.

Mungkin bagi yang sudah membaca kisah diary PEKSIMINAS part 3 (bisa dibaca DI SINI) tahu bagaimana perasaan aku ketika mengalami kegagalan.  Itulah yang sama dilami oleh teman-teman ketika mereka harus gagal dengan usaha mereka.
Mereka merasa sudah menjadi berbeda ketika tidak bisa membawa nama baik kampus kami. Aku tahu rasanya. Aku tahu.

Ya.. aku sendiri tidak tahu harus bersikap seperti apa. Bahkan ketika mereka takut akan mengalami perlakuan yang sama seandainya aku mendapat kemenangan yang tidak mereka dapatkan untuk kesekian kalinya. Aku tidak mau mereka harus bersedih ketika aku senang. Rasanya kemenangan itu hanya hal kecil ketika melihat kesedihan mereka jauh lebih besar.

Apapun itu, pada posisi seperti itu adalah saat yang paling tidak enak dalam sebuah kompetisi. Secara pribadi, aku sudah sering mendapati kondisi semacam itu. Berada di posisi yang sama. Bagaimana pun kekalahan membuat semuanya berubah. Pasti. Jangan munafik untuk mengakuinya. Segala macam upaya coba aku lakukan untuk membuat hati teman-teman yang belum mendapat kemenangan lebih tenang. Bukan hanya Santi saja. semuanya.

Untuk teman-teman sekalian, lihatlah dari sisi terbesar yang pertama bisa kamu lihat. Jika kekalahan itu jauh lebih menyakitkan, lihatlah. Angkat mereka yang jatuh dan jangan pernah membuang mata pada mereka. Bersikaplah seolah merekalah pemenangnya. Bukan saya, mbak Inna atau pemenang yang lain yang harus dibanggakan. Mereka juga telah berusaha membanggakan.
Banggalah ketika mereka yang kalah masih memiliki langkah besar untuk menang. Nanti. Bukan mengacuhkannya seperti layaknya mereka bukan siapa-siapa. Menakutkan loh sendirian tanpa ada yang peduli.

Will you catch me if I fall?

Pertanyaan itu pernah terlontar sebagai perenungan untuk diri aku pribadi. Mungkinkah, ketika aku gagal dan tidak mendapat apa yang harusnya aku dapat, harus jatuh tanpa ada penopang yang siap menguatkan kembali.

Siapa yang mau menguatkan seseorang yang telah mengecewakan?

Alhamdulillah, tangisan yang pecah ketika nomor pesertaku disebut sebagai pemenang ke dua terbayar sudah. Aku takut terlalu berlebihan kalau aku ceritakan  di sini. Emosional. Kesempatan kemenangan yang aku dapat ini menjawab segalanya. Tentang kesempatan itu. Peringkat kedua ini menjadi obat untuk segala sakit yang aku alami selama kompetisi.. dan kemenangan untuk semua kegagalan yang pernah aku alami sebelumnya. Yang pernah teman-teman alami sebelunnya pula. Dan semuanya yang pernah aku kecewakan dulu.




Untuk kesempatan ini, teman-teman siapapun kalian.. percayalah jika kegagalan hanya cara untuk bisa berhasil. Tidak ada yang dinaikkan kalau tidak ada yang jatuh terlebih dulu.
Terima kasih untuk pelajaran dan pengalaman hidup yang luar biasa ini. Aku sudah kehabisan topik untuk dibahas.. hehehe..  Biar beberapa kisah yang tidak sempat aku tulis akan jadi kenangan di kepala saja. Cukup aku dan Tuhan yang tahu.

Untuk semua yang merindukan perjuangan. Kemenangan datang bersama kesempatan yang terbuka di depan sana. Mumpung masih muda, ambil resiko terbesar dan jangan siakan kesempatan. Selamat untuk kita semua!

Terima kasih,

Sifah 03/06/2017

1 comment: